Friday 12 October 2012

TANTANGAN PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME


TANTANGAN PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME

A.    PENDAHULUAN
Indonesia merupakan bagian dari negara-negara di dunia (international) yang memiliki kedaulatan. Tujuan Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dari tujuan tersebut bahwa Indonesia turut serta memelihara perdamaian dunia. Hal ini menunjukkan bahwa perdamaian adalah suatu kondisi ideal bagi suatu negara untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, segala hal yang menghalangi  Indonesia untuk mencapai tujuannya harus diberantas dan jika perlu diperangi dengan segala daya upaya.
Terorisme merupakan suatu ancaman bagi kelangsungan sebuah negara. Tindakan terorisme  sangat bertentangan dengan ideologi dan tujuan  Indonesia. Apabila terorisme semakin marak, maka upaya  memberantas terorisme juga harus ditingkatkan. Memerangi terorisme  dengan senjata  tidak cukup. Salah satu yang menjadi  sasaran pencegahan terorisme adalah melemahkan pendanaan terorisme (financing terrorism).
Terrorisme akan semakin berkembang apabila organisasinya mendapat dukungan dana yang cukup. Oleh karena itu, perang terhadap pendanaan terorisme merupakan langkah yang penting dalam memerangi terorisme  itu sendiri.
Tindakan terorisme di Indonesia relatif berkembang. Beberapa peristiwa yang menggemparkan antara lain :
1.      Bom Bali 1 dan  2
2.      Bom Natal
3.      Bom Gereja KatholiK
4.      Bom Kuningan
5.      Bom JW Mariot
Dampak negative dari tindakan  terorisme itu  tidak saja menimbulkan korban, tapi berdampak pula pada instrument pasar uang dan pasar modal.  Nilai tukar  dan indeks harga saham mengalami  fluktuasi.

KONTROVERSI PRESIDEN SEBAGAI PIMPINAN PARTAI DALAM MEMERANGI KORUPSI



  1. Latar Belakang dan Permasalahan
 Dalam Undang-undang Dasar 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945  tertera tujuan negara Indonesia yaitu  “….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Terdapat  empat pokok pikiran yang penting dalam pembukaan UUD 1945 tersebut :
1.      Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara Persatuan, Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan.
2.      Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
3.      Pokok yang ketiga yang terkandung dalam "pembukaan" ialah negara yang berkedaulatan Rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. 
4.      Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam "pembukaan" ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.


Thursday 14 June 2012


Data berikut merupakan gambaran bahwa masalah pembatasan tuntutan finansial Rp.500 juta perlu ditinjau.

===============================================================

51.422 Nasabah Perbankan RI Punya Rekening di Atas Rp 5 Miliar

Wahyu Daniel - detikfinance
Kamis, 14/06/2012 11:40 WIB

Tuesday 12 June 2012

CATATAN KULIAH :
ARBITRASE  DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Prof. Dr. Kuntoro PhD.
Program Magister Ilmu Hukum Ubhara Jaya
Jakarta 2012
================================================================

BAB I
PENDAHULUAN

  A. PENGERTIAN SENGKETA
Sengketa adalah suatu keadaan dimana terdapat konflik kepentingan (conflict of interest) antara 2 pihak dalam suatu peristiwa hukum dimana antara keduanya tidak tercapai kesepakatan.
Peristiwa hukum adalah peristiwa yang mempunyai akibat hukum:
Contoh: Orang jual-beli dimana si penjual wajib menyerahkan barang dan si pembeli wajib menbayarnya.
Peristiwa hukum dapat berupa:
·        Keadaan misal, keadaan hidup bertetangga. Artinya, para tetangga harus saling menghormati. Contoh; jika ada tetangga menyalakan tv keras-keras berarti telah melanggar hidup bertetangga.
·        Perbuatan, misal; jual-beli, pinjam-meminjam
·        Kejadian; misal,
ü kelahiran menimbulkan kewajiban anak menghormati orang tua dan menimbulkan kewajiban orang tua untuk memelihara anak,
ü kematian jika terjadi suatu kematian menimbulkan akibat hukum hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahli waris.

B.    RUANG LINGKUP
1.     Yang dibahas yaitu sengketa-sengketa dibidang keperdataan dalam arti luas, termasuk didalamnya sengketa dagang, investasi, HAKI.
2.     Sengketa dibidang keperdataan/sengketa bidang perdagangan baik nasional maupun internasional.
C.     CARA PENYELESAIAN SENGKETA
Pada prinsipnya penyelesaian sengketa dilakukan dengan 2 cara penyelesaian, yaitu:
1.     Cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan “litigasi”
2.     Cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan “non litigasi”
Cara “Non litigasi” ditempuh dengan 2 cara:
a.     Melalui alternative penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution “ADR”).
b.     Melalui arbitrase (Arbitration)


MASALAH PEMBATASAN TUNTUTAN FINANSIAL
 DALAM MEDIASI PERBANKAN
Robert Panjaitan
========================================
A.    LATAR BELAKANG
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa  sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan  oleh para pihak  melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Menurut UU No.30/1999 tersebut, penyelesaian sengketa dapat ditempuh  melalui beberapa tahapan yaitu :
a.       Negosiasi yaitu beda pendapat diselesaikan dengan tatap muka oleh para pihak. Hasil kesepakatan dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis
b.      Bantuan Penasehat Ahli dalam hal kesepakatan tidak dapat dicapai melalui negosiasi
c.       Mediasi yaitu apabila para pihak gagal menyelesaikan sengketa melalui negosiasi atau Bantuan Penasehat Ahli, maka atas kesepakan,  para pihak menunjuk  seorang mediator  untuk membantu  para pihak mencapai suatu kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani semua pihak terkait.
d.      Arbitrase, apabila usaha perdamaian  melalui seluruh tahapan di atas tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
Pengesampingan litigasi di Pengadilan Negeri dalam penyelesaian sengketa perdata dan memilih alternatif  penyelesaian sengketa memiliki argumentasi yang beragam.
Menurut   ahli hukum dari Harvard University, Laurence Tribe sebagaimana dikutip McDowell, mengemukakan bahwa ADR lebih dipilih karena  alasan  “ Semakin banyak hukum, semakin sedikit keadilan, Semakin banyak  aturan semakin sedikit  hasilnya  (Too much law, too litle justice, too many  rules, too few  results)[1].

Sunday 1 April 2012

Catatan 2&3: Metode Penelitian Hukum

Ontologi Ilmu Hukum (sambungan)


Ontologi Ilmu Hukum (Objek kajian Ilmu Hukum) adalah norma-norma hukum positif yang berlaku dalam satu negara beserta dengan asas-asas hukum dan doktrin-doktrin hukum. Persoalan adalah tida bisa membedakan norma, asas atau doktrin tersebut.
  1. Norma-norma Hukum
1.       Apa kandungan norma hukum?
a.       Perintah
b.      Larangan
c.       Izin
d.      Perbolehan
e.      Tugas
f.        Kewajiban
g.       Hak
h.      Wewenang
2.       Jenis norma hukum atau ruang linkup pemberlakuan
a.       Abstrak umum   è UU, PP, Perda
b.      Individual kongkrit è vonis hakim, putusan PTUN, Perjanjian
3.       Struktur Norma Hukum
a.       Teori  Hans Kelsen
b.      Teori Han Nawiasky
4.       Bentuk Norma Hukum
a.       Tertulis
b.      Tidak tertulis
5.       Ciri-ciri Norma Hukum
Norma hukum memiliki ciri sebagai berikut :
    1. Setiap norma hukum mengacu kepada satu perbuatan  atau peristiwa tertent.
    2. Dalam rangka itu, setiap norma hukum harus mengandung isi perintah, atau larangan atau izin atau perbolehan dan lain-lain.
Pasal 1  ayat  3 UUD 1945 à tidak ada ciri a dan b dari norma hukum

  1. Asas Hukum
Adalah lapisan kedua dari satu norma hukum. Asas hukum dapat dibedakan dari norma-norma hukum sebab asas hukum memiliki ciri
    1. Tidak mengandung perintah, larangan, izin, atau perbolehan  seperti dalam norma hukum
    2. Sesuai dengan prinsip yang di atas, suatu asas hukum selalu bersifat umum karen asas hukum tidak dimaksudkan untuk mengatur, suatu perbuatan tertentu, peristiwa tertentu atau hal tertentu.
Contoh : Negara Indonesia adalah negara hukum
                 

Tuesday 20 March 2012

Metodologi Penelitian Hukum : Kriteria Ilmu Pengetahuan

Untuk menguasai ilmu pengetahuan harus menguasai ilmu yang menjadi induknya. Artinya untuk memahami metode penelitian hukum terlebih dahulu kita harus menguasai Ilmu Hukum sebagai induk Metode Penelitian Hukum.

ILMU HUKUM ==> METODOLOGI PENELITIAN HUKUM

Oleh sebab itu, sebelum membicarakan metode penelitian hukum, kita harus lebih dahulu memahami karakteristik Ilmu Hukum. Namun untuk menguasai Ilmu Hukum kita harus mengerti apa yang dimaksud dengan Ilmu Pengetahuan dan apa kriteria untuk menetapkan suatu cabang pengetahuan masukkedalam kategori Ilmu Pengetahuan atau tidak.

Apa yang dimaksud dengan Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan dengan istilah lain disebut knowledge. Pengetahuan berkenan dengan pemahaman seseorang tentang sesuatu objek.
Pengetahuan bisa bersumber dari berbagai macam sumber dan bisa diperoleh dengan berbagai macam cara. Contoh :
Masyarakat tradisional memiliki pengetahuan tentag tumbuh-tumbuhan yang dapat mengobati penyakit berdasarkan turun-temurun.

Pengetahuan juga bisa bersumber dari ketidaksengajaan. Namun, pengetahuan (knowledge) itu tidak bersifat ilmiah karena tidak daapt dijelaskan dan ditransfer kepada orang lain secara akademik dan ilmiah.
Pengetahuan ==> Pra Ilmiah
Pengetahuan :
Fenomena
Materil
Nomena
Non Materil
Etika
Theologia

Ilmu Pengetahuan adalah pengetahuan yang bersifat sistematis, metodis dan ilmiah, sebab ilmu pengetahuan memberikan penjelasan-penjelasan ilmiah terhadap hal-hal yang berkenan dengan ilmu tersebut.
contoh :
Ilmu kedokteran harus dapat memberikan penjelasan ilmiah bahwa orang yang minum Paramex akan sembu dari Sakit Kepala.

Ilmu Pengetahuan ==> Science.

Apakah kriteria untuk menetapkan suatu pengetahuan masuk dalam Ilmu Pengetahuan?
Menurut filsafat ilmu, kriteria untuk menetapkan suatu pengetahuan masuk dalam kedudukan ilmu pengetahuan (science) ada 3 yaitu :
1. Pengetahuan tersebut memiliki Objek kajian yang tertentu. Istilah yang diapakai bahwa pengetahuan itu harus memiliki Ontologi yang jelas.
2. Pengetahuan itu memiliki ciri-ciri yang membedakannya dari cabang pengetahuan yang lain. Istilah lain disebut Epistemologi Ilmu Pengetahuan.
3. Pengetahuan itu harus memiliki kegunaaan atau manfaat yang tertentu. Istilah lain disebut Aksiologi Pengetahuan.

Jika bertitik tolak dari kriteria pengetahuan yang dikemukakan di atas, kita dapat mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
Apakah Ilmu Hukum memiliki atau memenuhi ketiga kriteria yang dikemukakan di atas?
Jika ilmu hukum itu memenuhi kriteria yang dikemukakan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa Ilmu Hukum itu adalah suatu cabang ilmu Pengetahuan.

Ilmu Hukum sesuai dengan taraf perkembangan sekarang dapat kita posisikan sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang otonom, sebab kriteria ilmu pengetahuan yang dikemukakan di atas terdapat pada Ilmu Hukum.
Ketiga kriteria ilmu pengetahuan itu adalah :
1. apakah objek kajian ilmu hukum itu?
2. apa ciri-ciri Ilmu Hukum yang membuatnya berbeda dari cabang ilmu pengetahuan yang lain?
3. Apa manfaat atau kegunaan ilmu hukum sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan?

1. Objek kajian Ilmu Hukum (Ontologi Ilmu Hukum)

Apakah objek kajian Ilmu Hukum sebagai Ilmu Pengetahuan. Objek kajian ilmu hukum adalah norma-norma hukum positif yang berlaku dalam suatu negara beserta dengan asas-asas hukum maupun .
Oleh karena itu, seorang peneliti harus memiliki pengetahuan yang memadai dalam penguasaan norma-norma hukum positif, asas-asas hukum maupun doktrin-doktrin hukum. Sebagai konsekuensinya setiap penelitian hukum harus menganalisa dan mengkaji norma-norma hukum positif, asas-asas hukum dan dotrin-doktrin hukum.

A. Norma-norma Hukum
1.Apa kandungan norma hukum?
Perintah, larangan, izin, perbolehan, tugas, kewajiban, hak, wewenang.

2. Jenis Norma Hukum atau Ruang lingkup pemberlakukan
- Abstrak umum -> UU, PP, Perda
- Individual Konkrit -> Vonis Hakim, Putusan TUN, Perjanjian

3. Struktur Norma Hukum
- Teori Hans Kelsen
- Teori Han Nawiasky

4. Bentuk Norma Hukum
- tertulis
- tidak tertulis

5. Ciri-ciri Norma Hukum
a. setiap norma hukum mengacu kepada satu perbuatan atau peristiwa tertentu
b. Dalam rangka itu, setiap norma hukum harus mengandung isi perintah, atau larangan atau izin atau perbolehan dan lain-lain.

B. Asas Hukum
Adalah lapisan kedua dari suatu norma hukum. Asas hukum dapat dibedakan dari norma-norma hukum sebab asas hukum memiliki ciri :
1. tidak mengandung perintah, larangan, izin, atau perbolehan seperti dalam norma hukum.
2. sesuai dengan prinsip yang di atas, suatu asas hukum selalu bersifat umum karena asas hukum tidak dimaksudkan untuk mengatur suatu perbuatan tertentu, peristiwa tertentu atau hal tertentu.
contoh :
Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 " Negara Indonesia ialah negara Hukum."
Pasal 1 ayat 1 KUHP " Tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan karena kekuatan undang-undang".

===========> BERSAMBUNG

Wednesday 29 February 2012

TANTANGAN PENEGAKAN TINDAK PIDANA PASAL 108 UU NO.32/2009 (SUATU KAJIAN KEBIJAKAN KRIMINAL)

  1. Latar Belakang

Sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, salah satu tugas negara adalah memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya dalam batang tubuh, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Wewenang dan otoritas negara dalam memajukan kesejahteraan umum dirumuskan dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Kewenangan negara dalam melaksanakan tugas tersebut bahwa negara memberikan rasa keadilan dan keamanan bagi setiap orang di wilayah negara Republik Indonesia untuk memenuhi kebutuhannya. Adanya perbedaan dan skala prioritas masing-masing individu menyebabkan adanya suatu aturan main (rule of game) yang disepakati. Negara memiliki kewenangan membuat aturan main yang menjamin keadilan dan keamanan bagi seluruh rakyat.

Lahirnya Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan wujud tanggung jawab negara.

Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial.

Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.[1]

Persoalan masyarakat dalam lingkungan hidup tidak dapat diselesaikan dengan terbitnya perundang-undangan yang mengatur lingkungan hidup. Persoalan implementasi dan penerimaan masyarakat terhadap produk hukum juga tidak kalah penting. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat setempat dan kepiawaian penegak hukum dalam mengejawantahkan aturan-aturan yang sudah ditetapkan.

Sebagaimana dimaklumi bahwa penduduk Indonesia sebagaian besar mengandalkan lahan pertanian untuk memajukan kesejahteraan masing-masing. Dengan demikian, implementasi Pasal 69 ayat 1 huruf h menjadi menarik karena hampir semua petani sangat rentan terhadap tindak pidana ini, sementara itu karena luasnya wilayah Indonesia, patut diduga bahwa petani yang jauh tinggal di desa-desa dengan akses informasi dan transportasi yang terbatas akan sulit mengerti pemberlakukan UU ini.

Paper ini berjudul “ Tantangan Penegakan Tindak Pidana Pasal 108 UU No.32/2009 (Suatu Kajian Kebijakan Kriminal)” dengan permasalahan yang diangkat ialah bagaimana menerapkan tindak pidana terhadap pelanggaran Pasal 69 ayat 1 huruf h UU No.32/2009. Untuk bahan kajian, penulis membuat ilustrasi penerapan dalam pembukaan lahan kebun (perkebunan) kelapa sawit di Propinsi Riau.

  1. Kerangka Teori dan Konseptual

Upaya atau kebijakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan criminal (criminal policy). Kebijakan criminal tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan social (social policy) yang terdiri dari kebijakan untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan untuk perlindungan masyakarat (social defence policy).

Dengan demikian, apabila penanggulangan kejahatan (politik criminal) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) maka kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya pada tahap kebijakan yudikatif harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebjikana social itu berupa social wlfare dan social defence.

Skema [2].

Dari skema tersebut dapat dijelaskan hal-hal pokok :

1. Pencegahakan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal) kesejahteran masyarakat dan perlindungan masyarakat

2. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral ada keseimbangan sarana penal dan non penal.

3. Dari sudut politik criminal kebijakan paling strategis melalui sarana non penal karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan atau kelemahan antara lain :

- Bersifat fragmentaris, tidak structural funsional

- Simptotik, tidak eliminative

- Individualistic atau offender oriented, tidak victim oriented

- Harus didukung infrastructure dengan biay a tinggi.

4. Dalam melakukan sarana penal, terdapat beberapa tahap yang harus dilalui yaitu :

- Tahap formulasi kebijakan,

- Tahap aplikasi

- Tahap eksekusi

Dalam tahap formulasi, upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi juga pembuat hukum dalam hal ini legislative. Kebijakan legislative merupakan tahap paling strategis dari penal policy. Jika terjadi kesalahan atau kelemahan dalam perumusan perundangang-undangan akan berdampak pada terhambatnya upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap berikutnya.

Strategi dasar penanggulangan kejahatan diarahkan pada upaya meniadakan (eliminasi) atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kuasa dan kondisi yang menjadi factor kriminogen untuk terjadinya kejahatan. Jadi diperlukan pendekatan integral dalam arti :

- Tidak hanya strategi penanggulangan simptotik dan represif lewat pembaruan dan penegakan hukum tetapi juga penanggulangan kausatif dan preventif

- Tidak hanya melakukan law reform tetapi juga social economic, political, cultural, moral and administrative reform

- Tidak hanya melakukan pembaharuan satu perundang-undangan, tetapi juga semua perundang-undangan yang member peluang untuk terjadinya kejahatan. [3]

Menurut Ibrahim F.I. Shihata sebagaimana dikutip Barda Nawawi bahwa pendekatan integral atau komprehensif antara lain ;

Attempts to combat corruption may have a greater chance of successs if they recognize from the outset the complexity of this phenomenon and the impossibility in deffernt social disciplines….

It should address the economi, poiltical, social, legal, administrative and moral aspects of the phenomenon and recognize the clos linkages among these aspects.

Ibrahim Shihata juga menjelaskan upaya penanggulangan korupsi (efforts to combat corruption harus ditempu melalui econic reform, legal and judicial reform, administrative (civil service) reform, other institutional reform, moral reform, international measures.[4]

Tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanski pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik criminal dalam arti keseluruhannnya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Hal itu sejalan dengan kesimpulan seminar Kriminologi ke- 3 tahun 1976 yang merumuskan sebagai berikut :

Hukum Pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitasi) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.[5]

Suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non-penal itu ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu.

Sehubugan dengan itu, Radzinoowics sebagaimana dikutip Muladi[6] menyatakan bahwa :

Criminal policy must combine the various preventive activities and adjust them so as to form a single comprehensive machine and finally coordinate the whole into an organized system of activity.

Kebijakan krimimal yang integral diharapkan mencapai social defence.

Prof Sudarto mengemukakan bahwa kebijakan kriminal harus dilakukan pula dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial dengan memperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut [7] :

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat.

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

  1. Kebun Kelapa Sawit.

Sejak pemberian Kredit Likuiditas khususnya skim Kredit Koperasi Primer terhadap Anggota (KKPA), maka pembukaan lahan untuk dijadikan kebun kelapa sawit cukup berkembang. Propinsi Riau sebagai areal yang memiliki tanah yang cocok untuk tanaman kelapa sawit menjadi incaran investor. Perkebunan kelapa sawit berkembang pesat. Selain itu, program inti plasma yang digulirkan semakin memberikan kemudahan dalam pembukaan lahan yang selama ini tidak produktif (tidur) menjadi kebun sawit (produktif).

Program kredit likuiditas dihentikan tahun 1999 maka program pembukaan lahan secara korporasi menjadi berhenti. Namun demikian, masyarakat di daerah Riau terbuka mata bahwa bertanam sawit lebih menjanjikan dibandingkan dengan bertanam karet sebagaimana dilakukan penduduk selama ini.

Menurut Van Noordwijk, sebagaimana dikemukakan Onrizal, bahwa metode yang lazim dipakai dalam pembukaan lahan adalah :

- teknik tebang dan bakar (slash and burn)

- teknik tanpa bakar (zero burning)

Dari kedua metode tersebut, teknik tebang dan bakar merupakan metode yang paling sering dipakai dengan alasan utama lebih murah, cepat dan praktis dibandingkan teknik lain[8].

Paska kredit likuiditas, pembukaan lahan sawit dilakukan dengan model (kasus) :

1. Mengalihkan lahan pertanian (karet, kelapa, singkong) menjadi kebun sawit

Lahan pertanian semula kebun karet, kelapa, singkong diganti dengan tanaman sawit. Proses penggantian tentu sudah mempertimbangkan aspek ekonomis dari tanaman lama. Untuk karet dan kelapa penggantian dilakukan terhadap karet dan kelapa yang sudah tua. Untuk singkong diganti setelah panen.

Tanaman karet dan kelapa yang tua diganti dengan cara tebang. Namun untuk batang dan akarnya yang sudah dikeringkan dilakukan pembakaran.

Masalahnya adalah tidak tertutup kemungkinan kebun karet atau kelapa yang sudah tua tidak langsung dialihkan karena terbatasnya modal usaha. Bahkan untuk menutupi keperluan keluarga, lahan dijual kepada pihak lain. Pihak lain membiarkan lahan sehingga seperti hutan lagi. Pada saat akan dijadikan kebun, maka pemilik lahan baru akan membersihkan ilalang dan tanaman lain. Setelah kering maka sampah tersebut akan dibakar.

2. Memanfaatkan lahan kosong menjadi lahan produktif baik individu maupun keluarga. Dalam memanfaatkan lahan kosong, sering menyertakan pihak lain sebagai pemilik lahan baru dari luar wilayah tersebut.

Untuk mengefektifkan lahan yang tidur, warga desa menyepakati untuk mengusahakan lahan tersebut menjadi lahan produktif.

Satu desa bisa berpenduduk 100 kepala keluarga. Selain itu, mengingat luasnya lahan yang menganggur, satu areal lahan dimiliki 3 sampai 4 desa. Dengan adanya kerabat atau sanak keluarga yang berdomisili di luar areal tersebut, maka satu areal yang menjadi pengelolaan masyarakat bisa mencapai ribuan hektare.

Dalam kasus tertentu, desa pada akhirnya mengalihkan lahan produktif menjadi kebun sawit.

  1. Pembahasan

Sesuai pasal 69 ayat (1) h UU 32/2009 menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;

Dalam ayat 2 ditegaskan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya

Tindak Pidana yang dikenakan terhadap pelanggaran pasal 69 ayat (1) huruf h tersebut diatur dalam Pasal 108 yaitu :

Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Perumusan tindak pidana dalam Pasal 108 tersebut dipandang tidak efektif.

1. Pidana penjara selama 3 tahun.

Pemidanaan dengan penjara selama 3 tahun untuk perbuatan pembakaran lahan, untuk seorang individu atau kepala keluarga relatif berat. Namun untuk seseorang yang merupakan suruhan atau atas nama seseorang akan menjadi berbeda. Terlebih lagi, dalam pembukaan lahan seperti lahan sawit di Riau, patut di duga didalangi oleh pihak korporat.

Jika dibandingkan pembukaan lahan dengan metode lain, pembakaran merupakan metode pembukaan lahan yang paling rendah biaya operasinya. Untuk lahan yang luas dengan dukungan korporasi, tidak sulit mencari seseorang yang mau melakukan pembakaran lahan dengan imbalan yang lumayan.

2. Pengenaan denda Rp. 3.000.000.000

Sama dengan pengenaan pidana penjara, pengenaan denda paling sedikit Rp. 3 miliar tidak terlalu berarti bagi korporasi yang akan membuka lahan sawit puluhan ribu hektare.

3. Tindak pidana penjara 3 tahun dan pengenaan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 tersebut di atas relatif lemah karena sulitnya melakukan tindak pidana terhadap korporasi.

Dalam penjelasan UU No.32/2009, dicantumkan bahwa tindak pidana dalam UU tersebut sudah mecakup tindak pidana korporasi. Hal ini tercantum dalam Penjelasan Umum butir (6) sebagai berikut :

Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.[9]

Namun tindak pidana korporasi hanya bisa dilakukan terhadap korporasi yang terbukti perbuatan tindak pidana dilakukan oleh pegawai dari korporasi itu sendiri.

Dalam proses pembukaan lahan perkebunan sawit terlalu sering terjadi bahwa lahan sudah di bakar tetapi belum ada korporasi yang menjadi penanggung jawab lahan tersebut. Bahkan dapat terjadi, ketika lahan masih dalam pengurusan kepada pihak yang berwenang artinya belum ada penetapan hak pengelola lahan, lahan tersebut sudah dibakar.

Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di desa bahkan sebagian besar buta aksara menjadi persoalan tersendiri terhadap pemberlakuan peraturan tersebut.

Memang diakui bahwa seorang warga negara tidak bisa berdalih tidak mengetahui keberadaan sebuah undang-undang manakala undang-undang itu sudah diterbitkan dalam lembar negara.

Tetapi faktanya adalah bahwa yang bersangkutan tidak bisa membaca dan akses informasi yang terbatas hendaknya perlu menjadi pertimbangan dalam menetapkan suatu kebijakan pemidanaan.

Dari kasus kedua tersebut di atas, pembakaran lahan dengan skala ribuan hektare tidak bertentangan dengan pasal 69 ayat 1 huruf h, sepanjang lahan tersebut dimiliki oleh minimal 1.000 kepala keluarga. Pertanyaan yang muncul adalah apakah pembakaran lahan ribuan hektare dengan dukungan pemilikan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 69 ayat 2 tidak merusak lingkungan? Luasnya lahan dan volume material yang dibakar akan merusak ekosistem dan tatanan makluk hidup yang lain yang selama ini tergantung pada areal tersebut. Kelestarian alam rusak, tetapi tindakan (perbuatan) pembakaran tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran sehingga tidak dapat dikenakan tindak pidana.

Kebijakan pidana dalam hal ini menjadi tidak efektif karena tujuan semula adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup namun oleh dukungan undang-undang lingkungan hidup dirusak secara sengaja.

Dari kasus pertama juga menimbulkan ketidakpastian karena pemilik lahan tidak membuka lahan karena pengalihan (konversi) dari tanaman karet menjadi tanaman sawit.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana pembakaran dalam rangka pembukaan lahan akan semakin sulit setelah mempertimbangkan opini publik terhadap aparat Yudisial. Teguh Soedarsono mengemukakan bahwa keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, potensi penyalahgunaan wewenang serta belum sterilnya lembaga maupun aparat Yudisial tetap memberikan peluang bagi terjadinya Judicial Corruption[10].

Dalam kasus yang lebih besar seperti illegal loging keputusan yang telah berkekuatan tetap di pengadilan masih perlu dilakukan pengawasan melalui uji publik. Hal merupakan pencerminan bahwa betapa lemahnya implementasi penegakan tindak pidana yang terkait dengan lingkungan dan kehutanan.

  1. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

1. Penerbitan Undang-undang merupakan bagian dari tugas negara dalam melindungi masyarakat untuk memajukan kesejahteraan.

2. Kebijakan kriminal yang ditempuh dalam UU No. 32/2009 khususnya Pasal 69 ayat 1 huruf h, mengenai pembakaran dalam pembukaan lahan kurang efektif mengingat :

a. tindak pidana penjara 3 tahun bagi individu untuk atas nama orang lain atau korporasi relatif ringan

b. pengenaan sanksi dengan paling sedikit Rp. 3 miliar juga relatif tidak memberatkan bagi korporasi mengingat pembakaran merupakan teknik yang paling sering digunakan karena murah, cepat dan praktis dibandingkan dengan manfaat ekonomis kebun sawit yang dihasilkan lahan tersebut.

c. lemahnya pengaturan mengenai tindak pidana korporasi

Pembebasan tindak pidana seluas 2 hektare per kepala keluarga akan menimbulkan kontra produktif terhadap tujuan UU No.32/2009 yaitu untuk melindungi lingkungan hidup. Pembakaran lahan dengan luasan 2 hektare per kepala dengan jumlah penduduk ribuan akan dan dilakukan dalam waktu bersamaan akan menimbulkan dampak kerusakana terhadap lingkungan dan kelestarian alam.

Saran

1. Perlu penegasan dalam aturan turunannya, mengenai pemberlakukan tindak pidana korporasi

2. Perlu diatur lebih lanjut, proses pelaksanaan pembakaran lahan 2 hektare per kepala keluarga agat tidak dilakukan secara massal.

3. Perlu peningkatan terhadap komitmen aparat penegak hukum di semua tingkatan dan instansi yang terkait.

Daftar Pustaka

1. Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung 2010

2. Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulana Kejahatan, Prenada Media, Jakarta, 2010

3. Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum PIdana, Bandung , 2010

4. Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 2010

5. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1986

6. Soedarsono, Teguh, Illegal Loging, Mullya Angkasa, Jakarta, 2011



[1] Penjelasan UU No.32/2009

[2] Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, 2010 hal 78

[3] Barda Nawawi, Ibid, hal 77-79

[4] Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, 2010 , hal. 71

[5] Muladi, Teori-teori dan Kebijakan PIdana, 2010 , hal 91-92

[6] Muladi, Ibid, hal 159

[7] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, 1986, hal 36-39

[9] Penjelasan UU No.32/2009

[10] Teguh Soedarsono, Illegal Loging, 2011, hlm. 130