DALAM MEDIASI PERBANKAN
Robert Panjaitan
========================================
A.
LATAR
BELAKANG
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi
di Pengadilan Negeri.
Menurut UU No.30/1999 tersebut, penyelesaian sengketa dapat
ditempuh melalui beberapa tahapan yaitu
:
a. Negosiasi
yaitu beda pendapat diselesaikan dengan tatap muka oleh para pihak. Hasil
kesepakatan dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis
b. Bantuan
Penasehat Ahli dalam hal kesepakatan tidak dapat dicapai melalui negosiasi
c. Mediasi
yaitu apabila para pihak gagal menyelesaikan sengketa melalui negosiasi atau
Bantuan Penasehat Ahli, maka atas kesepakan,
para pihak menunjuk seorang
mediator untuk membantu para pihak mencapai suatu kesepakatan dalam
bentuk tertulis yang ditandatangani semua pihak terkait.
d. Arbitrase,
apabila usaha perdamaian melalui seluruh
tahapan di atas tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan
secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga
arbitrase atau arbitrase ad hoc.
Pengesampingan
litigasi di Pengadilan Negeri dalam penyelesaian sengketa perdata dan memilih
alternatif penyelesaian sengketa
memiliki argumentasi yang beragam.
Menurut ahli hukum dari Harvard University, Laurence
Tribe sebagaimana dikutip McDowell, mengemukakan bahwa ADR lebih dipilih
karena alasan “ Semakin banyak hukum, semakin sedikit keadilan,
Semakin banyak aturan semakin
sedikit hasilnya (Too
much law, too litle justice, too many
rules, too few results)[1].
Sejalan dengan perkembangan bisnis di Indonesia,
penyelesaian sengketa di antara pelaku bisnis cenderung memilih ADR.
Hal ini didukung semakin tersedianya lembaga atau badan mediasi dan adanya aturan-aturan yang menjadi acuan
dalam melakukan mediasi.
Perbankan sebagai lembaga yang sangat vital dalam
perekonomian juga telah memiliki jalur
Mediasi sebagai alternatif penyelesaian
sengketa. Ketentuan mengenai Mediasi
Perbankan diatur dalam Peraturan Bank IndonesiaNomor : 10/1/PBI/2008 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
Mengingat pentingnya
perbankan bagi kehidupan masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai
pelaku usaha, sementara dinamika
perkembangan teknologi dan produk perbankan yang relatif cepat, merupakan
fenomena yang menarik untuk diteliti. Sementara itu, hubungan Bank dan
pengguna jasa Bank (Nasabah)
timbul sebagai akibat dari adanya
saling membutuhkan sebagai
surplus spending unit dan defisit spending unit dengan dasar kepercayaan
dan itikad baik. Hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk perjanjian atau
kontrak yang sifatnya relatif tetap.
Adanya perubahan teknologi dan produk perbankan dari
waktu ke waktu yang tentu saja tidak
mampu diakomodir dalam klausula perjanjian, akan berdampak pada timbulnya
sengketa antara Bank dan Nasabah.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk
meneliti proses Mediasi Perbankan
sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan judul “PEMBATASAN TUNTUTAN FINANSIAL DALAM MEDIASI PERBANKAN”
Dalam PBI tersebut di atas, Bank Indonesia bertindak
selaku lembaga yang melakukan mediasi
perbankan.
B.
PERMASALAHAN
Melakukan penelitian terhadap peranan Bank Indonesia dalam sengketa
perbankan merupakan suatu ruang lingkup yang luas. Hal ini disebabkan kedudukan
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral akan
terkait dengan tugas dan fungsi serta kedudukan Bank Indonesia sebagai Lembaga
Negara. Untuk lebih terfokusnya pembahasan dalam penelitian ini, penulis
membatasi objek penelitian pada
permasalahan :
a.
Apakah
peranan Bank Indonesia sebagai mediator masih relevan dengan tugas pokoknya?
b.
Bank Indonesia
membatasi mediasi hanya pada sengketa perdata dengan tuntutan
finansial Rp.500.000.000. Bagaimana hal tersebut bisa dipertahankan dari aspek keadilan
dan kesamaan di hadapan hukum?
C. PEMBAHASAN DAN
ANALISIS
1. Alternatif
Penyelesaian Sengketa melalui Mediasi
Mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa antara Para Pihak yang dilakukan dengan
bantuan pihak ketiga (Mediator) yang netral dan tidak memihak sebagai
fasilitator, dimana keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan
tetap diambil oleh Para Pihak itu sendiri dan tidak oleh mediator.
Mediator
memiliki peranan yang sangat penting, dan diperlukan dalam pencapaian hasil
mediasi, yaitu :
a. Membantu Para Pihak melakukan negosiasi apabila
negosiasi yang dilakukan secara langsung oleh Para Pihak tidak berhasil
mencapai suatu kesepakatan.
b. Membantu Para Pihak melakukan komunikasi yang efektif
dan produktif
c. Membantu Para Pihak menetapkan prioritas pokok untuk
menyelesaikan sengketa.
d. Memfasilitasi Para Pihak agar dapat memperkecil
kesenjangan yang ada di antara mereka.
e. Membantu Para Pihak memilah-milah permasalahan yang kompleks yang mereka hadapi
agar pertemuan dapat berlangsung
f. Bekerja bersama-sama Para Pihak memperkecil
perbedaan-perbedaan yang dihadapi untuk
mengakhiri perselisihan secara damai
g. Menjelaskan posisi masing-masing pihak dan memberikan
ide/pandangan yang realistis terhadap tuntutan/keinginan masing-masing dalam
rangka usaha mempertemukan mereka.
h. membantu mengurangi rasa permusuhan dan ketegangan di
antara Para Pihak dan mendorong agar terjadi kerja sama.
i.
Membantu para
pihak menciptakan dan menganalisi pilihan-pilihan penyelesaian.
j.
Membantu Para
Pihak menuangkan penyelesaiannya dalam bentuk kesepakatan tertulis dan
k. Membantu memantau pemenuhan dan pelaksanaan atas
kesepakatan tersebut.
Menurut Moore
sebagaimana dikutip oleh I Made Widnyana[3],
mediator dibagi ke dalam 3 (tiga) jenis yaitu :
a. Mediator Jaringan Sosial (Social Network Mediators)
Merupakan mediator yang dipimpin oleh salah seorang
tokoh yang berpengaruh, baik selaku tokoh agama, maupun tokoh adat dari
masyarakat setempat yang disegani dan dihormati.
b. Mediator Berwenang (Authoritative Mediators)
Seseorang yang mempunyai suatu hubungan wewenang
dengan Para Pihak dan memiliki posisi lebih besar atau lebih kuat, serta
kapasitas potensial atau sebenarnya untuk mempengaruhi hasil suatu sengketa.
c. Mediator Independen (Independent Mediators)
Mediator yang sangat umum ditemukan dalam berbagai
budaya atau tradisi dari suatu pengadilan yang independen, yang menyediakan
suatu model mencakup tata cara yang adil dan yang tidak memihak sebagai pembuat
keputusan. Mediator tipe ini bersikap netral dengan sukarela mencari solusi yang terbaik, serta tidak memaksa salah satu
pihak.
a. Amerika Serikat
Perkembangan lembaga mediasi di Amerika Serikat, dapat
dikemukakan sebanyak 220 public
mediation centers yang beroperasi di seluruh 40 negara bagian. Setiap mediation centers mempunyai
jaringan yang melaksanakan operasi pada
setiap wilayah. Sebagian besar didukung
dana pemerintah dan sebagaian berasal dari dana lembaga
masyarakat atau dari biaya administrasi yang dibayar pihak pemakai.
Secara khusus yang banyak dibawa ke
mediasi adalah sengketa bisnis. Dari waktu ke waktu, masyarakat bsnis cenderung
mencari penyelesaian sengketa melalui ADR. Mediasi dianggap salah satu
pilihan terbaik diantara sistem dan bentuk ADR yang ada.
Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi yang biasa dilakukan di Amerika antara lain sebagai berikut :
·
Ada dua pihak yang
bersengketa, pihak penggugat disebut claimant (penggugat, pemohon) dan
respondent (tergugat, termohon). Namun
status para pihak dalam mediasi
tidak begitu prinsipil. Kemungkinan dalam proses, bisa terjadi pergeseran pihak
yang semula menjadi claimant berubah
menjadi respondent. Oleh karena itu, tanpa mengurangi pengertian teknis yang
menamakan pihak pengambil inisiatif
pengajuan sengketa adalah claimant dan yang ditarik sebagai lawan respondent.
·
Persetujuan
penyelesaian mediasi dengan adanya peernyataan submission to mediation atau
consent to mediation, yakni berupa
pernyataan kesediaan menyerahkan
penyelesaian sengketa kepada
mediasi. Sebagai syarat formal submission harus ada kesepakatan kedua belah pihak
yang bersengketa dan menandatangani
formulir submission to mediation
·
Uraian sengketa
ditulis dalam formulir submission yang menyangkut 3 hal pokok bagian, yaitu :
o Masalah apa yang dituntut
o Penyelesaian yang diinginkan
o Jumlah ganti kerugian yang diminta
·
Kedudukan dan
peran para mediator. Pada dasarnya tidak ada cara dan gaya yang dianggap paling benar. Namun demikian secara garis
besar dapat digambarkan kedudukan dan
peran mediator, antara lain :
o Berada di tengah pihak
o Mengisolasi proses mediasi
o Mediator tidak berperan sebagai hakim
o Mediator harus mampu menekan reaksi ang mungkin timbul
o Mampu mengarahkan pertemuan pemeriksaan (hearing)
o Pemeriksaan bersifat
konfidential dan hasil kesepakatan dirumuskan dalam bentuk akta
kompromis.
b. Jepang
Di Jepang mediasi cukup populer, namun sistemnya
selalu bersifat koneksitas antara konsiliasi dengan arbitrase. Bila
mediasi gagal, proses dihentikan. Akan tetapi langsung dilanjutkan dengan konsiliasi dan mediator bertindak sebagai konsiliator.
Bila konsiliasi juga gagal, langsung
dilanjutkan penyelesaian melalui arbitrase dan konsiliator bertindak sebagai
arbitrator.
c. Korea Selatan
Perkembangan ADR di Korea Selatan hampir sama dengan
di Jepang. Mediasi diselesaikan dengan koneksitas antara
mediasi-konsiliasi-arbitrase.
d. Australia
Pada prinsipnya
mediasi di Australia hampir tidak berbeda dengan di Amerika, Jepang, Korea Selatan. Australia
mengatur mediasi berkoneksitas dengan pengadilan dimana yang bertindak sebagai
mediator pada umumnya terdiri dari
pejabat pengadilan yang kompromi penyelesaian yang diambil bersifat compulsory (memaksa)
kepada kedua belah pihak. Penerapan bentuk mediation –arbitration dilakukan secara bertahap.
·
Lebih dulu
dicoba diselesaikan melalui cara mediasi jika berhasil, proses selesai hasil
kompromi menjadi putusan arbitrase
·
Tahap
selanjutnya bila mediasi gagal, proses dilanjutkan melalui cara
penyelesaian arbitrase dan putusan
langsung final dan mengikat.
3. Hubungan Bank dan Nasabah
Hubungan hukum
formal antara bank dengan nasabah seringkali menunjuk kepada berlakunya ketentuan yang lebih luas dan ketentuan
tersebut dinyatakan sebagai ketentuan yang berlaku dan merupakan bagian serta
satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan aplikasi tersebut. Hal ini perlu disadari bahwa hampir semua
perbank di Indonesia dalam aplikasinya menggunakan klausula baku. Dalam aplikasi tersebut sering memuat
ketentuan-ketentuan yang menunjuk ketentuan lain (yang berlaku) yang terpisah dengan aplikasi tersebut.
Dalam hal ini masyarakat sering kurang memahami
sehingga mereka tidak membaca mengenai ketentuan-ketentuan apa saja yang
berhubungan dengan aplikasi tersebut. Yang dimaksud dengan ketentuan lain yaitu
“Peraturan yang berlaku berarti peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Republik Indonesia, khususnya di bidang perbankan, termasuk dan tidak terbatas
pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan
ketentuan-ketentuan dari asosiasi-asosiasi
dengan siapa bank bergabung serta aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan lain
yang berlaku pada waktu dan di tempat tindakan atau persetujuan tersebut
dilaksanakan.[5]
4. Perlindungan Konsumen
Atas Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Baku
Dalam membahas asas kebebasan berkontrak sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KHUPerdata, untuk mempermudah pemahamannya maka tidak
terlepas dari jejak historis/riwayat proses lahirnya Pasal 1320 itu sendiri.
Jejak historis/riwayat keberadaan Pasal 1320 KUHPerdata dijabarkan oleh Prof. Dr.
Djuhaendah Hasan, SH sebagaimana berikut di bawah ini:
“KUHPerdata yang sekarang ini berlaku adalah berasal
dari Burgerlijk Wetboek (BW) Negeri Belanda. Diberlakukan di Indonesia
berdasarkan asas konkordasi (Pasal 131 IS, S. 1925 No. 577, 415 dan 416 jo. S.
1855 No. 2). Sedangkan BW itu sendiri diadopsi dari Code Civil yang disahkan
oleh Kaisar Napoleon Bonaparte tahun 1804 di Perancis. Dan Code Civil Perancis
sendiri banyak dipengaruhi Corpus Luris Civils, yaitu kodifikasi Hukum Perdata
Romawi, susunan Justinianus seorang Raja Romawi Timur (524-565 M).
Ketika BW dibuat di Erofa waktu itu, setidak-tidaknya
ada dua kubu pemikiran yang cukup berpengaruh, yang secara langsung atau tidak
diduga berpengaruh terhadap proses penyusunan BW tersebut yaitu:
Pertama, kubu liberalisme dengan salah satu pakarnya
yaitu Adam Smith (1723-1790). Inti pemikirannya adalah bahwa masyarakat adalah
lapangan hidup di mana individu-individu dapat mewujudkan hak-hak dan kebebasan
asli mereka. Negara tidak berpengaruh atas kegiatan-kegiatan individu.
Kekuasaan politik juga tidak berhak untuk camputangan dalam kehidupan
masyarakat kecuali kalau terhadap bahaya yang sungguh-sungguh, bahea suatu
konsentrasi kekuatan ekonomi yang terlalu besar akan menghindarkan berjalannya
kehidupan bebas individu-individu.
Kedua, kubu utilitarisme, di mana salah satu pakarnya
adalah Jeremy Bentham (1748-1832). Ide utilitarisme adalah masyarakat diatur
dengan baik, kalau institusi-institusi yang berkepentingan dibentuk sedemikian
rupa sehingga menghasilkan kepuasan yang sebesar mungkin bagi semua orang yang
termasuk masyarakat itu. Dalam teori utilitarisme manusia sebagai pribadi tidak
dipedulikan. Soalnya ialah bahwa dalam teori ini pembagian kepuasan tidakl
dianggap. Dikejar kepuasan yang sebesar mungkin tetapi diminta juga bahwa orang tertentu mengorbankan dirinya
bagi kelompok lain. Kepuasan yang lebih besar bagi sekelompok orang merupakan
kompensasi yang secukupnya bagi berkurangnya kepuasan bagi kelompok lain.
Munculnya asas kebebasan berkontrak dalam rumusan
Pasal 1320 KUHPerdata adalah salah satu bentuk kemenangan kubu liberalisme
terhadap kubu utilitarisme. Para pihak bebas membuat perjanjian dengan tanpa
memperhatikan apakah kedudukan para pihak setara, serta apakah kedudukan para
pihak ada kesenjangan terjadi eksploitasi antara pihak yang kuat kepada pihak
yang lemah”.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam perkembangannya,
penerapan Pasal 1320 KUHPerdata di negeri Belanda sendiri juga telah melahirkan
ekses negatif di pihak konsumen (debitur) yaitu dalam hal kedudukan para pihak
dalam perjanjian tidak seimbang, cenderung terjadi eksploitasi pihak yang kuat
kepada yang lemah. Seperti antara pihak bank dengan konsumen, pihak developer
dengan konsumen dan lain-lain.
Beranjak dari penjelasan tersebut di atas, ada upaya
untuk melakukan re-interpretasi terhadap keberadaan asas kebebasan berkontrak
sebagaimana dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu antara lain:
Pertama, asas kebebasan berkontrak bukan lagi dipahami
dalam pengertian mutlak, tetapi relatif. Artinya asas kebebasan berkontrak
dapat diterapkan apabila kedudukan para pihak seimbang. Apabila tidak seimbang
asas kebebasan berkontrak dapat diterapkan apabila ada pengawasan dari negara.
Bentuknya dapat melalui undang-undang maupun komisi di bawah Kementrian
Kehakiman yang secara khusus bertugas mengawasi keberadaan perjanjian yang
dibuat oleh para pihak yang tidak setara kedudukannya.
Kedua, kedudukan hukum perjanjian tidak lagi selamanya
100 persen masuk dalam lapangan hukum privat. Hukum perjanjian selama
berdimensi privat dalam hal isinya menyangkut kepentingan hajat hidup orang
banyak, juga berdimensi publik. Untuk melindungi kepentingan
masyarakat/konsumen dalam perjanjian baku, harus ada campur tangan negara.
Dalam konteks di Negara Indonesia, pengaturan klausula
baku dalam produk undang-undang untuk kali pertama diatur melalui Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen itu memberikan batasan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan
dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Dari batasan tersebut, pengaturan klausula baku hanya
berlaku terbatas untuk dokumen atau perjanjian antara pelaku usaha dan
konsumen. Tidak berlaku untuk perjanjian antara pelaku usaha dengan buruh dalam
perjanjian perburuhan, yang juga berpotensi merugikan pihak yang lemah. Dengan
demikian, praktek perjanjian baku pada transaksi di bidang perbankan juga
merupakan salah satu obyek kebebasan berkontrak yang masuk dan tunduk pada
ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen[6].
5. Keadilan dalam
perikatan
John Rawls berpendapat bahwa terdapat dua prinsip keadilan[7].
Prinsip Pertama
berbunyi demikian :
a.
Setiap orang
mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas
kebebasan yang sama bagi semua orang
b.
Ketimpangan
sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian
rupa sehingga a) dapat diharapkan
memberi keuntungan semua orang; b) semua
posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.
Prinsip Kedua, berkenaan dengan distribusi pendapatan
dan kekayaan serta dengan desain organisasi
yang menggunakan perbedaan dalam otoritas dan tanggungjawab, atau rantai komando.
Sementara distribusi kekayaan dan
pendapatan tidak perlu sama, harus demi
keuntungan semua oang dan pada saat yang sama posisi-posisi otoritas dan
jabatan komando harus bisa diakses oleh semua orang. Masyarakat yang
menerapkan prinsip kedua dengan membuat
posisi-posisinya terbuka bagi semua orang, sehingga tunduk dengan batasan ini, akan mengatur ketimpangan
sosial ekonomi sedemikian hingga semua
orang diuntungkan.
6. Mediasi Perbankan
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No: 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006, penyelelsaian sengketa melalui mediasi
perbankan adalah sengketa antara nasabah dengan bank yang disebabkan tidak dipenuhinya tuntutan
finansial Nasabah oleh Bank dalam penelesaian
pengaduan Nasabah.
Mediasi
perbankan memiliki keunikan
tersendidri dibandingkan mediasi lainnya
karena pemohon datangnya dari Nasabah, sedangkan
termohon adalah pihak Bank.Karena
hubungan antara nasabah dan Bank dimana
Nasabah yang memberikan kepercayaan dan
Bank sebagai penerima , maka Bank dipastikan tidak akan pernah menjadi pihak
yang melakukan pengaduan.
Mediasi perbankan dilakukan oleh lembaga Mediasi
Perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan. Namun karena Mediasi
Perbankan belum dibentuk, sesuai dengan
PBI tersebut, fungsi Mediasi
Perbank dilaksanakan oleh Bank Indoensia.
Ruang lingkup
mediasi perbankan terbatas pada uapaya membantu Nasabah dan Bank untuk
mengkaji ulang Sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kespakatan.
Untuk melaksanakan fungsi Mediasi
perbankan, Bank Indonesia menunjuk mediator.
Sengketa
yang diselesaikan melalui
Mediasi Perbankan dibatasi pada
Sengketa yang memiliki nilai tuntutan finasial paling banyak Rp. 500.000.000
(lima ratus juta rupiah) dan tidak merupakan tuntutan finansial yang
diakibatkan oleh kerugian immateriil.
Proses Mediasi Perbankan adalah sebagai berikut :
a. Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan upaya
penyelesaian kepada Bank secara tertulis.(bukti
tanda terima pengaduan atau tanggapan Bank)
b. Dalam hal nasabah belum menerima penyelesaian Bank,
Nasabah mengajukan secara tertulis kepada Bank Indoensia disertai dokumen
pendeukung
c. Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau
belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat
Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya
d. Sengketa yang diajukan merupakan sengketa keperdataan
e. Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam
Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indoneisa
f. Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60
(enampuluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang
disampaikan Bank kepada Nasabah.
g. Bank Indonesia memanggil, mempertemukan, mendengar dan
memotivasi nasabah dan Bank untuk
mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau keputusan.
h. Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi
(agreement to mediate) yang memuat :
i.
Bank wajib
mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah
dan Bank
j.
Pelaksanaan
proses Mediasi sampai dengan ditandatanganinya Akta Kesepakatan dilakkan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Nasabah dan Bank
menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate).
k. Jangka waktu proses Mediasi dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja
berikutnya berdasarkan kesepakatan Nasabah dan Bank
l.
Kesepakatan
antara Nasabah dan Bank yang dihasilkan dari proses mediasi dituangkan dalam
Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah dan Bank
m. Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian Sengketa
perbankan yang telah dituangkan dalam Akta Kesepakatan.
7. Tujuan dan Tugas Bank Indonesia
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia
mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan
nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang
negara lain.
Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi,
sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap
mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk
memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas
tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank
Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga
pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas tersebut adalah
a. menerapkan dan memelihara
kestabilan moneter
b. mengatur dan menjaga kelancaran
system pembayaran
c. mengatur dan mengawasi bank
Berdasarkan tugas pokok
tersebut, Bank Indonesia memiliki
kewenangan dalam melakukan mediasi perbankan. Sebagaimana diketahui
perbankan merupakan lembaga mediasi bagi
Bank Indonesia dalam menjaga dan memelihara kestabilan moneter dan menjaga
kelancaran system pembayaran. Keberhasilan tugas Bank Indonesia dalam bidang
moneter, system pembayaran
(transfer) akan efektif jika didukung
system perbankan yang baik.
Perbankan akan memiliki
tingkat kepercayaan dari stakeholder, jika bank mampu menjaga
kredibitilas dan integritas serta
profesionalisme sebagai lembaga
kepercayaan. Untuk menjaga bahkan meningkatkan
kepercayaan masyarakat kepada bisnis perbankan, maka upaya Bank
Indonesia sebagai mediator dalam sengketa
perdata antara Nasabah dan Bank
merupakan langkah yang tepat. Hal tersebut mengingat Bank Indonesia merupakan lembaga independen baik secara
tugas maupun organisasi. Bank Indonesia
sebagai Mediasi Perbankan merupakan upaya Bank Indonesia untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Berbagai sengketa antara nasabah dan
bank yang pernah diproses penyelesaiannya melalui mediasi antara lain:
a. Penggunaan
kartu kredit yang tidak diakui oleh nasabah;
b. Penarikan
rekening tabungan yang tidak diakui oleh nasabah;
c. Perhitungan jumlah pokok, bunga dan denda tagihan kartu
kredit;
d. Kegagalan
penarikan dana melalui ATM namun rekening nasabah tetap terdebet;
e. Tagihan
kartu kredit yang telah ditutup;
Pendebetan rekening nasabah
melalui SMS Banking yang tidak diakui nasabah
Berdasarkan
data-data tersebut, beberapa
kasus memiliki potensi dengan nilai yang lebih besar dari Rp.
500.000.000 antara lain seperti kasus penarikan rekening tabungan yang tidak diakui nasabah.
Perkembangan teknologi
informasi turut mempengaruhi industri perbankan. Produk tabungan
Nasabah sudah bisa diakses
dengan jaringan komputer (internet banking). Dengan kemajuan teknologi yang demikian,
transaksi miliaran dapat dilakukan dalam
hitungan menit.
Bank tidak membatasi seseorang untuk memiliki tabungan di atas nilai Rp.500.000.000
sehingga transaksi penarikan tunai dengan nilai
di atas Rp.500.000.000 sangat
dimungkinkan.
Kedudukan nasabah
baik nasabah Tabungan ataupun
nasabah Kredit seharusnya mendapat
perlakukan yang sama. Bank Indonesia sebagai
pengatur dan pengawas
perbankan harus memperlakukan bank dan nasabahnya secara adil dan mendapat
perlakukan yang sama sesuai ketentuan yang berlaku.
Hubungan
Nasabah dan Bank terjadi karena
mengikuti peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia, dimana hubungan tersebut
lahir dari adanya perjanjian.
Menurut prinsip
perjanjian, bahwa kedua pihak yang membuat perjanjian mempunyai kedudukan yang
sama. Bank juga memiliki kewajiban
memperlakukan nasabah secara adil. Hak setiap nasabah untuk mendapat
perlakuan yang sama dari Bank Indonesia
dalam menghadapi sengketa dengan perbankan.
Dengan demikian, pembatasan dari Bank Indonesia terhadap suatu sengketa yang diupayakan
penyelesaiannya melalui Mediasi Perbankan menjadi tidak relevan. Untuk itu,
dalam memberikan keadilan kepada semua nasabah, Bank Indonesia perlu membuka
diri terhadap penyelesaian sengketa
dengan tuntutan finansial yang tidak terbatas.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Mediasi merupakan salah satu upaya penyelesaian
sengketa yang relatif lebih efektif dan efisien dibandingkan penyelesaian
sengketa lewat Arbitrase dan
Litigasi.
2. Penyelesaian sengketa lewat mediasi relatif
berkembang, meliputi beberapa sektor antara lain perbankan.
3. Bank Indonesia sebagai
Bank Sentral yang memiliki tugas mengatur dan mengawasi perbankan mempunyai kedudukan yang tepat sebagai lembaga medisi sengketa Bank dan
Nasabah. Hal ini dalam rangka mendukung tugas Bank Indonesia meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan.
4. Penyelesaian sengketa
Bank dan Nasabah melalui Mediasi Perbankan dengan skala nilai tuntutan finansial tidak lebih dari
Rp.500.000.000 menjadi tidak relevan karena tidak sesuai dengan keadilan dan asas perlakukan yang sama terhadap
semua nasabah.
5. Untuk meningkatkan peran Bank Indonesia dalam mendukung kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan, Bank Indonesia perlu melakukan revisi terhadap ketentuan
mengenai pembatasan tuntutan finansial.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
1. I Made
Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta,
2009
2. John
Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011
3. Suyud
Margono; Penyelesaian Sengketa Bisnis; Ghalia Indonesia,Bogor, 2010
4. Tri
Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia,
Ghallia Indonesia, Bogor, 2006
Journal-journal
1. Christoper
Baum, The Benefits of Alternative Dispute Resolution in Common Interest
Development Dispute, St. John’s Law Review, 997 (2010)
2.
McDowell, Alternative Dispute Resolution, S.A.M
Advanced Management Journal; Summer 2004.
[1]McDowell, Alternative Dispute Resolution, S.A.M
Advanced Management Journal; Summer 2004, page 32
[2]Christoper Baum, The Benefits of Alternative
Dispute Resolution in Common Interest Development Dispute, St. John’s Law
Review, 997 (2010), page 993
[4]Suyud Margono; Penyelesaian Sengketa Bisnis;
Bogor; Ghalia Indonesia;2010;hlm 70-74
[5]Tri Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi
Produk Perbankan di Indonesia, Ghallia Indonesia, Bogor, hlm 22
[6]http://urai28imam.blogspot.com/2011/03/kedudukan-yang-tidak-seimbang-dalam.html
[7]John Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, hlm 72-73
Gambling, a mobile app, and more - JTM Hub
ReplyDeleteCheck out the latest news 성남 출장마사지 and stories on gambling, 전라남도 출장마사지 gambling and entertainment in your state, news and 영주 출장안마 scores 안산 출장마사지 at JTM. 전라남도 출장마사지