Wednesday 29 February 2012

TANTANGAN PENEGAKAN TINDAK PIDANA PASAL 108 UU NO.32/2009 (SUATU KAJIAN KEBIJAKAN KRIMINAL)

  1. Latar Belakang

Sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, salah satu tugas negara adalah memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya dalam batang tubuh, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Wewenang dan otoritas negara dalam memajukan kesejahteraan umum dirumuskan dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Kewenangan negara dalam melaksanakan tugas tersebut bahwa negara memberikan rasa keadilan dan keamanan bagi setiap orang di wilayah negara Republik Indonesia untuk memenuhi kebutuhannya. Adanya perbedaan dan skala prioritas masing-masing individu menyebabkan adanya suatu aturan main (rule of game) yang disepakati. Negara memiliki kewenangan membuat aturan main yang menjamin keadilan dan keamanan bagi seluruh rakyat.

Lahirnya Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan wujud tanggung jawab negara.

Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial.

Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.[1]

Persoalan masyarakat dalam lingkungan hidup tidak dapat diselesaikan dengan terbitnya perundang-undangan yang mengatur lingkungan hidup. Persoalan implementasi dan penerimaan masyarakat terhadap produk hukum juga tidak kalah penting. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat setempat dan kepiawaian penegak hukum dalam mengejawantahkan aturan-aturan yang sudah ditetapkan.

Sebagaimana dimaklumi bahwa penduduk Indonesia sebagaian besar mengandalkan lahan pertanian untuk memajukan kesejahteraan masing-masing. Dengan demikian, implementasi Pasal 69 ayat 1 huruf h menjadi menarik karena hampir semua petani sangat rentan terhadap tindak pidana ini, sementara itu karena luasnya wilayah Indonesia, patut diduga bahwa petani yang jauh tinggal di desa-desa dengan akses informasi dan transportasi yang terbatas akan sulit mengerti pemberlakukan UU ini.

Paper ini berjudul “ Tantangan Penegakan Tindak Pidana Pasal 108 UU No.32/2009 (Suatu Kajian Kebijakan Kriminal)” dengan permasalahan yang diangkat ialah bagaimana menerapkan tindak pidana terhadap pelanggaran Pasal 69 ayat 1 huruf h UU No.32/2009. Untuk bahan kajian, penulis membuat ilustrasi penerapan dalam pembukaan lahan kebun (perkebunan) kelapa sawit di Propinsi Riau.

  1. Kerangka Teori dan Konseptual

Upaya atau kebijakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan criminal (criminal policy). Kebijakan criminal tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan social (social policy) yang terdiri dari kebijakan untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan untuk perlindungan masyakarat (social defence policy).

Dengan demikian, apabila penanggulangan kejahatan (politik criminal) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) maka kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya pada tahap kebijakan yudikatif harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebjikana social itu berupa social wlfare dan social defence.

Skema [2].

Dari skema tersebut dapat dijelaskan hal-hal pokok :

1. Pencegahakan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal) kesejahteran masyarakat dan perlindungan masyarakat

2. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral ada keseimbangan sarana penal dan non penal.

3. Dari sudut politik criminal kebijakan paling strategis melalui sarana non penal karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan atau kelemahan antara lain :

- Bersifat fragmentaris, tidak structural funsional

- Simptotik, tidak eliminative

- Individualistic atau offender oriented, tidak victim oriented

- Harus didukung infrastructure dengan biay a tinggi.

4. Dalam melakukan sarana penal, terdapat beberapa tahap yang harus dilalui yaitu :

- Tahap formulasi kebijakan,

- Tahap aplikasi

- Tahap eksekusi

Dalam tahap formulasi, upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi juga pembuat hukum dalam hal ini legislative. Kebijakan legislative merupakan tahap paling strategis dari penal policy. Jika terjadi kesalahan atau kelemahan dalam perumusan perundangang-undangan akan berdampak pada terhambatnya upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap berikutnya.

Strategi dasar penanggulangan kejahatan diarahkan pada upaya meniadakan (eliminasi) atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kuasa dan kondisi yang menjadi factor kriminogen untuk terjadinya kejahatan. Jadi diperlukan pendekatan integral dalam arti :

- Tidak hanya strategi penanggulangan simptotik dan represif lewat pembaruan dan penegakan hukum tetapi juga penanggulangan kausatif dan preventif

- Tidak hanya melakukan law reform tetapi juga social economic, political, cultural, moral and administrative reform

- Tidak hanya melakukan pembaharuan satu perundang-undangan, tetapi juga semua perundang-undangan yang member peluang untuk terjadinya kejahatan. [3]

Menurut Ibrahim F.I. Shihata sebagaimana dikutip Barda Nawawi bahwa pendekatan integral atau komprehensif antara lain ;

Attempts to combat corruption may have a greater chance of successs if they recognize from the outset the complexity of this phenomenon and the impossibility in deffernt social disciplines….

It should address the economi, poiltical, social, legal, administrative and moral aspects of the phenomenon and recognize the clos linkages among these aspects.

Ibrahim Shihata juga menjelaskan upaya penanggulangan korupsi (efforts to combat corruption harus ditempu melalui econic reform, legal and judicial reform, administrative (civil service) reform, other institutional reform, moral reform, international measures.[4]

Tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanski pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik criminal dalam arti keseluruhannnya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Hal itu sejalan dengan kesimpulan seminar Kriminologi ke- 3 tahun 1976 yang merumuskan sebagai berikut :

Hukum Pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitasi) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.[5]

Suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non-penal itu ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu.

Sehubugan dengan itu, Radzinoowics sebagaimana dikutip Muladi[6] menyatakan bahwa :

Criminal policy must combine the various preventive activities and adjust them so as to form a single comprehensive machine and finally coordinate the whole into an organized system of activity.

Kebijakan krimimal yang integral diharapkan mencapai social defence.

Prof Sudarto mengemukakan bahwa kebijakan kriminal harus dilakukan pula dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial dengan memperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut [7] :

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat.

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

  1. Kebun Kelapa Sawit.

Sejak pemberian Kredit Likuiditas khususnya skim Kredit Koperasi Primer terhadap Anggota (KKPA), maka pembukaan lahan untuk dijadikan kebun kelapa sawit cukup berkembang. Propinsi Riau sebagai areal yang memiliki tanah yang cocok untuk tanaman kelapa sawit menjadi incaran investor. Perkebunan kelapa sawit berkembang pesat. Selain itu, program inti plasma yang digulirkan semakin memberikan kemudahan dalam pembukaan lahan yang selama ini tidak produktif (tidur) menjadi kebun sawit (produktif).

Program kredit likuiditas dihentikan tahun 1999 maka program pembukaan lahan secara korporasi menjadi berhenti. Namun demikian, masyarakat di daerah Riau terbuka mata bahwa bertanam sawit lebih menjanjikan dibandingkan dengan bertanam karet sebagaimana dilakukan penduduk selama ini.

Menurut Van Noordwijk, sebagaimana dikemukakan Onrizal, bahwa metode yang lazim dipakai dalam pembukaan lahan adalah :

- teknik tebang dan bakar (slash and burn)

- teknik tanpa bakar (zero burning)

Dari kedua metode tersebut, teknik tebang dan bakar merupakan metode yang paling sering dipakai dengan alasan utama lebih murah, cepat dan praktis dibandingkan teknik lain[8].

Paska kredit likuiditas, pembukaan lahan sawit dilakukan dengan model (kasus) :

1. Mengalihkan lahan pertanian (karet, kelapa, singkong) menjadi kebun sawit

Lahan pertanian semula kebun karet, kelapa, singkong diganti dengan tanaman sawit. Proses penggantian tentu sudah mempertimbangkan aspek ekonomis dari tanaman lama. Untuk karet dan kelapa penggantian dilakukan terhadap karet dan kelapa yang sudah tua. Untuk singkong diganti setelah panen.

Tanaman karet dan kelapa yang tua diganti dengan cara tebang. Namun untuk batang dan akarnya yang sudah dikeringkan dilakukan pembakaran.

Masalahnya adalah tidak tertutup kemungkinan kebun karet atau kelapa yang sudah tua tidak langsung dialihkan karena terbatasnya modal usaha. Bahkan untuk menutupi keperluan keluarga, lahan dijual kepada pihak lain. Pihak lain membiarkan lahan sehingga seperti hutan lagi. Pada saat akan dijadikan kebun, maka pemilik lahan baru akan membersihkan ilalang dan tanaman lain. Setelah kering maka sampah tersebut akan dibakar.

2. Memanfaatkan lahan kosong menjadi lahan produktif baik individu maupun keluarga. Dalam memanfaatkan lahan kosong, sering menyertakan pihak lain sebagai pemilik lahan baru dari luar wilayah tersebut.

Untuk mengefektifkan lahan yang tidur, warga desa menyepakati untuk mengusahakan lahan tersebut menjadi lahan produktif.

Satu desa bisa berpenduduk 100 kepala keluarga. Selain itu, mengingat luasnya lahan yang menganggur, satu areal lahan dimiliki 3 sampai 4 desa. Dengan adanya kerabat atau sanak keluarga yang berdomisili di luar areal tersebut, maka satu areal yang menjadi pengelolaan masyarakat bisa mencapai ribuan hektare.

Dalam kasus tertentu, desa pada akhirnya mengalihkan lahan produktif menjadi kebun sawit.

  1. Pembahasan

Sesuai pasal 69 ayat (1) h UU 32/2009 menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;

Dalam ayat 2 ditegaskan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya

Tindak Pidana yang dikenakan terhadap pelanggaran pasal 69 ayat (1) huruf h tersebut diatur dalam Pasal 108 yaitu :

Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Perumusan tindak pidana dalam Pasal 108 tersebut dipandang tidak efektif.

1. Pidana penjara selama 3 tahun.

Pemidanaan dengan penjara selama 3 tahun untuk perbuatan pembakaran lahan, untuk seorang individu atau kepala keluarga relatif berat. Namun untuk seseorang yang merupakan suruhan atau atas nama seseorang akan menjadi berbeda. Terlebih lagi, dalam pembukaan lahan seperti lahan sawit di Riau, patut di duga didalangi oleh pihak korporat.

Jika dibandingkan pembukaan lahan dengan metode lain, pembakaran merupakan metode pembukaan lahan yang paling rendah biaya operasinya. Untuk lahan yang luas dengan dukungan korporasi, tidak sulit mencari seseorang yang mau melakukan pembakaran lahan dengan imbalan yang lumayan.

2. Pengenaan denda Rp. 3.000.000.000

Sama dengan pengenaan pidana penjara, pengenaan denda paling sedikit Rp. 3 miliar tidak terlalu berarti bagi korporasi yang akan membuka lahan sawit puluhan ribu hektare.

3. Tindak pidana penjara 3 tahun dan pengenaan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 tersebut di atas relatif lemah karena sulitnya melakukan tindak pidana terhadap korporasi.

Dalam penjelasan UU No.32/2009, dicantumkan bahwa tindak pidana dalam UU tersebut sudah mecakup tindak pidana korporasi. Hal ini tercantum dalam Penjelasan Umum butir (6) sebagai berikut :

Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.[9]

Namun tindak pidana korporasi hanya bisa dilakukan terhadap korporasi yang terbukti perbuatan tindak pidana dilakukan oleh pegawai dari korporasi itu sendiri.

Dalam proses pembukaan lahan perkebunan sawit terlalu sering terjadi bahwa lahan sudah di bakar tetapi belum ada korporasi yang menjadi penanggung jawab lahan tersebut. Bahkan dapat terjadi, ketika lahan masih dalam pengurusan kepada pihak yang berwenang artinya belum ada penetapan hak pengelola lahan, lahan tersebut sudah dibakar.

Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di desa bahkan sebagian besar buta aksara menjadi persoalan tersendiri terhadap pemberlakuan peraturan tersebut.

Memang diakui bahwa seorang warga negara tidak bisa berdalih tidak mengetahui keberadaan sebuah undang-undang manakala undang-undang itu sudah diterbitkan dalam lembar negara.

Tetapi faktanya adalah bahwa yang bersangkutan tidak bisa membaca dan akses informasi yang terbatas hendaknya perlu menjadi pertimbangan dalam menetapkan suatu kebijakan pemidanaan.

Dari kasus kedua tersebut di atas, pembakaran lahan dengan skala ribuan hektare tidak bertentangan dengan pasal 69 ayat 1 huruf h, sepanjang lahan tersebut dimiliki oleh minimal 1.000 kepala keluarga. Pertanyaan yang muncul adalah apakah pembakaran lahan ribuan hektare dengan dukungan pemilikan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 69 ayat 2 tidak merusak lingkungan? Luasnya lahan dan volume material yang dibakar akan merusak ekosistem dan tatanan makluk hidup yang lain yang selama ini tergantung pada areal tersebut. Kelestarian alam rusak, tetapi tindakan (perbuatan) pembakaran tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran sehingga tidak dapat dikenakan tindak pidana.

Kebijakan pidana dalam hal ini menjadi tidak efektif karena tujuan semula adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup namun oleh dukungan undang-undang lingkungan hidup dirusak secara sengaja.

Dari kasus pertama juga menimbulkan ketidakpastian karena pemilik lahan tidak membuka lahan karena pengalihan (konversi) dari tanaman karet menjadi tanaman sawit.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana pembakaran dalam rangka pembukaan lahan akan semakin sulit setelah mempertimbangkan opini publik terhadap aparat Yudisial. Teguh Soedarsono mengemukakan bahwa keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, potensi penyalahgunaan wewenang serta belum sterilnya lembaga maupun aparat Yudisial tetap memberikan peluang bagi terjadinya Judicial Corruption[10].

Dalam kasus yang lebih besar seperti illegal loging keputusan yang telah berkekuatan tetap di pengadilan masih perlu dilakukan pengawasan melalui uji publik. Hal merupakan pencerminan bahwa betapa lemahnya implementasi penegakan tindak pidana yang terkait dengan lingkungan dan kehutanan.

  1. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

1. Penerbitan Undang-undang merupakan bagian dari tugas negara dalam melindungi masyarakat untuk memajukan kesejahteraan.

2. Kebijakan kriminal yang ditempuh dalam UU No. 32/2009 khususnya Pasal 69 ayat 1 huruf h, mengenai pembakaran dalam pembukaan lahan kurang efektif mengingat :

a. tindak pidana penjara 3 tahun bagi individu untuk atas nama orang lain atau korporasi relatif ringan

b. pengenaan sanksi dengan paling sedikit Rp. 3 miliar juga relatif tidak memberatkan bagi korporasi mengingat pembakaran merupakan teknik yang paling sering digunakan karena murah, cepat dan praktis dibandingkan dengan manfaat ekonomis kebun sawit yang dihasilkan lahan tersebut.

c. lemahnya pengaturan mengenai tindak pidana korporasi

Pembebasan tindak pidana seluas 2 hektare per kepala keluarga akan menimbulkan kontra produktif terhadap tujuan UU No.32/2009 yaitu untuk melindungi lingkungan hidup. Pembakaran lahan dengan luasan 2 hektare per kepala dengan jumlah penduduk ribuan akan dan dilakukan dalam waktu bersamaan akan menimbulkan dampak kerusakana terhadap lingkungan dan kelestarian alam.

Saran

1. Perlu penegasan dalam aturan turunannya, mengenai pemberlakukan tindak pidana korporasi

2. Perlu diatur lebih lanjut, proses pelaksanaan pembakaran lahan 2 hektare per kepala keluarga agat tidak dilakukan secara massal.

3. Perlu peningkatan terhadap komitmen aparat penegak hukum di semua tingkatan dan instansi yang terkait.

Daftar Pustaka

1. Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung 2010

2. Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulana Kejahatan, Prenada Media, Jakarta, 2010

3. Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum PIdana, Bandung , 2010

4. Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 2010

5. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1986

6. Soedarsono, Teguh, Illegal Loging, Mullya Angkasa, Jakarta, 2011



[1] Penjelasan UU No.32/2009

[2] Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, 2010 hal 78

[3] Barda Nawawi, Ibid, hal 77-79

[4] Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, 2010 , hal. 71

[5] Muladi, Teori-teori dan Kebijakan PIdana, 2010 , hal 91-92

[6] Muladi, Ibid, hal 159

[7] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, 1986, hal 36-39

[9] Penjelasan UU No.32/2009

[10] Teguh Soedarsono, Illegal Loging, 2011, hlm. 130