Tuesday 12 June 2012


MASALAH PEMBATASAN TUNTUTAN FINANSIAL
 DALAM MEDIASI PERBANKAN
Robert Panjaitan
========================================
A.    LATAR BELAKANG
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa  sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan  oleh para pihak  melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Menurut UU No.30/1999 tersebut, penyelesaian sengketa dapat ditempuh  melalui beberapa tahapan yaitu :
a.       Negosiasi yaitu beda pendapat diselesaikan dengan tatap muka oleh para pihak. Hasil kesepakatan dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis
b.      Bantuan Penasehat Ahli dalam hal kesepakatan tidak dapat dicapai melalui negosiasi
c.       Mediasi yaitu apabila para pihak gagal menyelesaikan sengketa melalui negosiasi atau Bantuan Penasehat Ahli, maka atas kesepakan,  para pihak menunjuk  seorang mediator  untuk membantu  para pihak mencapai suatu kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani semua pihak terkait.
d.      Arbitrase, apabila usaha perdamaian  melalui seluruh tahapan di atas tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
Pengesampingan litigasi di Pengadilan Negeri dalam penyelesaian sengketa perdata dan memilih alternatif  penyelesaian sengketa memiliki argumentasi yang beragam.
Menurut   ahli hukum dari Harvard University, Laurence Tribe sebagaimana dikutip McDowell, mengemukakan bahwa ADR lebih dipilih karena  alasan  “ Semakin banyak hukum, semakin sedikit keadilan, Semakin banyak  aturan semakin sedikit  hasilnya  (Too much law, too litle justice, too many  rules, too few  results)[1].
Menurut Christopher Baum, Mediasi berbeda  dari  litigasi dan arbitrasi dalam hal mediator tidak membuat keputusan terhadap sengketa para pihak. Kelebihan mediasi adalah para pihak dapat membuat kesepakatan terhadap permasalahan mereka.Berbeda dengan proses litigasi atau arbitrasi yang sangat terikat dengan peraturan-peraturan dan kesepakatan arbitrase, mediator dapat menciptakan dan mengusulkan  solusi yang kreatif dan inovatif terhadap sengketa para pihak. (Mediation differs from litigation and arbitration in that a mediator does not make any decision regarding the merits of the parties’ claims. Mediation has several advantages over litigation and arbitration. The most significant advantage of mediation is the parties’ ability to shape relief that is individually tailored for their dispute. Mediation leaves the parties in control of the settlement process, rather than ceding the result to a judge, jury, or arbitrator. In litigation and arbitration, the relief that can  be provided is limited by substantive law.  Additionally, arbitrators are also limited by the terms of the arbitration  agreement. Mediators, on the other hand, may suggest creative and innovative solutions to help the parties resolve their conflict).[2]
Sejalan dengan perkembangan bisnis di Indonesia, penyelesaian sengketa di antara pelaku bisnis cenderung memilih  ADR.  Hal ini didukung semakin tersedianya lembaga atau badan mediasi  dan adanya aturan-aturan yang menjadi acuan dalam melakukan mediasi.
Perbankan sebagai lembaga yang sangat vital dalam perekonomian juga telah memiliki  jalur Mediasi  sebagai alternatif penyelesaian sengketa.  Ketentuan mengenai Mediasi Perbankan diatur dalam Peraturan Bank IndonesiaNomor : 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia  Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
Mengingat pentingnya  perbankan bagi kehidupan masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai pelaku usaha, sementara  dinamika perkembangan teknologi dan produk perbankan yang relatif cepat, merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti. Sementara itu, hubungan Bank  dan  pengguna jasa Bank (Nasabah)  timbul sebagai akibat dari adanya  saling membutuhkan sebagai  surplus spending unit dan defisit spending unit dengan dasar kepercayaan dan itikad baik. Hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk perjanjian atau kontrak  yang sifatnya relatif  tetap.
Adanya perubahan teknologi dan produk perbankan dari waktu ke waktu yang tentu saja  tidak mampu diakomodir dalam klausula perjanjian, akan berdampak pada timbulnya sengketa antara Bank dan Nasabah.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti   proses Mediasi Perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan judul  “PEMBATASAN TUNTUTAN FINANSIAL DALAM MEDIASI PERBANKAN”
Dalam PBI tersebut di atas, Bank Indonesia bertindak selaku  lembaga yang melakukan mediasi perbankan.



B.     PERMASALAHAN
Melakukan penelitian terhadap  peranan Bank Indonesia dalam sengketa perbankan merupakan suatu ruang lingkup yang luas. Hal ini disebabkan kedudukan Bank Indonesia  sebagai Bank Sentral akan terkait dengan tugas dan fungsi serta kedudukan Bank Indonesia sebagai Lembaga Negara.  Untuk lebih terfokusnya  pembahasan dalam penelitian ini, penulis membatasi  objek penelitian pada permasalahan :
a.       Apakah peranan  Bank Indonesia  sebagai mediator  masih relevan dengan tugas pokoknya?
b.      Bank Indonesia membatasi  mediasi  hanya pada sengketa perdata dengan tuntutan finansial Rp.500.000.000. Bagaimana hal tersebut bisa dipertahankan dari aspek keadilan dan kesamaan di hadapan hukum?


C.    PEMBAHASAN DAN ANALISIS

1.  Alternatif Penyelesaian Sengketa melalui Mediasi
      Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa antara Para Pihak yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (Mediator) yang netral dan tidak memihak sebagai fasilitator, dimana keputusan untuk mencapai suatu  kesepakatan  tetap diambil oleh Para Pihak itu sendiri dan tidak oleh mediator.
      Mediator memiliki peranan yang sangat penting, dan diperlukan dalam pencapaian hasil mediasi, yaitu :
a.       Membantu Para Pihak melakukan negosiasi apabila negosiasi yang dilakukan  secara  langsung oleh Para Pihak tidak berhasil mencapai suatu kesepakatan.
b.      Membantu Para Pihak melakukan komunikasi yang efektif dan produktif
c.       Membantu Para Pihak menetapkan prioritas pokok untuk menyelesaikan sengketa.
d.      Memfasilitasi Para Pihak agar dapat memperkecil kesenjangan  yang ada di antara mereka.
e.       Membantu Para Pihak memilah-milah  permasalahan yang kompleks yang mereka hadapi agar pertemuan dapat berlangsung
f.       Bekerja bersama-sama Para Pihak memperkecil perbedaan-perbedaan yang dihadapi  untuk mengakhiri perselisihan secara damai
g.      Menjelaskan posisi masing-masing pihak dan memberikan ide/pandangan yang realistis terhadap tuntutan/keinginan masing-masing dalam rangka usaha mempertemukan mereka.
h.      membantu mengurangi rasa permusuhan dan ketegangan di antara Para Pihak dan mendorong agar terjadi kerja sama.
i.        Membantu para pihak menciptakan dan menganalisi pilihan-pilihan penyelesaian.
j.        Membantu Para Pihak menuangkan penyelesaiannya dalam bentuk kesepakatan tertulis dan
k.      Membantu memantau pemenuhan dan pelaksanaan atas kesepakatan tersebut.

Menurut  Moore sebagaimana dikutip oleh I Made Widnyana[3], mediator dibagi ke dalam 3 (tiga) jenis yaitu :
a.       Mediator Jaringan Sosial (Social Network Mediators)
Merupakan mediator yang dipimpin oleh salah seorang tokoh yang berpengaruh, baik selaku tokoh agama, maupun tokoh adat dari masyarakat setempat yang disegani dan dihormati.
b.      Mediator Berwenang (Authoritative Mediators)
Seseorang yang mempunyai suatu hubungan wewenang dengan Para Pihak dan memiliki posisi lebih besar atau lebih kuat, serta kapasitas potensial atau sebenarnya untuk mempengaruhi hasil suatu sengketa.
c.       Mediator Independen (Independent Mediators)
Mediator yang sangat umum ditemukan dalam berbagai budaya  atau tradisi dari suatu  pengadilan yang independen, yang menyediakan suatu model mencakup tata cara yang adil dan yang tidak memihak sebagai pembuat keputusan. Mediator tipe ini bersikap netral dengan sukarela  mencari solusi  yang terbaik, serta tidak memaksa salah satu pihak.

2. Perbandingan  penerapan Mediasi  di negara-negara lain[4]
a.       Amerika Serikat
Perkembangan lembaga mediasi di Amerika Serikat, dapat dikemukakan  sebanyak 220 public mediation centers yang beroperasi di seluruh 40 negara  bagian. Setiap mediation centers mempunyai jaringan yang melaksanakan  operasi pada setiap wilayah. Sebagian besar  didukung dana  pemerintah  dan sebagaian berasal dari  dana lembaga  masyarakat atau dari biaya administrasi yang dibayar pihak pemakai. Secara khusus  yang banyak dibawa ke mediasi adalah sengketa bisnis. Dari waktu ke waktu, masyarakat bsnis cenderung mencari penyelesaian sengketa melalui ADR. Mediasi dianggap salah satu pilihan terbaik diantara sistem dan bentuk ADR yang ada.
Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi  yang biasa dilakukan  di Amerika antara lain  sebagai berikut :
·         Ada dua pihak yang bersengketa, pihak penggugat disebut claimant (penggugat, pemohon) dan respondent (tergugat, termohon). Namun  status para  pihak dalam mediasi tidak begitu prinsipil. Kemungkinan dalam proses, bisa terjadi pergeseran pihak yang semula  menjadi claimant berubah menjadi respondent. Oleh karena itu, tanpa mengurangi pengertian teknis yang menamakan  pihak pengambil inisiatif pengajuan sengketa adalah claimant dan yang ditarik  sebagai lawan respondent.
·         Persetujuan penyelesaian mediasi dengan adanya peernyataan submission to mediation atau consent to mediation, yakni berupa  pernyataan kesediaan menyerahkan  penyelesaian  sengketa kepada mediasi. Sebagai syarat formal submission harus ada kesepakatan kedua  belah pihak  yang bersengketa dan menandatangani  formulir submission to mediation
·         Uraian sengketa ditulis dalam formulir submission yang menyangkut 3 hal pokok bagian, yaitu :
o   Masalah apa yang dituntut
o   Penyelesaian yang diinginkan
o   Jumlah ganti kerugian yang diminta
·         Kedudukan dan peran para mediator. Pada dasarnya tidak ada cara dan gaya yang dianggap  paling benar. Namun demikian secara garis besar dapat digambarkan  kedudukan dan peran mediator, antara lain :
o   Berada di tengah pihak
o   Mengisolasi proses mediasi
o   Mediator tidak berperan sebagai hakim
o   Mediator harus mampu menekan reaksi ang mungkin timbul
o   Mampu mengarahkan pertemuan pemeriksaan (hearing)
o   Pemeriksaan bersifat  konfidential dan hasil kesepakatan dirumuskan dalam bentuk akta kompromis.
b.      Jepang
Di Jepang mediasi cukup populer, namun sistemnya selalu  bersifat koneksitas  antara konsiliasi dengan arbitrase. Bila mediasi gagal, proses dihentikan. Akan tetapi langsung dilanjutkan  dengan konsiliasi  dan mediator bertindak sebagai konsiliator. Bila konsiliasi  juga gagal, langsung dilanjutkan penyelesaian melalui arbitrase dan konsiliator bertindak sebagai arbitrator.
c.       Korea Selatan
Perkembangan ADR di Korea Selatan hampir sama dengan di Jepang. Mediasi diselesaikan dengan koneksitas antara mediasi-konsiliasi-arbitrase.
d.      Australia
Pada prinsipnya  mediasi di Australia hampir tidak berbeda dengan  di Amerika, Jepang, Korea Selatan. Australia mengatur mediasi berkoneksitas dengan pengadilan dimana yang bertindak sebagai mediator pada umumnya terdiri dari  pejabat pengadilan yang kompromi penyelesaian  yang diambil bersifat compulsory (memaksa) kepada kedua belah pihak. Penerapan bentuk mediation –arbitration  dilakukan secara bertahap.
·         Lebih dulu dicoba diselesaikan melalui cara mediasi jika berhasil, proses selesai hasil kompromi menjadi putusan arbitrase
·         Tahap selanjutnya bila mediasi gagal, proses dilanjutkan melalui cara penyelesaian  arbitrase dan putusan langsung final dan mengikat.

3. Hubungan Bank dan Nasabah
Hubungan  hukum formal antara bank dengan nasabah seringkali menunjuk kepada berlakunya  ketentuan yang lebih luas dan ketentuan tersebut dinyatakan sebagai ketentuan yang berlaku dan merupakan bagian serta satu kesatuan yang tidak terpisahkan  dengan aplikasi tersebut. Hal ini perlu disadari bahwa  hampir semua  perbank di Indonesia dalam aplikasinya menggunakan klausula baku.  Dalam aplikasi tersebut sering memuat ketentuan-ketentuan yang menunjuk ketentuan lain (yang berlaku)   yang terpisah dengan aplikasi tersebut. Dalam hal ini masyarakat sering kurang memahami  sehingga mereka tidak membaca mengenai ketentuan-ketentuan apa saja yang berhubungan dengan aplikasi tersebut. Yang dimaksud dengan ketentuan lain yaitu “Peraturan yang berlaku berarti peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia, khususnya di bidang perbankan, termasuk dan tidak terbatas pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan ketentuan-ketentuan  dari asosiasi-asosiasi dengan siapa bank bergabung serta aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang berlaku pada waktu dan di tempat tindakan atau persetujuan tersebut dilaksanakan.[5]

4. Perlindungan Konsumen Atas Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Baku
Dalam membahas asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KHUPerdata, untuk mempermudah pemahamannya maka tidak terlepas dari jejak historis/riwayat proses lahirnya Pasal 1320 itu sendiri. Jejak historis/riwayat keberadaan Pasal 1320 KUHPerdata dijabarkan oleh Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, SH sebagaimana berikut di bawah ini:
“KUHPerdata yang sekarang ini berlaku adalah berasal dari Burgerlijk Wetboek (BW) Negeri Belanda. Diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordasi (Pasal 131 IS, S. 1925 No. 577, 415 dan 416 jo. S. 1855 No. 2). Sedangkan BW itu sendiri diadopsi dari Code Civil yang disahkan oleh Kaisar Napoleon Bonaparte tahun 1804 di Perancis. Dan Code Civil Perancis sendiri banyak dipengaruhi Corpus Luris Civils, yaitu kodifikasi Hukum Perdata Romawi, susunan Justinianus seorang Raja Romawi Timur (524-565 M).
Ketika BW dibuat di Erofa waktu itu, setidak-tidaknya ada dua kubu pemikiran yang cukup berpengaruh, yang secara langsung atau tidak diduga berpengaruh terhadap proses penyusunan BW tersebut yaitu:
Pertama, kubu liberalisme dengan salah satu pakarnya yaitu Adam Smith (1723-1790). Inti pemikirannya adalah bahwa masyarakat adalah lapangan hidup di mana individu-individu dapat mewujudkan hak-hak dan kebebasan asli mereka. Negara tidak berpengaruh atas kegiatan-kegiatan individu. Kekuasaan politik juga tidak berhak untuk camputangan dalam kehidupan masyarakat kecuali kalau terhadap bahaya yang sungguh-sungguh, bahea suatu konsentrasi kekuatan ekonomi yang terlalu besar akan menghindarkan berjalannya kehidupan bebas individu-individu.
Kedua, kubu utilitarisme, di mana salah satu pakarnya adalah Jeremy Bentham (1748-1832). Ide utilitarisme adalah masyarakat diatur dengan baik, kalau institusi-institusi yang berkepentingan dibentuk sedemikian rupa sehingga menghasilkan kepuasan yang sebesar mungkin bagi semua orang yang termasuk masyarakat itu. Dalam teori utilitarisme manusia sebagai pribadi tidak dipedulikan. Soalnya ialah bahwa dalam teori ini pembagian kepuasan tidakl dianggap. Dikejar kepuasan yang sebesar mungkin tetapi diminta juga  bahwa orang tertentu mengorbankan dirinya bagi kelompok lain. Kepuasan yang lebih besar bagi sekelompok orang merupakan kompensasi yang secukupnya bagi berkurangnya kepuasan bagi kelompok lain.
Munculnya asas kebebasan berkontrak dalam rumusan Pasal 1320 KUHPerdata adalah salah satu bentuk kemenangan kubu liberalisme terhadap kubu utilitarisme. Para pihak bebas membuat perjanjian dengan tanpa memperhatikan apakah kedudukan para pihak setara, serta apakah kedudukan para pihak ada kesenjangan terjadi eksploitasi antara pihak yang kuat kepada pihak yang lemah”.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam perkembangannya, penerapan Pasal 1320 KUHPerdata di negeri Belanda sendiri juga telah melahirkan ekses negatif di pihak konsumen (debitur) yaitu dalam hal kedudukan para pihak dalam perjanjian tidak seimbang, cenderung terjadi eksploitasi pihak yang kuat kepada yang lemah. Seperti antara pihak bank dengan konsumen, pihak developer dengan konsumen dan lain-lain.
Beranjak dari penjelasan tersebut di atas, ada upaya untuk melakukan re-interpretasi terhadap keberadaan asas kebebasan berkontrak sebagaimana dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu antara lain:
Pertama, asas kebebasan berkontrak bukan lagi dipahami dalam pengertian mutlak, tetapi relatif. Artinya asas kebebasan berkontrak dapat diterapkan apabila kedudukan para pihak seimbang. Apabila tidak seimbang asas kebebasan berkontrak dapat diterapkan apabila ada pengawasan dari negara. Bentuknya dapat melalui undang-undang maupun komisi di bawah Kementrian Kehakiman yang secara khusus bertugas mengawasi keberadaan perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tidak setara kedudukannya.
Kedua, kedudukan hukum perjanjian tidak lagi selamanya 100 persen masuk dalam lapangan hukum privat. Hukum perjanjian selama berdimensi privat dalam hal isinya menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, juga berdimensi publik. Untuk melindungi kepentingan masyarakat/konsumen dalam perjanjian baku, harus ada campur tangan negara.
Dalam konteks di Negara Indonesia, pengaturan klausula baku dalam produk undang-undang untuk kali pertama diatur melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu memberikan batasan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Dari batasan tersebut, pengaturan klausula baku hanya berlaku terbatas untuk dokumen atau perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen. Tidak berlaku untuk perjanjian antara pelaku usaha dengan buruh dalam perjanjian perburuhan, yang juga berpotensi merugikan pihak yang lemah. Dengan demikian, praktek perjanjian baku pada transaksi di bidang perbankan juga merupakan salah satu obyek kebebasan berkontrak yang masuk dan tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen[6].

5. Keadilan dalam perikatan
John Rawls berpendapat bahwa terdapat  dua prinsip keadilan[7].
 Prinsip Pertama berbunyi demikian :
a.        Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan  yang sama bagi semua orang
b.        Ketimpangan sosial dan ekonomi mesti  diatur sedemikian rupa sehingga  a) dapat diharapkan memberi keuntungan  semua orang; b) semua posisi  dan jabatan terbuka  bagi semua orang.
Prinsip Kedua, berkenaan dengan distribusi pendapatan dan kekayaan serta dengan desain organisasi  yang menggunakan perbedaan dalam otoritas  dan tanggungjawab, atau rantai komando. Sementara distribusi  kekayaan dan pendapatan  tidak perlu sama, harus demi keuntungan semua oang dan pada saat yang sama posisi-posisi otoritas dan jabatan komando harus bisa diakses oleh semua orang. Masyarakat yang menerapkan  prinsip kedua dengan membuat posisi-posisinya terbuka bagi semua orang, sehingga tunduk  dengan batasan ini, akan mengatur ketimpangan sosial ekonomi sedemikian  hingga semua orang diuntungkan.

6.  Mediasi Perbankan
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia  No: 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari   2006, penyelelsaian sengketa melalui mediasi perbankan adalah sengketa antara nasabah dengan bank yang  disebabkan tidak dipenuhinya tuntutan finansial  Nasabah oleh Bank dalam penelesaian pengaduan Nasabah.
Mediasi  perbankan  memiliki keunikan tersendidri dibandingkan mediasi  lainnya karena  pemohon  datangnya dari Nasabah, sedangkan termohon  adalah pihak Bank.Karena hubungan  antara nasabah dan Bank dimana Nasabah yang memberikan kepercayaan  dan Bank sebagai penerima , maka  Bank  dipastikan tidak akan pernah menjadi pihak yang melakukan pengaduan.
Mediasi perbankan dilakukan oleh lembaga Mediasi Perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan. Namun karena Mediasi Perbankan belum dibentuk, sesuai dengan  PBI tersebut,  fungsi Mediasi Perbank dilaksanakan oleh Bank Indoensia.
Ruang lingkup  mediasi perbankan terbatas pada uapaya membantu Nasabah dan Bank untuk mengkaji ulang Sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kespakatan. Untuk melaksanakan fungsi Mediasi  perbankan, Bank Indonesia menunjuk mediator.
Sengketa  yang   diselesaikan  melalui  Mediasi Perbankan dibatasi  pada Sengketa yang memiliki nilai tuntutan finasial paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan tidak merupakan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh  kerugian immateriil.
Proses Mediasi Perbankan adalah sebagai berikut :
a.       Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan upaya penyelesaian kepada Bank secara tertulis.(bukti  tanda terima pengaduan atau tanggapan Bank)
b.      Dalam hal nasabah belum menerima penyelesaian Bank, Nasabah mengajukan secara tertulis kepada Bank Indoensia disertai dokumen pendeukung
c.       Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya
d.      Sengketa yang diajukan merupakan sengketa keperdataan
e.       Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indoneisa
f.       Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enampuluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.
g.      Bank Indonesia memanggil, mempertemukan, mendengar dan memotivasi nasabah dan   Bank untuk mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau keputusan.
h.      Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) yang memuat :
i.        Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah dan Bank
j.        Pelaksanaan proses Mediasi sampai dengan ditandatanganinya Akta Kesepakatan dilakkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate).
k.      Jangka waktu proses Mediasi  dapat diperpanjang  sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan Nasabah dan Bank
l.        Kesepakatan antara Nasabah dan Bank yang dihasilkan dari proses mediasi dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah dan Bank
m.    Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian Sengketa perbankan yang telah dituangkan dalam Akta Kesepakatan.

7.  Tujuan dan Tugas Bank Indonesia

Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas tersebut adalah
a.       menerapkan dan memelihara kestabilan moneter
b.      mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran
c.       mengatur dan mengawasi bank

Berdasarkan tugas pokok tersebut, Bank Indonesia memiliki  kewenangan dalam melakukan mediasi perbankan. Sebagaimana diketahui perbankan merupakan lembaga mediasi  bagi Bank Indonesia dalam menjaga dan memelihara kestabilan moneter dan menjaga kelancaran system pembayaran.  Keberhasilan  tugas Bank Indonesia  dalam bidang  moneter,  system pembayaran (transfer)  akan efektif jika didukung system perbankan yang baik.
Perbankan  akan memiliki  tingkat kepercayaan dari stakeholder, jika bank mampu menjaga kredibitilas  dan integritas serta profesionalisme  sebagai lembaga kepercayaan. Untuk menjaga bahkan meningkatkan  kepercayaan masyarakat kepada bisnis perbankan, maka upaya Bank Indonesia sebagai mediator dalam sengketa  perdata antara  Nasabah dan Bank merupakan langkah yang tepat. Hal tersebut mengingat  Bank Indonesia  merupakan lembaga independen baik secara tugas maupun  organisasi. Bank Indonesia sebagai Mediasi Perbankan merupakan upaya Bank Indonesia  untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Berbagai sengketa antara nasabah dan bank yang pernah diproses penyelesaiannya melalui mediasi antara lain:
a.       Penggunaan kartu kredit yang tidak diakui oleh nasabah;
b.      Penarikan rekening tabungan yang tidak diakui oleh nasabah;
c.       Perhitungan  jumlah pokok, bunga dan denda tagihan kartu kredit;
d.      Kegagalan penarikan dana melalui ATM namun rekening nasabah tetap terdebet;
e.       Tagihan kartu kredit yang telah ditutup;
Pendebetan rekening nasabah melalui SMS Banking yang tidak diakui nasabah

Berdasarkan  data-data tersebut, beberapa  kasus memiliki potensi dengan nilai yang lebih besar dari Rp. 500.000.000 antara lain seperti kasus penarikan rekening tabungan yang tidak diakui  nasabah.
Perkembangan teknologi  informasi turut mempengaruhi industri perbankan. Produk  tabungan  Nasabah  sudah bisa diakses dengan  jaringan komputer  (internet banking).  Dengan kemajuan teknologi yang demikian, transaksi  miliaran dapat dilakukan dalam hitungan menit.
Bank tidak membatasi seseorang  untuk memiliki tabungan di atas nilai Rp.500.000.000 sehingga transaksi  penarikan tunai  dengan nilai  di atas  Rp.500.000.000 sangat dimungkinkan.
Kedudukan nasabah  baik  nasabah Tabungan ataupun nasabah Kredit  seharusnya mendapat perlakukan yang sama. Bank Indonesia sebagai  pengatur  dan pengawas perbankan  harus memperlakukan  bank dan nasabahnya secara adil dan mendapat perlakukan yang sama sesuai ketentuan yang berlaku.
Hubungan  Nasabah dan Bank  terjadi karena mengikuti peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia, dimana hubungan tersebut lahir dari adanya perjanjian.
Menurut  prinsip perjanjian, bahwa kedua pihak yang membuat perjanjian mempunyai kedudukan yang sama.  Bank juga memiliki  kewajiban  memperlakukan  nasabah secara  adil. Hak setiap nasabah untuk mendapat perlakuan yang sama dari Bank Indonesia  dalam menghadapi sengketa dengan perbankan.
Dengan demikian, pembatasan dari Bank Indonesia  terhadap suatu sengketa yang diupayakan penyelesaiannya melalui Mediasi Perbankan menjadi tidak relevan. Untuk itu, dalam memberikan keadilan kepada semua nasabah, Bank Indonesia perlu membuka diri terhadap penyelesaian sengketa  dengan tuntutan finansial yang tidak terbatas.

D.     KESIMPULAN DAN SARAN
1.      Mediasi merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa yang relatif lebih efektif dan efisien dibandingkan  penyelesaian  sengketa lewat  Arbitrase dan Litigasi.
2.      Penyelesaian sengketa lewat mediasi relatif berkembang, meliputi beberapa sektor antara lain perbankan.
3.      Bank Indonesia sebagai  Bank Sentral yang memiliki tugas mengatur dan mengawasi perbankan  mempunyai kedudukan yang tepat  sebagai lembaga medisi sengketa Bank dan Nasabah. Hal ini dalam rangka mendukung tugas Bank Indonesia meningkatkan  kepercayaan  masyarakat terhadap perbankan.
4.      Penyelesaian sengketa  Bank dan Nasabah melalui Mediasi Perbankan dengan skala nilai  tuntutan finansial tidak lebih dari Rp.500.000.000 menjadi tidak relevan karena tidak sesuai dengan  keadilan dan asas perlakukan yang sama terhadap semua nasabah.
5.      Untuk meningkatkan peran Bank Indonesia  dalam mendukung kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, Bank Indonesia perlu melakukan revisi terhadap ketentuan mengenai pembatasan tuntutan finansial.



DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku

1.      I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2009
2.      John Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011
3.      Suyud Margono; Penyelesaian Sengketa Bisnis; Ghalia Indonesia,Bogor, 2010
4.      Tri Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Ghallia Indonesia, Bogor, 2006

Journal-journal

1.      Christoper Baum, The Benefits of Alternative Dispute Resolution in Common Interest Development Dispute, St. John’s Law Review, 997 (2010)
2.      McDowell, Alternative Dispute Resolution, S.A.M Advanced Management Journal; Summer 2004.


[1]McDowell, Alternative Dispute Resolution, S.A.M Advanced Management Journal; Summer 2004, page 32
[2]Christoper Baum, The Benefits of Alternative Dispute Resolution in Common Interest Development Dispute, St. John’s Law Review, 997 (2010), page 993
[3] I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2009, hlm.115-116
[4]Suyud Margono; Penyelesaian Sengketa Bisnis; Bogor; Ghalia Indonesia;2010;hlm 70-74
[5]Tri Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Ghallia Indonesia, Bogor, hlm 22
[6]http://urai28imam.blogspot.com/2011/03/kedudukan-yang-tidak-seimbang-dalam.html

[7]John Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm 72-73

1 comment:

  1. Gambling, a mobile app, and more - JTM Hub
    Check out the latest news 성남 출장마사지 and stories on gambling, 전라남도 출장마사지 gambling and entertainment in your state, news and 영주 출장안마 scores 안산 출장마사지 at JTM. 전라남도 출장마사지

    ReplyDelete