ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Prof. Dr. Kuntoro PhD.
Program Magister Ilmu Hukum Ubhara Jaya
Jakarta 2012
================================================================
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN SENGKETA
Sengketa adalah suatu
keadaan dimana terdapat konflik kepentingan (conflict of interest) antara 2
pihak dalam suatu peristiwa hukum dimana antara keduanya tidak tercapai kesepakatan.
Peristiwa hukum adalah peristiwa
yang mempunyai akibat hukum:
Contoh: Orang
jual-beli dimana si penjual wajib menyerahkan barang dan si pembeli wajib
menbayarnya.
Peristiwa hukum dapat
berupa:
·
Keadaan misal, keadaan hidup bertetangga.
Artinya, para tetangga harus saling menghormati. Contoh; jika ada tetangga
menyalakan tv keras-keras berarti telah melanggar hidup bertetangga.
·
Perbuatan, misal; jual-beli, pinjam-meminjam
·
Kejadian; misal,
ü kelahiran
menimbulkan kewajiban anak menghormati orang tua dan menimbulkan kewajiban
orang tua untuk memelihara anak,
ü kematian
jika terjadi suatu kematian menimbulkan akibat hukum hak dan kewajiban pewaris
beralih kepada ahli waris.
B. RUANG LINGKUP
1.
Yang dibahas
yaitu sengketa-sengketa dibidang keperdataan dalam arti luas, termasuk
didalamnya sengketa dagang, investasi, HAKI.
2.
Sengketa
dibidang keperdataan/sengketa bidang perdagangan baik nasional maupun
internasional.
C. CARA PENYELESAIAN SENGKETA
Pada prinsipnya penyelesaian
sengketa dilakukan dengan 2 cara penyelesaian, yaitu:
1.
Cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan
“litigasi”
2.
Cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan
“non litigasi”
Cara “Non litigasi” ditempuh dengan 2 cara:
a. Melalui
alternative penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution “ADR”).
b.
Melalui arbitrase (Arbitration)
BAB II
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE
A. PENGERTIAN ARBITRASE
Arbitrase adalah
cara penyelesaian sengketa di luar lembaga pengadilan yang diadakan oleh para
pihak yang bersengketa atas dasar perjanjian (Harus tertulis) melalui lembaga arbitrase.
B. KELEBIHAN-KELEBIHAN MENGGUNAKAN CARA
ARBITRASE
1. Sifat
kerahasiaan; kerahasiaan
sengketa terjamin, karena proses sidang arbitrase itu dilakukan secara tertutup
(tidak seperti sidang untuk pengadilan yang terbuka untuk umum).
Dilakukan
tertutup karena apabila public tahu maka akan mempengaruhi para klien atau
konsumen akan merusak reputasi kredibilitas dari pengusaha.
2. Relative
proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih cepat dibandingkan dengan
proses litigasi.
Hal ini
jelas bahwa menurut UU sengketa arbitrase itu paling lambat harus diselesaikan
dalam waktu 180 hari (6 bulan), sedangkan litigasi bisa bertahun-tahun.
3. Para pihak yang bersengketa dapat memilih
arbiternya (hakimnya)
4. Para pihak dapat
menentukan pilihan hukum yang berlaku atas sengketa tersebut (bebas memilih
aturan arbitrase (arbitrase rules))
Misal: para
pihak setuju akan menggunakan prosedur arbitrase BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia)
5. Putusan
arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding)
Artinya,
tidak ada upaya banding sedangkan litigasi ada upaya banding atau kasasi.
C. SEJARAH ARBITRASE INTERNASIONAL
Lembaga
arbitrase sudah dikenal sejak jaman kuno (Romawi) tetapi secara konkrit lembaga
arbitrase muncul pada abad ke-18 tepatnya tahun 1794 dengan adanya suatu
perjanjian yang dinamakan (Jay Treaty),
yaitu perjanjian antara AS dengan Inggris dimana dengan perjanjian tersebut
disepakati bagaimana penyelesaian sengketa dibidang perdagangan. Sehubungan
dengan perjanjian itu, maka dibentuklah lembaga yang dinamakan (MIXED COMMISSION) yang
berfungsi menyelesaikan sengketa dagang. Sebelum adanya Jay Treaty,
penyelesaian sengketa dagang melalui saluran “DIPLOMATIK”
D. PRINSIP-PRINSIP DALAM ARBITRASE
Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip
itikad baik, artinya para pihak menyatakan beritikad menyelesaikan sengketa
mereka dengan itikad baik (pasal 1338 KUHPer).
2. Prinsip
larangan menggunakan kekerasan dalam penyelesaian sengketa
3. Prinsip
kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa.
4. Prinsip
kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan dalam sengketa mereka.
5. Prinsip
kesepakatan / konsensus para pihak yang
bersengketa.
6. Prinsip
bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketa mereka ke lembaga arbitrase,
hendaknya ditempuh terlebih dahulu segala
upaya rukun yang tersedia untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Misal: Diadakan perundingan terdahulu,
mediasi, konsiliasi (Alternative Dispute Resolution).
Upaya yang
ditempuh sebelum arbitrase itu dinamakan prinsip “EXHAUSTION OF LOCAL REMEDIES” upaya hukum yang tersedia sudah
ditempuh.
7. Prinsip
kedaulatan, kemerdekaan dan integritas wilayah Negara.
Artinya :
Negara bisa menolak putusan arbitrase yang dilakukan di luar negeri.
E. LEMBAGA ARBITRASE
1.
Internasional, antara lain :
a.
International Chamber Of Commerce (ICC)
Kamar Dagang
International.
b.
The International Center For Settlement Of
Investment Dispute
(ICSID)
tahun 1968, Lembaga Internasional untuk Penyelesaian Sengketa dibidang Penanaman
Modal.
c.
United Nations Commission On International
Trade Law
(UNCITRAL) 1970
2.
Nasional, antara lain :
a.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)
b.
Badan arbitrase Muamalat Indonesia (BAMI),
yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
F. SEJARAH ARBITRASE DI INDONESIA
1.
Zaman kolonial Belanda
a. Di Indonesia
lembaga arbitrase juga mempunyai sejarah cukup panjang sejak zaman colonial Belanda
sebagaimana yang diatur dalam Hukum Acara
Perdata Belanda yang berlaku di Indonesia, yang dikenal dengan REGLEMENT OP DE BURGERLYKE‘’RECHTSVORDERING’’(RV)
PASAL 615-651 ( Mengenai arbitrase): RV, peraturan mengenai hukum acara perdata
yang berlaku bagi golongan Eropa
b. HET HERZIENE
INLANDSCH REGLEMENT (HIR) Staatsblad 1847 : 52 Hukum Acara Pidana yang berlaku
bagi golongan pribumi.
Sampai sekarang masih merupakan
hukum positif, pasal 377
c. RECHTS
REGLEMENT / BUITEN GEWESTEN (RBG) Staatsbladl
1927:227 Pasal 705, Peraturan Hukum Acara Perdata untuk luar Jawa dan
Madura.
2.
Setelah kemerdekaan
a. Setelah
Kemerdekaan, Indonesia mempunyai UU kekuasaan kehakiman yaitu UU No.14 tahun
1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No.35 tahun 1999 melalui diubah dengan
UU No 18 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
jo UU No. 48 Tahun 2009
Pasal 16
ayat (2) disebut kan tentang penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan
atas dasar perdamaian diperbolehkan
b. UU No.14
tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, khususnya pasal 39 dimana disebutkan bahwa si
A dapat dikenali tugas dan kewenangan lain berdasarkan UU (antara lain penyelesaian sengketa di luar pengadilan).
c. Undang-undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dengan diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999 ini, maka ketentuan dari RV atau
HIR, RBG mengenai Arbitrase dinyatakan tidak berlaku lagi.
BAB III
PERJANJIAN ARBITRASE (KLAUSULA ARBITRASE)
A.
JENIS
KLAUSULA ARBITRASE
1. Apabila
perjanjian arbitrase atau klausula arbitrase itu dibuat sebelum terjadinya sengketa, maka
klausula arbitrase tersebut dinamakan “PACTUM
DE COMPROMITTENDO”. Klausula sebelum terjadi sengketa dimuat dalam perjanjian pokok antara
para pihak, yaitu dicantumkan nya dalam salah satu pasal penyelesaian sengketa.
Misal: Perjanjian jual-beli A dan B dimana dalam pasal 7 mengenai
penyelesaian sengketa dicantumkan apabila terjadi sengketa mengenai perjanjian
ini dan tidak setuju untuk menyelesaikan sengketa.
2. Tetapi bisa
juga klausula arbitrase tersebut dinamakan “AKTA
KOMPROMIS”
Akta
kompromis dimuat dalam perjanjian
tersendiri.
B.
AKIBAT HUKUM
Apa akibat
hukum dari perjanjian arbitrase itu, apabila para pihak telah memilih arbitrase
untuk menyelesaikan sengketa mereka maka pengadilan negeri harus menolak untuk menyelesaikan sengketa mereka dan
menyatakan bahwa pengadilan negei tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus
perkara mereka, karena sudah memilih arbitrase (karena klausula itu adalah perjanjian jadi harus dihormati)
C.
RUANG
LINGKUP
Ruang
lingkup sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase :
1. Sengketa di
bidang perdagangan dalam arti luas termasuk didalamnya perbankan, keuangan,
penanaman modal, hak atas kekayaan intelektual.
2. Sengketa
tentang hak yang dikuasai sendiri, artinya objek sengketa merupakan haknya atau
di bawah kekuasaannya. Sengketa dibidang hukum pribadi tidak bisa diselesaikan
melalui arbitrase.
Contoh:
perceraian, perkawinan, sengketa warisan.
D.
JENIS
ARBITRASE
Kita
mengenal ada 2 jenis arbitrase :
1.
Arbitrase INSTITUSIONAL
Yaitu
arbitrase yang merupakan lembaga tetap, artinya meskipun perkara arbitrase
sudah diputus namun lembaganya tetap ada Misal : BANI
2.
AD HOC
Yaitu
arbitrase yang bersifat sementara yang dipilih oleh para pihak dalam
menyelesaikan perkara yang khusus.Arbitrase ad hoc bubar apabila perkara yang
bersangkutan sudah diputus.
Misal : dibidang
pelayaran, dapat meminta Menteri Perhubungan untuk jadi arbiternya.
Disamping
arbitrase Institusional dan Ad Hoc dikenal juga arbitrase lain, yang dikenal
dengan arbitrase:
a. Nasional: Arbitrase
yang memutus perkara yang tempat
kedudukannya diwilayah suatu Negara dan
menggunakan hukum yang berlaku di Negara yang bersangkutan, seperti BANI yang
memutus perkara di Jakarta dan menggunakan hukum yang berlaku di Indonesia.
b. Internasional : Arbitrase
yang memutus perkara ditempat kedudukannya di luar negeri dan menggunakan hukum
yang berlaku di negara tersebut.
Misal: Arbitrase di
Los Angles memutus perkara di Los Angeles dan menggunakan hukum yang berlaku di
USA.
BAB IV
KAITAN ARBITRASE DENGAN HUKUM PERIKATAN
A. PENGERTIAN
Perikatan ialah suatu hubungan hukum
di bidang kekayaan antara dua pihak yang memberikan hak kepada pihak yang satu
untuk menuntut pihak lain dan memberikan kewajiban bagi pihak lain untuk memenuhi
tuntutan itu.
B. OBJEK
Prestasi.
1.
Memberikan sesuatu
barang (jual-beli)
2.
Melakukan suatu
perbuatan
3.
Tidak melakukan
sesuatu perbuatan
C. WANPRESTASI
Ingkar Janji. Wujudnya :
1.
Sama sekali tidak
memenuhi prestasi
2.
Tidak tunai,
tidak sebagaimana mestinya sesuai yang diperjanjikan
3.
Terlambat
4.
Keliru
D. AKIBAT HUKUM
Dituntut.
Alternative tindakan yang harus dilakukan
:
1.
Menuntut pemenuhan
perikatan
2.
Pemenuhan perikatan
disertai gantirugi
3.
Menuntut ganti
rugi
4.
Pembatalan perjanjian
5.
Pembatalan perjanjian
disertai ganti rugi. (lihatPasal 1267
KUHPer)
E. SUMBER
PERIKATAN
1.
Undang-undang
a.
Undang-undang saja
i.
Kelahiran
ii.
Kematian
iii.
Keadaan
b.
Undang-undang karena
perbuatan
i.
Menurut hukum
ii.
Melawan hukum
2.
Perjanjian
Bernama
dan tidak bernama.
a.
Sepihak,
misalnya hibah.
b.
Timbal balik
Perbuatan Melawan Hukum memiliki unsur-unsur:
1.
Perbuatan
2.
Melawan hukum
3.
Adanya kerugian
4.
Adanya hubungan
sebab akibat
5.
Adanya kesalahan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sahnya Perjanjian (Pasal
1320 KUHPer)
1.
Sepakat )
2.
Cakap ) Subjektif. Jika tidak dipenuhi, dapat dibatalkan
(dimohonkan ke Pengadilan)
3.
Objek tertentu }
4.
Sebab yang
halal. } Objektif . Jika tidak dipenuhi maka
batal demi hukum.
BAB V
PENGANGKATAN ARBITER
A. PERSYARATAN ARBITER (Pasal 12 UU RI No. 30 Tahun 1999)
1.
Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai
arbiter harus memenuhi syarat :
a. Cakap
melakukan tindakan hukum atau perbuatan hukum (dapat melakukan perbuatan hukum
secara sah)
b.
Harus berumur paling rendah 35 tahun.
c. Tidak
mempunyai hubungan keluarga atau semenda dengan salah satu pihak bersengketa
d. Tidak
mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan dengan pihak yang bersengketa “CONFLICT OF INTEREST”
e. Memiliki
pengalaman serta menguasai secara aktif dibidang nya paling sedikit 15 tahun.
2.
Yang tidak dapat ditunjuk atau diangkat
sebagai arbiter, yaitu :
·
Hakim, Panitera dan pejabat peradilan lainnya
(jurusita)
·
Jaksa
B. JUMLAH ARBITER
Untuk
menyidangkan suatu perkara atau kasus maka jumlah arbiter yang memeriksa dan
memutus perkara itu harus berjumlah “GANJIL”
untuk mencegah terjadinya “Dead Lock” (Kebuntuan dalam suatu perkara).
C. TATA CARA
1.
Ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa
2.
Ditunjuk oleh lembaga arbitrase
3. Bisa juga
ditujuk oleh pengadilan, apabila orangny dan lembaganya tidak dapat menunjuk.
D. HAK INGKAR
(Pasal 22 jo.23)
Adalah hak dari arbiter untuk menolak
memeriksa dan memutus suatu perkara karena adanya hubungan darah dengan pihak
yang berperkara atau adanya konflik
kepentingan
E. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB ARBITER
1. Memeriksa
dan memutus perkara secara jujur, adil, obyektif sesuai ketentuan yang berlaku
2. Memberikan
putusan dalam batas waktu yang telah ditentukan (paling lambat 180 hari)
3. Apabila
ternyata arbiter telah melakukan sesuatu hal yang telah melebihi wewenangnya
maka dapat diminta pertanggungjawabnya dan apabila perlu, maka dituntut untuk
mengganti kerugian.
F. AKHIR TUGAS (Pasal 73)
Tugas arbiter berakhir apabila :
1.
Putusan mengenai sengketa telah dilakukan.
2.
Jangka waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian telah dipenuhi
3.
Penggugat (pemohon) menarik kembali
perkaranya.
4.
Apabila gugatan pemohon dinyatakan gugur
BAB VI
PEMERIKSAAN DI SIDANG ARBITRASE
(HUKUM ACARA ARBITRASE)
A.
PRINSIP-PRINSIP
DALAM PEMERIKSAAN DI SIDANG ARBITRASE
1. Para pihak
yang bersengketa bebas menentukan sendiri hukum acara atau proses arbitrase
yang akan diajukan dalam pemeriksaan arbirase.
Misal: Memakai peraturan arbitrase BANI
atau peraturan arbitrase Jepang
2. Kebebasan
tersebut dinyatakan secara tegas dan tertulis dalam perjanjian arbitrase
3. Para pihak
dapat menggunakan atau memilih arbitrase Nasional atau Internasional.
Misal: Nasional (BANI), International
(ICC)
B.
PARA PIHAK
Yang bersengketa dalam proses arbitrase,
adalah :
1. Pemohon
(penggugat) “Claimant”
2. Termohon
(tergugat) “Respondent”
D.
PROSEDUR
(PASAL-38)
Bagaimana
prosedur sengketa :
1. Penyampaian
surat gugatan atau tuntutan harus dibuat secara tertulis
2. Surat tuntutan atau surat gugatan harus memuat
a. identitas
pemohon dan termohon
b. duduk
perkaranya atau kasus posisi
c. isi tuntutan
atau gugatan (petitum)
3. Setelah surat tuntutan atau
gugatan diterima oleh majelis arbitrase dari pemohon maka ketua majelis arbiter
menyerahkan salinan tuntutan atau
gugatan kepada termohon untuk dipelajari
4. Termohon
atau tergugat harus menanggapin dan memberi jawaban tertulis dalam waktu 14
hari setelah diterimanya tuntutan dari pemohon
5. Apabila
termohon tidak menyampaikan jawaban dalam waktu 14 hari, maka arbitrase akan
memanggil lagi termohon dalam waktu 14 hari terhitung surat panggilan
6. Ketua
majelis arbitrase menyerahkan salinan jawaban dari termohon kepada pemohon
7. Majelis
memerintahkan para pihak untuk hadir dalam sidang arbitrase
8. Termohon
dapat mengajukan balasan “Rekonvensi”
9. Pemeriksaan
di sidang arbitrase dilaksanakan secara
tertutup untuk menjamin kerahasiaan dari penyelesaian sengketa
10.
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia (untuk
arbitrase nasional khususnya di Indonesia) dan dokumen asing harus
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi atau tersumpah yang
dilantik dan disumpah oleh gubernur “AUTHORIZED
TRANSLATER”
11.
Para pihak
mempunyai kesempatan untuk didengar keterangannya dan dapat untuk menunjuk
kuasanya
12.
Apabila pada hari yang ditentukan oleh
majelis pemohon tanpa alas an yang sah tidak datang menghadap di muka sidang
maka tuntutan atau gugatan dinyatakan
gugur dan tugas majelis arbitrase dianggap selesai
13.
Apabila pada hari yang ditentukan termohon
tidak hadir di sidang arbitrase, maka majelis arbitrase segera melakukan:
a. Pemanggilan
sekali lagi untuk menghadap di muka sidang arbitrase paling lambat 10 hari
setelah panggilan kedua diterima
b. Apabila pada
hari tersebut termohon tidak menghadap juga maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan
majelis arbitrase dan memutuskan perkara tersebut di luar hadirnya termohon dan
mengabulkan seluruh tuntutan atau pemohon dari termohon. Putusan yang
ditetapkan di luar hadirnya termohon dinamakan juga dengan putusan “VERSTEK”
14.
Majelis dapat mengambil “putusan Sela”(Interlocutoir Vonnis)
Misal : Pemohon mengajukan permohonan
sela berupa penetapan “sitajaminan”,
artinya: Barang-barang kekayaan si tergugat itu di sisa jaminan atau di sita
sementara untuk diamankan supaya tidak dijual atau dihabiskan supaya si
tergugat dapat memenuhi hutang-hutangnya itu.
·
Sita jaminan atau putusan sela dalam bahasa
Belanda“CONSERVATOIR BESLAG”
15.
Dalam hal para pihak datang menghadap pada
hari yang ditetapkan maka arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaiananatara pihak
yang bersengketa. Apabila perdamaian tercapai maka arbitrase membuat “AKTA PERDAMAIAN” yang bersifat
final dan mengikat para pihak final and binding dan memerintahkan para pihak
untuk memenuhi ketentuan perdamaian
tersebut
16.
Perubahan dan pencabutan permohonan
a. Pemohon
dapat mencabut surat permohonan yang berada di arbitrase atau mengubah atau
menambah permohonan yang hanya dapat dilakukan sebelum adanya jawaban dari termohon
b. Apabila
sudah ada jawaban dari termohon perubahan atau penambahan surat tuntutan hanya
diperbolehkan dengan persetujuan termohon dan sepanjang hal-hal yang bersifat
fakta saja bukan dasar hukum yang menjadi dasar permohonan
17.
Putusan dan upaya hukum. Ada 2 produk putusan
yang dapat dikeluarkan oleh arbitrase :
a. Putusan
arbitrase yang diberikan terhadap suatu sengketa mengenai pokok permasalahan
yang lahir dari suatu perjanjian.
Misal :
Punya hutang 100 juta baru membayar 50 juta
b. Majelis
dapat mengeluarkan putusan berupa pendapat yang mengikat atas permohonan para
pihak. Pendapat yang mengikat tersebut dinamakan dengan “BINDING OPINION” (Pasal
52)
Catatan: Jenis-jenis
arbitrase :
1)
Putusan
arbitrase terhadap pokok sengketa atau perkara.
Misal : sengketa jual-beli
2) Putusan arbitrase dapat juga berupa pendapat arbitrase yang
mengikat dan final, yaitu dalam hal ada permohonan dari pihak yang bersengketa
mengenai penafsiran suatu ketentuan dalam perjanjian yang oleh para oihak
dimohon karena tidak jelas maka dinamakan “BINDING
OPINION”
18.
Suatu putusan arbitrase dikatakan sah atau
mempunyai kekuatan hukum apabila memenuhi persyaratan sbb :
a. Putusan
arbitrase harus memuat irah-irah (kalimat tertentu, irah-irah itu berbunyi
demikian:
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal
ini menunjukan bahwa putusan itu mempunyai kekuatan mengikat untuk dilaksanakan
atau eksekusi, disebut “TITEL EKSEKUTORIAL”.
Pasal 224 HIR. Jadi meskipun ada UU arbitrase maka ada beberapa hal
masih berlaku ketentuan HIR.
b. Nama lengkap
dan alamat para pihak
c. Uraian
singkat sengketa (duduk perkara)
d. Pendirian
para pihak (argumentasi atau pandangan atau alasan masing-masing para pihak)
e. Nama lengkap
dan alamat arbiter
f. Pertimbangan
dan kesimpulan arbiter atau majelis arbiter mengenai keseluruhan sengketa
g. Pendapat
tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis
arbitrase, pendapat yang berbeda dari arbiter tetap dicatat, yaitu “DISSENTING OPINION”
h. Amar putusan
(bunyi putusan)
i.
Tempat dan tanggal putusan
j. Tanda tangan
arbiter atau majelis arbiter
19.
Putusan arbitrase harus berdasarkan pada:
a. Peraturan
hukum yang berhubungan dengan bidang yang disengketakan, Misal : sengketa
mengenai HAKI harus berdasarkan hukum HAKI
b. Sesuai
dengan nilai-nilai keadilan dan keputusan
20.
Mengenai koreksi,
penambahan atau pengurangan putusan arbitrase.
a. Koreksi
putusan arbitrase terbatas pada kekeliruan yang bersifat administrasi Misal : Jalan Garuda No.24 dibuat No.25
b. Penambahan
atau pengurangan dapat dilakukan, apabila putusan arbitrase tersebut :
1) Di luar
tuntutan, misal : penggugat tidak meminta uang denda, maka tidak ada putusan
mengenai denda
2) Tidak memuat
apa yang dituntut
3) Adanya
ketentuan yang bertentangan mengenai koreksi penambahan dan pengurangan harus
diterima dalam waktu 14 hari setelah putusan diterima. (Pasal 58)
21.
Pembatalan putusan arbitrase dapat dilakukan
apabila putusan arbitrase tersebut mengandung unsur sbb :
a. Surat-surat
yang diajukan dalam pemeriksaan sengketa
b. Ditemukan
dokumen yang bersifat menentukan
disembunyikan oleh pihak lawan
c. Putusan
diambil bedasarkan tipu muslihat
yang dilakukan oleh salah satu pihak (Pasal 70)
Tata cara
pembatalan:
1. Pembatalan
putusan arbitrase diajukan kepada ketua Pengadilan negeri
2. Harus
memberikan alasan-alasan permohonan pembatalan itu
3. Permohonan
pembatalan harus diajukan dalam jangka waktu 30 hari setelah putusan diterima
4. Apabila
permohonan pembatalan dikabulkan, maka ketua pengadilan negeri menentukan
akibat lebih lanjut, apakah dibatalkan seluruhnya atau sebagian saja.
5. Apabila
tidak cukup bukti atau alasan maka pengadilan negeri menolak permohonan
pembatalan tersebut disertai alasan nya
6. Apabila
pengadilan menolak pembatalan maka dapat dilakukan upaya banding ke Mahkamah
Agung.
22.
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional :
a. Agar putusan
arbitrase nasional dapat
dilaksanakan maka putusan arbitrase tersebut harus didaftar di panitera
pengadilan negeri untuk mendapat pengukuhan
b. Batas waktu
penyerahan dan pendaftaran selama-lamanya dalam waktu 30 hari sejak putusan
dijatuhkan
c. Putusan
arbitrase harus sudah dilaksanakan dengan sukarela oleh pihak-pihak sengketa
paling lambat 30 hari setelah putusan itu
d. Apabila
dalam waktu yang ditentukan tidak dilaksanakan secara sukarela maka eksekusi
dapat dilakukan secara paksa, dengan dikelurkannya
surat paksa oleh pengadilan negeri
e. Ketua pengadilan
negeri dapat menolak
memberikan pengukuhan atau eksekusi putusan arbitrase dalam hal:
1)
Putusan yang dilakukan oleh arbiter atau
arbitrase yang tidak berwenang
untuk memutus perkara yang disengketakan
2)
Melebihi batas
kewenangan arbitrase lingkup perdagangan
3)
Putusan yang dijatuhkan tidak memenuhi syarat
penyelesaian arbitrase
4)
Putusan yang dijatuhkan bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.
BAB VII
PUTUSAN ARBITRASE ASING
A.
PENGERTIAN
Putusan Arbitrase
Asing adalah putusan yang dijatuhkan di luar wilayah RI dan diterapkannya hukum
asing
B.
DASAR HUKUM
ARBITRASE ASING
Dasar hukum
mengenai arbitrase asing adalah konvensi “New York” tahun 1958, dimana
Indonesia meratifikasi dengan Keppres No. 34 Tahun 1981.
Indonesia meratifikasi konvensi
tersebut dengan melakukan Reservation (dengan menentukan syarat-syarat), yaitu
:
1. Bahwa
Indonesia mengakui putusan arbitrase asing tetapi berdasarkan asas “RESIPROSITAS” atau asas timbal-balik
2. Bahwa
putusan arbitrase asing tersebut menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk
bidang perdagangan, jadi jika bukan bidang perdagangan Indonesia bisa menolak.
C.
SYARAT-SYARAT
PUTUSAN ARBITRASE ASING DAPAT DILAKSANAKAN DI INDONESIA
1. Negara asing
dimana arbitrase tersebut diputus harus sama-sama terikat dalam konferensi New
York tahun 1958
Misal : AS dan Indonesia dua-duanya harus menjadi anggota
konferensi New York ,
agar putusan dapat dilaksanakan
2. Harus
berdasarkan asas “REPROSITAS “
3. Putusan arbitrase
asing harus dalam ruang lingkup perdagangan “arti luas”, termasuk di dalamnya mengenai HAKI
4. Putusan
arbitrase asing tersebut tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum
D.
PROSEDUR
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING
Berdasarkan
peraturan MA No. 1 tahun 1990 tentang tatacara pelaksanaan putusan arbitrase
asing
1. Putusan
arbitrase asing harus didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Apabila menyangkut
pemerintah maka pendaftaran nya di MA).
2. Pendaftaran melampirkan
:
a. Asli atau
turunan resmi putusan arbitrase asing
b. Naskah
terjemahaan resmi putusan dalam bahasa Indonesia oleh “AUTHORIZED TRANSLATER” disumpah oleh Gubernur
c.
Asli atau turunan resmi perjanjian arbitrase (harus dilegalisir oleh perwakilan
Indonesia di luar negeri)
d. Naskah
terjemahan resmi perjanjian arbitrase dalam bahasa Indonesia
e. Keterangan
dari perwakilan RI di luar negeri dimana putusan arbitrase dilaksanakan
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
WORLD TRADE ORGANISATION (WTO)
Keterangan : WTO merupakan
perjanjian antar Negara yang berupa organisasi perdagangan dunia.
A.
SEJARAH WTO
Pada tahun
1994 beberapa Negara berkumpul di Bretton Woods ( Amerika Serikat ) untuk
membicarakan cara membangkitkan kembali perekonomian dunia sebagai akibat dari
adanya peperangan (akhir PD II), sehingga berkumpullah beberapa Negara yang
bercita-cita untuk menciptakan perdagangan bebas, yang artinya perdagangan yang
bebas dari hambatan-hambatan perdagangan.
Hambatan – hambatan dalam perdagangan bebas
antara lain :
a. Kebijakan
proteksi
b. Kebijakan
subsidi
c. Kebijakan
menetapkan tarif bea masuk yang tinggi.
Untuk
mengatur perdagangan yang bebas itu, maka mereka Negara-negara yang berkumpul
itu bermaksud untuk mendirikan suatu lembaga yang dinamakan dengan INTERNATIONAL TRADE ORGANISATION (ITO)
yang merupakan organisasi perdagangan internasional, dan cita-cita tersebut
tercapai dengan berdirinya ITO yang berdasarkan pada “ HAVANA CHARCTER “ tahun
1947.
Namun
demikian, ITO yang dimaksudkan untuk mengatur perdagangan bebas ternyata tidak
dapat berfungsi, terutama karena Negara Amerika Serikat tidak bersedia (
menolak ) untuk meratifikasi HAVANA CHARTER tersebut, sehingga ITO tidak dapat
berfungsi.
Meskipun
demikian, bagi Negara-negara yang telah berkumpul di Bretton Woods tersebut, mereka
tidak putus asa dan masih melanjutkan untuk mengatur perdagangan bebas,
meskipun tidak ada lembaga yang mengaturnya.
Perdagangan
bebas diatur melalui perundingan-perundingan multilateral di bidang
perdagangan, dan perjanjian multilateral di bidang perdagangan tersebut dikenal
dengan “ GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS
AND TRADE “ ( GATT ), merupakan
perjanjian umum mengenai tarif dan perdagangan.
Mekanisme
dalam GATT ini dilakukan melalui perundingan-perundingan perdagangan yang
dinamakan dengan “ TRADE ROUND “,
yang berfungsi untuk melakukan GATT itu dan setiap perundingan dilakukan dalam
perdagangan, sehingga GATT bukanlah lembaga, tetapi hanyalah perjanjian
multilateral.
Trade Round
mencapai puncaknya pada waktu diadakannya URUGUAY
ROUND ( 1986 – 1994 ), dan pada Uruguay Round ini,
maka di MARAKESH MAROCCO 1994,
terciptalah WTO. Dengan demikian
maka lembaga-lembaga yang telah diciptakan di Bretton Woods tersebut
tercapailah WTO.
Negara
Indonesia sudah meratifikasi dan terikat dengan WTO pada tahun 1994 dengan UU No. 7 Tahun 1994 yaitu tentang
Pengesahan Agreement. Establishing The World Trade Organization, merupakan
persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia.
B.
PRINSIP-PRINSIP
WTO
1. WTO melarang
adanya kebijakan diskriminasi oleh anggotanya dibidang perdagangan.
2. WTO melarang
adanya kebijakan proteksi
3. WTO melarang
adanya kebijakan subsidi
4. WTO
menghendaki adanya sifat keterbukaan dalam kebijakan perdagangan.
Dalam hal
ini WTO berprinsipkan Transparansi (keterbukaan), dimana Negara tidak boleh untuk
membuat kebijakan ekonomi secara diam-diam, sehingga Negara lain tidak
mengetahuinya.
C. BADAN PENYELESAIAN SENGKETA ( DISPUTE SETTLEMENT BODY- DSB )
Prosedur
penyelesaian sengketa melalui DSB apabila terjadi sengketa dibidang perdagangan
antara sesama anggota WTO, maka ditempuh prosedur sebagai berikut :
1. Tahap
pertama dilakukan konsultasi (
Consultation ) oleh para pihak yang bersengketa untuk saling bertemu dan
bertukar pikiran.
2. Apabila
konsultasi tersebut tidak mencapai kesepakatan, maka sengketa mereka diajukan
oleh Panel (aparat yang ada dalam
DSB), dan Panel akan memeriksa sengketa yang terjadi.
3. Dilakukannya
Hearing oleh Panel, dimana para
pihak di dengar keterangannya ( argumentasinya ) mengenai masalah tersebut.
4. Adanya “ Rebutals “, yakni para pihak dapat
melakukan sanggahan-sanggahan dengan argumentasinya itu.
5. Apabila
perlu, maka DSB bisa untuk meminta pendapat para ahli dibidang yang
disengketakan, pendapat para ahli disebut Experts.
6. Setelah
dilakukannya itu semua, maka dibuatlah laporan sementara yang disebut Interim Report.
7. Laporan
sementara tersebut disampaikan kepada para pihak yang bersengketa untuk
memberikan pandangan-pandangannya, hal ini dinamakan dengan tahap Review.
8. Tahap
laporan akhir ( Final Report ).
9. Panel
menyampaikan rekomendasi atau saran keputusan kepada DSB, dinamakan The Rullings.
10.
Setelah menerima rekomendasi tersebut, maka
ditetapkanlah keputusan akhir yang disebut Final
Decission oleh DSB.
11.
Kepada pihak yang telah dikalahkan ( tergugat
), maka diberi kesempatan untuk melakukan banding ke lembaga banding yang ada
dalam DSB, yang dinamakan dengan Appeal →
Appelate Body.
12.
Setelah diberi kesempatan banding, maka
tibalah pada saat pelaksanaan putusan itu, yang disebut Enforcement.
-
Pelaksanaan
putusan dilakukan melalui tahap sebagai berikut :
a. Putusan
harus segera dilaksanakan.
b. Apabila
tidak dilaksanakan dengan segera kepada Tergugat, maka diberikan jangka waktu
tertentu oleh DSB untuk menyampaikan alasan-alasan mengapa tidak melaksanakan
putusan dengan segera.
c. Setelah
diberi jangka waktu tertentu, ternyata tidak dilaksanakan juga, maka penggugat
dapat menuntut ganti rugi ( kompensasi ).
d. Apabila
tuntutan ganti rugi tidak dilaksanakan juga, maka penggugat dapat meminta
kepada DSB untuk memberikan izin untuk melakukan atau menjatuhkan sanksi perdagangan dalam sektor
perdagangan yang sama.
Menjatuhkan
sanksi itu dilakukan oleh penggugat apabila putusan DSB tidak dilaksanakan, sanksi di sector perdagangan dinamakan
dengan dengan LIMITED TRADE SANCTION.
e. Apabila
sanksi dibidang perdagangan yang sama tidak efektif, maka penggugat dapat
menjatuhkan sanksi di sektor-sektor perdagangan lainnya, seperti pertanian,
industri, perminyakan, dll.
-
Sanksi
dibidang sektor perdagangan lainnya dinamakn dengan CROSS SECTORAL RETALIATION.
Contoh Kasus Konkrit di Indonesia
Pada tahun
1996 masa pemerintahan oleh Presiden Soeharto yang mengeluarkan Inpres No. 2
Tahun 1996 yang dikenal dengan “ MOBNAS”, dimana dengan adanya Inpres tersebut
untuk anaknya Tommy yang diberikan fasilitas khusus untuk memasukkan mobil Timor
tanpa dikenakan bea masuk, dan masuklah mobil Timor tersebut ke Indonesia
dengan bea masuk 0% dengan alasan guna meningkatkan industri otomotif
nasioanal.
Kebijakan
Inpres tersebut ternyata menimbulkan protes, sehingga Indonesia digugat oleh
Masyarakat Ekonomi Eropa, karena dalam ketentuan WTO menyatakan bahwa suatu
Negara dilarang untuk melakukan diskriminasi, dan melanggar prinsip-prinsip
dalam WTO mengenai diskriminasi dan ketentuan transparansi dalam mengeluarkan
kebijakan ekonominya.
Sanksinya
untuk Indonesia, yakni Indonesia diminta untuk mencabut Inpers tersebut supaya
tidak ada kebijakan yang diskriminasi.
Adapun
penyelesaian melalui lembaga non ligitasi ( WTO ) dilakukan oleh lembaga dunia.
BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR NEGARA
BERDASARKAN HUKUM INTERNATIONAL
A.
PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan Sengketa
International adalah sengketa antar negara yang menyangkut kaidah hukum
international.
B.
SIFAT
Sengketa hukum international
dapat bersifat :
1. Sengketa
yang mempengaruhi kehidupan international. Artinya, akan dapat mengganggu
ketentraman dan perdamaian dunia.
Contohnya : perang dunia II,
perang Irak dengan Iran.
2. Sengketa
yang tidak mempengaruhi kehidupan international yang dilakukan oleh antar
negara ataupun lebih.
Contoh : sengketa Indonesia
dengan Malaysia tentang pulau
C.
CARA
PENYELESAIAN
1. Penyelesaian
sengketa international dilakukan secara damai
(Peaceful Settlement)
2. Penyelesaian
sengketa international dilakukan secara paksa (Settlement by force)
Penyelesaian
sengketa international secara damai
dilakukan dengan :
a. Negosiasi (perundingan untuk mencapai
kesepakatan)
Apabila
negosiasi tidak tercapai, maka dilakukan pertukaran Nota Diplomatik yang
menyatakan bahwa sengketa diantara mereka dianggap telah selesai.
b. Dilakukan melalui jasa-jasa baik (Good
Offices), yaitu penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga, dimana pihak
ketiga tersebut mengupayakan agar pihak yang bersengketa mau maju di meja
persidangan.
c. Mediasi (Mediation), yakni
penyelesaian sengketa melalui mediator,
dimana mediator mengusulkan cara penyelesaian sengketa dan mediator dapat
mengikuti jalannya sengketa.
d. Enquiry, merupakan penyelidikan mengenai
sengketa yang terjadi, dan adanya badan penyelidik untuk mencari fakta yang
terjadi.
e. Konsiliasi (Conciliation),
dibentuknya komisi konsiliasi dan
rekomendasi kepada pihak-pihak yang bersengketa.
f. Arbitrase (Arbitration) dalam
lembaga international, yang bisa mengadili
sengketa antar negara.
g. Ajudikasi (Adjudication),
penyelesaian sengketa melalui mahkamah international.
Syarat suatu sengketa dapat diajukan ke Mahkamah International:
Para pihak
yang bersengketa harus sama-sama menyatakan persetujuannya bahwa sengketa
mereka akan diselesaikan di Mahkamah International dan pernyataan persetujuan
tersebut dinamakan dengan OPTIONAL
CLAUSE dan apabila salah sastu pihak tidak bersedia untuk diajukan ke Mahkamah
International, maka perkara tersebut tidak bisa untuk diajukan ke Mahkamah
International, hal ini dikarenakan harus adanya kesepakatan dari
kedua-keduanya.
Contoh : Sengketa Indonesia vs Malaysia mengenai pulau Sipadan dan
Litigasi dimana kedua pihak sama-sama sepakat untuk mengajukan ke Mahkamah
International.
Syarat suatu sengketa dapat diajukan ke Mahkamah International :
Para pihak
yang bersengketa harus sama-sama menyatakan persetujuannya bahwa sengketa
mereka akan diselesaikan di Mahkamah International dan pernyataan persetujuan tersebut dinamakan dengan OPTIONAL CLAUSE dan apabila salah satu
pihak tidak bersedia untuk diajukan ke Mahkamah International, maka perkara
tersebut tidak bisa untuk diajukan ke Mahkamah International, hal
ini dikarenakan harus adanya kesepakatan dari kedua-keduanya.
Contoh :
Sengketa Indonesia vs Malaysia mengenai
pulau Sipadan dan Ligitan, dimana kedua
pihak sama-sama sepakat untuk mengajukan ke Mahkamah International.
Penyelesaian
sengketa secara paksa (settlement by force), dilakukan melalui cara-cara :
a. Restortion yaitu suatu tindakan oleh suatu
negara terhadap negara lain, karena negara lain itu melakukan tindakan yang
tidak pantas dalam hubungan
international.
Contoh : Menghina pemerintahan kepala negara lain.
b. Reprisal yaitu tindakan oleh suatu negara
terhadap negara lain, karena negara
lain dianggap telah melakukan tindakan
yang dilarang atau bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum internationnal.
c. Blockade yaitu tindakan pengepungan
khususnya wilayah pelabuhan oleh suatu
negara dengan tujuan agar negara yang di
blockade menuruti keinginan negara yang
memblockade.
Contoh :
Belanda pada perang kemerdekaan
memblockade wilayah-wilayah Indonesia memaksa Indonesia supaya menyerah.
d. Intervention, yaitu
tindakan turut campur urusan dalam
negeri negara lain.
Menurut
piagam PBB dan kaidah Hukum International bahwa intervention itu dilarang
kecuali dalam hal sebagai berikut :
1. Intervensi
Kolektif, yaitu intervensi yang dilakukan atas nama masyarakat international
atau PBB.
Contohnya : Pengiriman
pasukan PBB untuk melakukan intervensi
demi keamanan dunia.
2. Intervensi
untuk melindungi kepentingan, keselamatan negara dan warga negaranya.
Contoh : Amerika mendaratkan pasukannya di suatu
negara untuk menyelematkan negaranya dan
warga negaranya.
3. Intervensi
dalam pembelaan diri untuk
mempertahankan kedaulatan negara, yaitu
apabila negara diserang maka boleh untuk
intervensi demi kdaulatan negara.
4. Intervensi
dalam hubungannya dalam wilayan protektorat (dilindungi)
e. Perang (War), yang pada
dasarnya adalah tindakan untuk menaklukkan
lawan dan menetapkan syarat-syarat untuk mengakhiri sengketa
secara sepihak yang harus dituruti oleh
pihak lawan.
BAB X
SENGKETA DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
A. PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan Lingkungan
Hidup adalah kesatuan ruang dengan segala keadaan dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan dan kelestarian
lingkungan hidup.
B. PENCEMARAN ATAU PERUSAK LINGKUNGAN HIDUP
Yang dimaksud dengan pencemaran
atau perusak lingkungan hidup adalah dimasukannya energi atau substansi
atau perbuatan-perbuatan lain oleh manusia ke dalam lingkungan hidup, sehingga
lingkungan hidup itu menjadi merosot kadarnya, sehingga tidak dapat digunakan
seperti keadaan semula.
C. KASUS LINGKUNGAN HIDUP
Apabila suatu kegiatan usaha melanggar ketentuan yang ditetapkan atau
tidak mematuhi kewajibannya yang dibebankan, sehingga menimbulkan pencemaran
lingkungan, maka terjadilah suatu kasus lingkungan hidup atau sengketa
lingkungan hidup.
Contohnya :
industri pabrik aki mobil yang mengeluarkan limbah sembarangan ke sungai,
sehingga terjadi pencemaran yang merugikan masyarakat setempat.
D. ASAS
Apabila terjadi suatu kasus atau sengketa lingkungan hidup, maka berlaku
asas yang dinamakan dengan Asas Tanggung
Jawab Langsung (Striet Liability), artinya apabila terjadi peristiwa
pencemaran lingkungan, maka pada saat itu juga, si pelaku atau si penyebab
pencemaran bertanggung jawab secara langsung untuk mengganti seluruh kerugian
yang ditimbulkannya tanpa harus dibuktikan kesalahannya.
Ø Maka dalam asas ini berlaku Tanggung Jawab Absolut (Absolute Liability).
Oleh karena itu, mengenai asas Striet Liability ini berbeda dengan Pasal
1365 KUHP tentang Perbuatan Melawan Hukum.
Namun demikian terhadap asas
Striet Liability terdapat pengkecualiannya, apabila :
a. Peristiwa itu diluar kekuasaan
manusia (bencana alam)
b. Akibat adanya peperangan atau
pemberontakan
c. Karena kesalahan pihak ketiga
d. Karena kesalahan dari pemerintah
sendiri
E. JENIS-JENIS TANGGUNG JAWAB
1. Tanggung jawab ganti rugi
2. Tanggung jawab untuk memulihkan
lingkungan hidup dalam keadaan
semula
3. Tanggung jawab langsung
4. Tanggung jawab berdasarkan
perbuatan melawan hukum (1365)
F. INSTRUMEN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
HIDUP
1.
Instrumen Administratif
Dilakukan melalui sarana-sarana
sebagai berikut :
a.
Melalui sarana pengawasan oleh
pejabat yang berwenang untuk memberikan izin.
b.
Apabila ketentuan usaha tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan lingkungan
hidup, maka diberikan peringatan atau
teguran secara lisan dan tertulis.
c.
Sanksi Administratif, apabila peringatan tidak diindahkan, maka
dilakukan :
1)
Paksaan pemerintahterhadap penanggung jawab yang dilakukan oleh kepala
daerah
2)
Pencabutan izin
3)
Dilaksanakan audit lingkungan (dilaksanakan pemeriksaan dari awal)
2.
Instrumen
Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan
Dilakukan melalui sarana-sarana sebagai berikut :
a.
Negosiasi, yaitu perundingan antara penanggung jawab dan pihak korban
b.
Mediasi, yaitu dengan menggunakan pihak ketiga sebagai mediator yang
akan memberikan rekomendasi atau saran untuk menyelesaikan sengketa
c.
Mencari
Fakta, yaitu menunjuk pihak ketiga yang akan mencari fakta-fakta mengenai
terjadinya peristiwa yang bersangkutan.
d.
Konsilasi, yaitu melibatkan pihak ketiga secara aktif yang akan
merumuskan secara bersama-sama mengenai penyelesaian sengketa yang harus
diikuti oleh pihak yang bersangkutan
e.
Arbitrase
3.
Instrumen Penyelesaian Sengketa Melalui
Pengadilan
Dapat dilakukan melalui :
a.
Gugatan perdata mengenai perbuatan melawan hukum
b.
Gugatan perdata melalui organisasi lingkungan, yang dinamakan dengan “LEGAL STANDING”
c.
Gugatan perdata secara bersama-sama yang diwakili seseorang, dinamakan
dengan “CLASS ACTION”
Penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui Tuntutan Pidana, yang dilakukan apabila sarana-sarana hukum lainnya
sudah tidak efektif (tidak berjalan dengan baik), ini juga dapat dilakukan
apabila telah timbul keresahan dalam masyarakat, dan timbulnya korban
luka-luka, serta terdapatnya korban yang meninggal dunia, apabila itu terjadi
maka dapat dilakukan Tuntutan Pidana.
BAB XI
PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG KEPAILITAN
Sebagaimana yang
diatur dalam UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang
A. PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan Kepailitanadalah
Sita Umum atas semua kekayaan
debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan hakim
penguasa.
Pengadilan yang berwenang untuk memutus sengketa kepailitan adalah Pengadilan Niaga yang merupakan
pengadilan khusus dalam lingkup peradilan umum (dibawah lingkungan pengadilan
negeri).
Yang dimaksud dengan Debitur Pailit
adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak dapat untuk
membayar lunas utangnya sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan sudah
dapat ditagih (Orang yang tidak memenuhi
atau tidak dapat membayar salah satu utangnya).
B. SYARAT
1.
Debitur (yang menghutang) mempunyai dua atau lebih kreditur, dimana hutangnya telah jatuh tempo untuk ditagih
(waktunya bayar, tapi debitur tidak membayar)
2.
Tidak membayar sedikitpun utangnya atau salah satu utangnya.
C. SIAPA YANG DINYATAKAN PAILIT
1. Orang atau pribadi
2. Harta warisan
3. Badan Hukum
D. YANG DAPAT MENGAJUKAN PAILIT
1.
Debitur itu sendiri (yang punya utang menyatakan tidak sanggup bayar)
2.
Kreditur (yang memberikan utang)
3.
Kejaksaan Negeri (dalam hal untuk kepentingan umum)
4.
Bank Indonesia terhadap bank-bank lainnya
5.
Badan Pengawasan Pasar Modal (BAPEPAM) terhadap perusahaan- perusahaan
bursa efek (jual beli saham)
6.
Menteri Keuangan terhadap perusahaan asuransi
E. AKIBAT HUKUM KEPAILITAN
1.
Apabila debitur dinyatakan pailit, maka si debitur itu kehilangan haknya
untuk mengurus atau bertindak terhadap harta kekayaannya (harta kekayaannya
sudah tidak bisa diapa-apakan)
2.
Apabila ada putusan hakim yang menyangkut harta pailit sebelum kepailitan,
maka kepailitan tersebut harus dihentikan dan tidak dapat untuk dilaksanakan.
F. LANDASAN HUKUM MENYATAKAN
SESEORANG PAILIT
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
1131 KUHP, yang intinya bahwa: Semua
kekayaan seseorang itu menjadi jaminan terhadap utang-utangnya pada pihak
ketiga.
Artinya: Mau tidak mau, maka kekayaan seseorang itu harus dijaminkan kepada pihak
ketiga apabila orang itu mempunyai utang.
Dan apabila orang yang berutang tidak mau membayar utangnya, maka kreditur
dapat meminta kepada hakim pengadilan untuk melakukan sita atas kekayaan
debitur.
G. PROSEDUR PENYELESAIAN
SENGKETA KEPAILITAN
1.
Pengadilan yang berwenang untuk mengadili dan memutus perkara sengketa
kepailitan adalah Pengadilan Niaga
yang diatur dalam UU No.34 Tahun 2004.
2.
Cara penyelesaian:
a. Diajukan oleh penasihat hukum yang memiliki
izin praktek dalam kepailitan
b. Diajukan ke Pengadilan Niaga
c. Permohonan dilengkapi dengan dokumen, surat,
dan bukti-bukti yang berkaitan
d. Sidang pengadilan niaga dilakukan maksimal 20
hari setelah pendaftaran permohonan dilakukan
e. Putusan harus dilaksanakan maksimal 60 hari
setelah pendaftaran diajukan
f. Putusan pengadilan disampaikan oleh juru sita
paling lambat 3 hari setelah putusan dijatuhkan
g. Tidak ada upaya banding, melainkan kasasi ke
Mahkamah Agung dan maksimal dalam waktu 60 hari setelah permohonan kasasi sudah
harus ada putusan kasasi
h. Terhadap putusan pailit yang sudah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, maka dapat dilakukan Peninjauan Kembali (PK) ke
Mahkamah Agung
i. Selambat - lambatnya 5 hari setelah putusan,
maka Kurator harus mengumumkan mengenai kepailitan itu dalam berita Negara dan
diumumkan dalam 2 kabar surat harian
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
A.
PENYELESAIAN
Ø
Konsumen menurut
1.
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen adalah setiap
pemakaian barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Singkatnya konsumen adalah setiap
orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan atau jasa. Yang dimaksud orang
disini adalah orang sebagai manusia, bukan badan hukum.
2. Pengertian
umum, konsumen adalah pemakai,
pengguna, pemanfaat dari barang atau jasa untuk tujuan tertentu.
Ø
Pelaku Usaha
Yaitu setiap
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha di dalam
wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi.
Contohnya : Carrefour, mal
B.
HAK KONSUMEN
Berdasarkan
UU No. 8 Tahun 1999, maka ditetapkan 9 hak konsumen:
1.
Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa
2.
Hak untuk
memilih barang dan atau jasa, serta mendapatkan barang atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
3.
Hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi serta jaminan atas
barang dan atau jasa
4.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan atau jasa yang digunakannya
5.
Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan
konsumen secara patut
6.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan
konsumen
7.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
baik dan jujur serta tidak diskriminatif
8.
Hak untuk mendapatkan kompensasi (ganti rugi)
atau penggantian barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya
C.
KEWAJIBAN
KONSUMEN
1.
Membaca atau
mengikut petunjuk informasi dan prosedur untuk pemakaian atau pemanfaatan
barang dan atau jasa
2.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi dalam
jual beli atas barang dan atau jasa
3.
Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati
4.
Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
D.
HAK PELAKU
USAHA
1.
Hak untuk
menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan mengenai barang dan atau jasa
yang diperdagangkan
2.
Hak
mendapatkan perlindungan hukum atas tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
3.
Hak untuk
melakukan pembelaan diri dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
4.
Hak untuk
rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan atas barang dan atau jasa yang diperdagangkan
5.
Hak-hak yang
diatur dalam peraturan perundangan-undangan lainnya
E.
HUBUNGAN
PRODUSEN DAN KONSUMEN
Hubungan
produsen atau pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan yang berjalan terus-menerus
dan berkesinambungan.
Artinya : Hubungan yang saling
menghendaki dan ketergantungan dimana produsen itu tergantung dengan permintaan
konsumen, dan sebaliknya konsumen juga bergantung atas produk yang dikeluarkan
dari produsen tersebut, sehingga keduanya saling membutuhkan satu sama lainnya.
Namun prakteknya : Hubungan hukum
antara produsen dengan konsumen sering melemahkan pihak konsumen, karena pelaku
usaha biasanya sudah menciptakan secara sepihak dengan menetapkan syarat-syarat
sepihak pula, dimana syarat-syarat tersebut sudah ditentukan sendiri oleh
produsen atau jaringan distribusinya.
Ø
Perjanjian
yang secara formal dan kenyataannya yang sudah dibuat secara sepihak, maka hal
tersebut dalam hukum dinamakan dengan “PERJANJIAN
BAKU” (STANDARD CONTRACT), maka dalam hal ini pihak konsumen yang lemah,
dan perjanjian baku itu menurut hukum adalah sah, karena dalam perjanjian baku
itu telah dianggap adanya persetujuan dari kedua belah pihak, yang dinamakan
dengan IMPLIED CONSENT yang sesuai
dengan Pasal 1320 KUHP
F. SENGKETA KONSUMEN
1.
Sebab-sebab Sengketa
Sengketa
konsumen terjadi karena adanya ketidakpuasan konsumen atas suatu produk atau
kerugian yang dialami oleh konsumen karena penggunaan atau pemakaian barang dan
atau jasa. Maka dengan demikian, sengketa disebabkan oleh adanya kerugian,
cacat tubuh, cacat fisik, dan kerugian ekonomi. Contoh : Cacat tubuh : Produk itu beracun, Cacat fisik : Rusaknya
produk atau tidak berfungsinya produk yang dibeli. Kerugian ekonomi : Kerugian
yang langsung berkaitan dengan produk yang dibelinya, dimana produk tersebut
tidak sesuai dengan tingkat kualitas yang diharapkan.
2.
Cara mengajukan gugatan
Dalam rangka
penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha
(produsen) menurut UU No.8 Tahun 1999 menyediakan 3 cara dalam mengajukan
gugatan ke pengadilan, yaitu:
a.
Gugatan oleh
konsumen yang telah dirugikan atau ahli warisnya secara individual
b.
Gugatan yang
diajukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
c.
Lembaga
perlindungan konsumen bagi swadaya masyarakat dan pemerintah
Sedangkan
mekanisme yang dipakai dapat melalui pengadilan atau diluar pengadilan.
G. BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Yang
disingat dengan BPSK, merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk dan diatur
dalam undang-undang. Tugas utama dari badan ini yaitu untuk menyelesaikan
sengketa atau perselisihan yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha
(produsen).
Pokok-pokok penyelesaian sengketa tersebut
adalah sebagai berikut :
1.
Penyelesaian
sengketa diluar pengadilan melalui BPSK bukan suatu keharusan
2.
BPSK diberikan
kewenangan untuk memberikan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang telah
melanggar larangan-larangan tertentu
3.
Pelaksanaan
dari putusan BPSK dimintakan penetapan eksekusinya ke pengadilan
4.
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap gugatan atas
penyelenggaraan dapat dilakukan oleh:
a.
Seorang
konsumen yang dirugikan
b.
Sekelompok
konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
c.
Lembaga
perlindungan konsumen
d. Pemerintah atau instansi terkait apabila barang dan jasa
yang dikonsumsinya mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban
yang tidak sedikit.
5.
Putusan dari
majelis BPSK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak bisa untuk dilakukan
upaya banding
BAB XIII
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
(ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION - ADR)
A. PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak yakni penyelesaian
sengketa diluar pengadilan baik dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilasi,atau penilaian
ahli.
Ø Hal ini diatur dalam Pasal 1 Butir 10 dan Bab II
Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Maka dalam hal ini, seharusnya ditempuh terlebih dahulu untuk ADRnya dan
apabila dengan ADR tidak bisa selesai, barulah ditempuh dengan Arbitrase.
B.
KELEBIHAN-KELEBIHAN
1.
Sifat kesukarelaan dalam proses, artinya penyelesaian sengketa melalui ADR
diselesaikan melalui kesepakatan para pihak.
2.
Berdasarkan kebebasan berkontrak atau mufakat, artinya ADR dilakukan
berdasarkan atas kesepakatan para pihak, dimana para pihak sendiri yang akan
menyelesaikan sengketanya secara musyawarah.
3.
Itikad baik, artinya penyelesaian sengketa diantara mereka didasari kepada
itikad baik para pihak.
4.
Penyelesaian melalui ADR didasarkan kepada kepatutan dan keterbukaan,
dimana para pihak bertujuan untuk tidak menyelesaikan sengketa mereka ke
pengadilan.
5.
Sama seperti Arbitrase, bahwa putusan ADR ini juga putusan yang bersifat
final dan meningkat.
6.
Penyelesaian melalui ADR bersifat kerahasiaan.
7.
Penyelesaian melalui ADR dimaksudkan untuk tetap menjaga hubungan baik
antara para pihak yang bersengketa.
8.
Penyelesaian melalui ADR bersifat mandiri, yang berintikan penyelesaian
sengketa itu dilakukan oleh mereka yang bersengketa sendiri, dan tidak diputus
oleh pihak luar, tetapi diputuskan berdasarkan kesepakatan dari para pihak itu
sendiri.
C.
METODE PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ADR
1.
Konsultasi
Artinya para pihak yang bersengketa saling bertemu untuk bertukar pikiran
mengenai sengketa yang mereka hadapi.
2.
Negosiasi
Artinya para pihak merundingkan mengenai sengketa yang mereka hadapi untuk
mencapai kesepakatan, maka dibuatlah suatu perjanjian perdamaian yang berisi
mengakhiri sengketa diantara mereka, oleh karena itu perjanjian melalui sarana
Negosiasi ini didasarkan kepada win –
win solution (saling menguntungkan).
3.
Mediasi
Dalam hal Mediasi melibatkan pihak ketiga yang disebut sebagai Mediator yang tidak memihak salah satu
pihak (netral), yang mau bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk
mencapai kesepakatan. Akan tetapi, Mediator ini tidaklah berwenang untuk
memutuskan sengketa, tetapi hanyalah membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
yang telah dikuasakan kepadanya.
4.
Konsilasi
Dalam hal Konsilasi, maka pihak ketiga yang disebut Konsilator yang mengajukan usulan atau jalan keluar sebagai
penyelesaian sengketa, maka dalam hal ini Konsilator bertindak lebih aktif, dan
dalam hal konsilasi maka pihak yang bersengketa lebih aktif, dan dalam hal
Konsilasi maka pihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuannya atas
usulan dari Konsilator tersebut dan menjadikannya sebagai kesepakatan dalam
menyelesaikan sengketa.
5.
Penilaian (Pendapat) Ahli
Mengenai Penilaian Ahli maka dapat juga ditempuh dengan
melibatkan tenaga ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penilaian atau
pendapatnya.
D.
LEMBAGA-LEMBAGA ADR
Penyelesaian
sengketa melalui ADR, terdapat beberapa lembaga, yaitu:
1.
Penyelesaian Pengaduan Nasabah
Yang dimaksudkan untuk menerima dan menyelesaikan
pengaduan-pengaduan dari nasabah, maka dalam hal ini bank wajib untuk
melaporkan ke Bank Indonesia mengenai Penyelesaian Pengaduan Nasabah setiap
tiga (3) bulan.
2.
Mediasi Perbankan
Apabila terjadi sengketa antara nasabah dengan bank, maka
dapat diselesaikan melalui jalur Mediasi Perbankan. Adapun mediasi perbankan
harus diselesaikan dalam jangka waktu 60 hari kerja.
3.
Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)
Yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa di bidang
perasuransian.
4.
Mediasi Peradilan
Mengenai Mediasi Peradilan berdasarkan atas Peraturan
Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003, sebagaimana yang telah dirubah dengan Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008,
maka telah ditetapkan bahwa semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan
Tingkat Pertama, wajib untuk terlebih dahulu diupayakan penyelesaian perkara
melalui perdamaian dengan bantuan Mediator.
§ Jadi para sidang pertama perkara di
Pengadilan, maka Hakim mewajibkan terlebih dahulu kepada para pihak untuk
menempuh jalan mediasi, dan apabila
perlu maka Pengadilan dapat menunjuk Hakim lain yang bukan memeriksa perkara
yang bersangkutan itu, untuk berfungsi sebagai mediator. Akan tetapi, apabila
Hakim lain yang ditunjuk itu gagal, maka ketua Majelis Hakim dapat menunjuk
Hakim yang bersangkutan dalam memeriksa perkara yang bersangkutan itu sebagai
mediator.
Apabila melalui sarana mediasi tersebut ternyata mencapai
kesepakatan (berhasil), maka dirumuskanlah Perjanjian
Perdamaian yang dikuatkan oleh hakim, akan tetapi apabila mediasi itu tetap
gagal maka sidang akan tetap dilanjutkan.
5.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Dalam hal ini apabila konsumen merasa dirugikan oleh perusahaan atas
produk tersebut, maka konsumen dapat mengajukan ke BPSK.
BAB XIV
SIKLUS GELOMBANG PERKEMBANGAN PENYELESAIAN
SENGKETA DAGANG (LEGAL SYSTEM CYCLES)
A. LATAR BELAKANG
Penyelesaian sengketa dagang mengalami sejarah dan perkembangan yang
dikenal dengan “Siklus Gelombang Perkembangan Penyelesaian Sengketa Dagang”
(Legal System Cycles).
B. SIKLUS PERKEMBANGAN
PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG
Siklus penyelesaian sengketa dagang mengalami perkembangan yaitu :
1. Gelombang ke I
Pada gelombang ini penyelesaian sengketa dagang banyak dilakukan melalui litigasi
(penyelesaian melalui lembaga
peradilan). Akan tetapi , ternyata masyarakat utama pada dunia bisnis atau
perdagangan tidak puas dengan cara penyelesaian
sengketa melalui litigasi
tersebut, karena waktu yang
diperlukan cukup lama, biaya tinggi dan penyelesaian sengketa
bersifat formalistis, dan sengketa didasarkan kepada kala dan menang (Win - Lose Solution)
Oleh karena itu, maka cara
penyelesaian sengketa
melalui pengadilan banyak ditinggalkan
terutama oleh pelaku bisnis dan karena itu maka timbullah masa ke Gelombang II.
2. Gelombang ke II
Pada Gelombang ke II dengan ditinggalkannya penyesaian sengktea melalui
litigasi, maka orang beralih untuk memilih menyelesaiakan sengketa di arbitrase (di luar badan peradilan atau Non –
Litigasi).
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ditandai dengan lahirnya “ Jay Treaty 1794” yaitu merupakan perjanjian antara Amerika
Serikat dan Inggris. Perjanjian tersebut bertujuan untuk menanggulangai
sengketa antara warga negara kedua negara tersebut. Pola penyelesaian lama
sebelum Jay Traty didasarkan kepada system penyelesaian sengketa melalui system
Saluran Diplomatik. Penyelesaian
sengketa melalui Saluran Diplomatik sering menagacaukan, akrena dipengaruhi
oleh kepentingan politik, oleh karena itu berdasarkan Jay Treaty, maka
dibentuklah suatu lembaga atau institusi yang disebut dengan “Mixed
Commission” (Komisi Gabungan). Mixed Commission berfungsi untuk
menyelesaikan sengketa secara hukum, dimana lembaga ini menjadi cikla
bakal dari arbitrase nasional maupun international.
Mixed Commission memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
®
Masing-masing negara mengakui Mixed Commission sebagai lembaga
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
®
Penyelesaian sengketa melalui Mixed
Commission yang kemudian menjadi lembaga
arbitrase dilaksankan berdasarkan aturan yang dipakai oleh Mixed Commission.
®
Merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat
®
Putusan dapat dipaksakan eksekusinya oleh pengadilan
®
Yurisdiksi atau kewenangan Mixed
Commission terbatas pada penyelesaian sengketa dagang
Akan tetapi juga penyelesaian sengketa melalui arbitrase dipandang oleh
masyarakat bisnis masih kurang memuaskan karena dalam lembaga arbitrase itu
keputusan ditentukan oleh pihak ketiga (lembaganya), dan berakhir juga pada
kalah dan menang (win – lose solution) sehingga cara dengan arbitrase ini mulai
ditinggalkan.
3. Gelombang ke III
Perkembangan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang sebenarnya untuk
mengatasi kebekuan dan kekakuan dalam penyelesaian sengketa melalui litigasi, akan tetapi ternyata dalam
pelaksanaannya arbitrase mengalami hambatan-hambatan yang hampir sama dengan
litigasi. Lembaga arbitrase mengalami kebekuan dan kekakuan karena cenderung juga besifat formalistis
seperti halnya dengan litigasi dan ternyata biayanya pun juga sangat mahal. Di
samping itu dalam arbitrase putusan
dilakukan oleh pihak ketiga yang menghasilkan juga win – lose solution (kalah – menang).
Dan sebaliknya percepatan
perkembangan dalam perdagangan yang mengarah kepada perdagangan bebas
dan persaingan bebas perlu penyelesaian sengketa secara efisien dan segera,
dengan memperhatikan budaya-budaya bisnis, oleh karena itu diperlukan
adanya perubahan-perubahan dalam upaya hukum yang dilakukan melalui arbitrase
maupun litigasi.
Masyarakat menganggap penyelesaian sengketa melalui litigasi atau
arbitrase sudah tidak memadai lagi.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka masyarakat bisnis mengambil inisiatif
untuk memperkenalkan dan mengembangkan cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, yaitu Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution – ADR), dan cara ini dianggap yang
paling cocok untuk menyelesaikan masalah sengketa dagang, berhubung denan itu
untuk menggeser peran litigasi dan arbitrase, maka sejak tahun 1980 mulai
berkembang penyelesaian melalui ADR.
Ciri-ciri ADR adalah sebagai berikut :
1. Penyelesaian sengketa tidak
memerlukan aturan-aturan formal.
2. Penyelesaian sengketa dapat segera diselesaikan
3. Baiaya murah dan efisien
4. Hasil yang diinginkan melalui ADR
berisi penyelesaian sengketa untuk melangkah kedepan, bukan untuk
mempermasalahkan masa lalu.
5. Yang menangani penyelesaian
sengketa dapat diserahkan kepada orang yang professional atau yang ahli
dibdidangnya, tetapi keputusan ada pada pihak yang bersengketa sendiri
(mandiri), meskipun bisa diserahkan pada pihak yang ahlinya taua professional.
6. Penyelesaian sengketa didasarkan
kepada win-win solution atau sama-sama menang/menguntungkan, dan tidak ada
pihak yang merasa dirugikan.
ADR didasarkan pada landasan
filosofis yang sederhana, yaitu :
1.
Mau mendengar atau menerima kebaikan dari orang lain (sportif), serta
mengakui kesalah dan kejelakan atau kekurangan dari diri sendiri.
2.
Berunding secara kooperatif demi menjalin hubungan masa sepan.
3.
Para pihak saling mengetahui dan
memahami apa yang adil dan layak
bagi mereka.
4.
Dalam hal tertentu, apabila diperlukan maka dapat memanfaatkan pihak ketiga yang netral dan
professional sebagai mediator, sehingga
penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan
untuk mencapai kompromi tanpa adanya permusuhan dan emosi.
Berdasarkan ciri-ciri landasan filosofis di atas, maka justru di Amerika
Serikat dalam dunia bisnis ternyata orang lebih suka untuk menyelesaiakan
sengketa dagang mereka melalui ADR,
dengan demikian system ADR berkembang, terutama di Amerika Serikat.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap,
Yahya Arbitrse,
Sinar Grafika, Jakarta, 2011
I Made Widnyana, Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2009
Margono, Suyud, Penyelesaian Sengketa Bisnis : Alternative Dispute Resolution,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010.
No comments:
Post a Comment