Tuesday 12 June 2012

CATATAN KULIAH :
ARBITRASE  DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Prof. Dr. Kuntoro PhD.
Program Magister Ilmu Hukum Ubhara Jaya
Jakarta 2012
================================================================

BAB I
PENDAHULUAN

  A. PENGERTIAN SENGKETA
Sengketa adalah suatu keadaan dimana terdapat konflik kepentingan (conflict of interest) antara 2 pihak dalam suatu peristiwa hukum dimana antara keduanya tidak tercapai kesepakatan.
Peristiwa hukum adalah peristiwa yang mempunyai akibat hukum:
Contoh: Orang jual-beli dimana si penjual wajib menyerahkan barang dan si pembeli wajib menbayarnya.
Peristiwa hukum dapat berupa:
·        Keadaan misal, keadaan hidup bertetangga. Artinya, para tetangga harus saling menghormati. Contoh; jika ada tetangga menyalakan tv keras-keras berarti telah melanggar hidup bertetangga.
·        Perbuatan, misal; jual-beli, pinjam-meminjam
·        Kejadian; misal,
ü kelahiran menimbulkan kewajiban anak menghormati orang tua dan menimbulkan kewajiban orang tua untuk memelihara anak,
ü kematian jika terjadi suatu kematian menimbulkan akibat hukum hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahli waris.

B.    RUANG LINGKUP
1.     Yang dibahas yaitu sengketa-sengketa dibidang keperdataan dalam arti luas, termasuk didalamnya sengketa dagang, investasi, HAKI.
2.     Sengketa dibidang keperdataan/sengketa bidang perdagangan baik nasional maupun internasional.
C.     CARA PENYELESAIAN SENGKETA
Pada prinsipnya penyelesaian sengketa dilakukan dengan 2 cara penyelesaian, yaitu:
1.     Cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan “litigasi”
2.     Cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan “non litigasi”
Cara “Non litigasi” ditempuh dengan 2 cara:
a.     Melalui alternative penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution “ADR”).
b.     Melalui arbitrase (Arbitration)





BAB II
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE

A.    PENGERTIAN ARBITRASE
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di luar lembaga pengadilan yang diadakan oleh para pihak yang bersengketa atas dasar perjanjian (Harus tertulis) melalui lembaga arbitrase.
B.    KELEBIHAN-KELEBIHAN MENGGUNAKAN CARA ARBITRASE
1.     Sifat kerahasiaan; kerahasiaan sengketa terjamin, karena proses sidang arbitrase itu dilakukan secara tertutup (tidak seperti sidang untuk pengadilan yang terbuka untuk umum).
Dilakukan tertutup karena apabila public tahu maka akan mempengaruhi para klien atau konsumen akan merusak reputasi kredibilitas dari pengusaha.
2.     Relative proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih cepat dibandingkan dengan proses litigasi.
Hal ini jelas bahwa menurut UU sengketa arbitrase itu paling lambat harus diselesaikan dalam waktu 180 hari (6 bulan), sedangkan litigasi bisa bertahun-tahun.
3.     Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiternya (hakimnya)
4.     Para pihak dapat menentukan pilihan hukum yang berlaku atas sengketa tersebut (bebas memilih aturan arbitrase (arbitrase rules))
Misal: para pihak setuju akan menggunakan prosedur arbitrase BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)
5.     Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding)
Artinya, tidak ada upaya banding sedangkan litigasi ada upaya banding atau kasasi.
C.     SEJARAH ARBITRASE INTERNASIONAL
Lembaga arbitrase sudah dikenal sejak jaman kuno (Romawi) tetapi secara konkrit lembaga arbitrase muncul pada abad ke-18 tepatnya tahun 1794 dengan adanya suatu perjanjian yang dinamakan (Jay Treaty), yaitu perjanjian antara AS dengan Inggris dimana dengan perjanjian tersebut disepakati bagaimana penyelesaian sengketa dibidang perdagangan. Sehubungan dengan perjanjian itu, maka dibentuklah lembaga yang dinamakan (MIXED COMMISSION) yang berfungsi menyelesaikan sengketa dagang. Sebelum adanya Jay Treaty, penyelesaian sengketa dagang melalui saluran “DIPLOMATIK”
D.    PRINSIP-PRINSIP DALAM ARBITRASE
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.     Prinsip itikad baik, artinya para pihak menyatakan beritikad menyelesaikan sengketa mereka dengan itikad baik (pasal 1338 KUHPer).
2.     Prinsip larangan menggunakan kekerasan dalam penyelesaian sengketa
3.     Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa.
4.     Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan dalam sengketa mereka.
5.     Prinsip kesepakatan / konsensus para pihak  yang bersengketa.
6.     Prinsip bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketa mereka ke lembaga arbitrase, hendaknya ditempuh terlebih dahulu segala upaya rukun yang tersedia untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Misal: Diadakan perundingan terdahulu, mediasi, konsiliasi (Alternative Dispute Resolution).
Upaya yang ditempuh sebelum arbitrase itu dinamakan prinsip “EXHAUSTION OF LOCAL REMEDIES” upaya hukum yang tersedia sudah ditempuh.
7.     Prinsip kedaulatan, kemerdekaan dan integritas wilayah Negara.
Artinya : Negara bisa menolak putusan arbitrase yang dilakukan di luar negeri.
E.     LEMBAGA ARBITRASE
1.     Internasional, antara lain :
a.     International Chamber Of Commerce (ICC)
Kamar Dagang International.
b.     The International Center For Settlement Of Investment Dispute
(ICSID) tahun 1968, Lembaga Internasional untuk Penyelesaian Sengketa dibidang Penanaman Modal.
Indonesia meratifikasi dengan UU No. 5 tahun 1968
c.      United Nations Commission On International Trade Law
(UNCITRAL) 1970
2.     Nasional, antara lain :
a.     BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)
b.     Badan arbitrase Muamalat Indonesia (BAMI), yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
F.     SEJARAH ARBITRASE DI  INDONESIA
1.     Zaman kolonial Belanda
a.     Di Indonesia lembaga arbitrase juga mempunyai sejarah cukup panjang sejak zaman colonial Belanda sebagaimana yang diatur dalam Hukum Acara  Perdata Belanda yang berlaku di Indonesia, yang dikenal dengan REGLEMENT OP DE BURGERLYKE‘’RECHTSVORDERING’’(RV) PASAL 615-651 ( Mengenai arbitrase): RV, peraturan mengenai hukum acara perdata yang berlaku bagi golongan Eropa
b.     HET HERZIENE INLANDSCH REGLEMENT (HIR) Staatsblad 1847 : 52 Hukum Acara Pidana yang berlaku bagi golongan pribumi.
Sampai sekarang masih merupakan hukum positif, pasal 377
c.      RECHTS REGLEMENT / BUITEN GEWESTEN (RBG) Staatsbladl  1927:227 Pasal 705, Peraturan Hukum Acara Perdata untuk luar Jawa dan Madura.
2.     Setelah kemerdekaan
a.     Setelah Kemerdekaan, Indonesia mempunyai UU kekuasaan kehakiman yaitu UU No.14 tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No.35 tahun 1999 melalui diubah dengan UU No 18  Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo UU No. 48 Tahun  2009
Pasal 16 ayat (2) disebut kan tentang penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan atas dasar perdamaian diperbolehkan
b.     UU No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, khususnya pasal 39 dimana disebutkan bahwa si A dapat dikenali tugas dan kewenangan lain berdasarkan UU  (antara lain   penyelesaian sengketa di  luar pengadilan).
c.      Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999 ini, maka ketentuan dari RV atau HIR, RBG mengenai Arbitrase dinyatakan tidak berlaku lagi.





BAB III
PERJANJIAN ARBITRASE (KLAUSULA ARBITRASE)

A.    JENIS KLAUSULA ARBITRASE
Ada 2 macam atau 2 jenis klausula arbitrase
1.     Apabila perjanjian arbitrase atau klausula arbitrase itu dibuat sebelum terjadinya sengketa, maka klausula arbitrase tersebut dinamakan “PACTUM DE COMPROMITTENDO”. Klausula sebelum terjadi sengketa dimuat dalam perjanjian pokok antara para pihak, yaitu dicantumkan nya dalam salah satu pasal penyelesaian sengketa.
Misal: Perjanjian jual-beli A dan B dimana dalam pasal 7 mengenai penyelesaian sengketa dicantumkan apabila terjadi sengketa mengenai perjanjian ini dan tidak setuju untuk menyelesaikan sengketa.
2.     Tetapi bisa juga klausula arbitrase tersebut dinamakan “AKTA KOMPROMIS”
Akta kompromis dimuat dalam perjanjian tersendiri.
B.    AKIBAT HUKUM
Apa akibat hukum dari perjanjian arbitrase itu, apabila para pihak telah memilih arbitrase untuk menyelesaikan sengketa mereka maka pengadilan negeri harus menolak untuk menyelesaikan sengketa mereka dan menyatakan bahwa pengadilan negei tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara mereka, karena sudah memilih arbitrase (karena klausula itu adalah perjanjian jadi harus dihormati)


C.     RUANG LINGKUP
Ruang lingkup sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase :
1.     Sengketa di bidang perdagangan dalam arti luas termasuk didalamnya perbankan, keuangan, penanaman modal, hak atas kekayaan intelektual.
2.     Sengketa tentang hak yang dikuasai sendiri, artinya objek sengketa merupakan haknya atau di bawah kekuasaannya. Sengketa dibidang hukum pribadi tidak bisa diselesaikan melalui arbitrase.
Contoh: perceraian, perkawinan, sengketa warisan.

D.    JENIS ARBITRASE
Kita mengenal ada 2 jenis arbitrase :
1.     Arbitrase INSTITUSIONAL
Yaitu arbitrase yang merupakan lembaga tetap, artinya meskipun perkara arbitrase sudah diputus namun lembaganya tetap ada Misal : BANI
2.     AD HOC
Yaitu arbitrase yang bersifat sementara yang dipilih oleh para pihak dalam menyelesaikan perkara yang khusus.Arbitrase ad hoc bubar apabila perkara yang bersangkutan sudah diputus.
Misal : dibidang pelayaran, dapat meminta Menteri Perhubungan untuk jadi arbiternya.
Disamping arbitrase Institusional dan Ad Hoc dikenal juga arbitrase lain, yang dikenal dengan arbitrase:
a.     Nasional: Arbitrase yang memutus perkara yang  tempat kedudukannya  diwilayah suatu Negara dan menggunakan hukum yang berlaku di Negara yang bersangkutan, seperti BANI yang memutus perkara di Jakarta dan menggunakan hukum yang berlaku di Indonesia.
b.     Internasional : Arbitrase yang memutus perkara ditempat kedudukannya di luar negeri dan menggunakan hukum yang berlaku di negara tersebut.
Misal: Arbitrase di Los Angles memutus perkara di Los Angeles dan menggunakan hukum yang berlaku di USA.










BAB IV
KAITAN ARBITRASE DENGAN HUKUM PERIKATAN


A.    PENGERTIAN
Perikatan ialah suatu hubungan hukum di bidang kekayaan antara dua pihak yang memberikan hak kepada pihak yang satu untuk menuntut pihak lain dan memberikan kewajiban bagi pihak lain untuk memenuhi tuntutan itu.
B.    OBJEK
Prestasi.
1.     Memberikan sesuatu barang (jual-beli)
2.     Melakukan suatu perbuatan
3.     Tidak melakukan sesuatu perbuatan
C.     WANPRESTASI
Ingkar Janji. Wujudnya :
1.     Sama sekali tidak memenuhi prestasi
2.     Tidak tunai, tidak sebagaimana mestinya sesuai yang diperjanjikan
3.     Terlambat
4.     Keliru
D.    AKIBAT HUKUM
Dituntut.
Alternative tindakan yang harus dilakukan :
1.     Menuntut pemenuhan perikatan
2.     Pemenuhan perikatan disertai gantirugi
3.     Menuntut ganti rugi
4.     Pembatalan perjanjian
5.     Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.   (lihatPasal 1267 KUHPer)
E.     SUMBER PERIKATAN
1.     Undang-undang
a.     Undang-undang saja
                                                              i.      Kelahiran
                                                            ii.      Kematian
                                                          iii.      Keadaan
b.     Undang-undang karena perbuatan
                                                              i.      Menurut hukum
                                                            ii.      Melawan hukum
2.     Perjanjian
Bernama dan tidak bernama.
a.     Sepihak, misalnya hibah.
b.     Timbal balik
Perbuatan Melawan Hukum memiliki unsur-unsur:
1.     Perbuatan
2.     Melawan hukum
3.     Adanya kerugian
4.     Adanya hubungan sebab akibat
5.     Adanya kesalahan  yang bisa dipertanggungjawabkan.

Sahnya Perjanjian  (Pasal 1320 KUHPer)
1.     Sepakat      )
2.     Cakap      ) Subjektif.  Jika tidak dipenuhi, dapat dibatalkan (dimohonkan ke Pengadilan)
3.     Objek tertentu      }
4.     Sebab yang halal. }  Objektif . Jika tidak dipenuhi maka batal demi hukum.





BAB V
PENGANGKATAN ARBITER

  A.  PERSYARATAN ARBITER (Pasal 12 UU RI  No. 30 Tahun 1999)
1.     Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat :
a.     Cakap melakukan tindakan hukum atau perbuatan hukum (dapat melakukan perbuatan hukum secara sah)
b.     Harus berumur paling rendah 35 tahun.
c.      Tidak mempunyai hubungan keluarga atau semenda dengan salah satu pihak bersengketa
d.     Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan dengan pihak yang bersengketa “CONFLICT OF INTEREST”
e.     Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidang nya paling sedikit 15 tahun.
2.     Yang tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter, yaitu :
·        Hakim, Panitera dan pejabat peradilan lainnya (jurusita)
·        Jaksa
B.   JUMLAH ARBITER
Untuk menyidangkan suatu perkara atau kasus maka jumlah arbiter yang memeriksa dan memutus perkara itu harus berjumlah “GANJIL” untuk mencegah terjadinya  “Dead Lock”   (Kebuntuan dalam suatu perkara).
C.     TATA CARA
Ada beberapa tata cara penunjukan atau pengangkatan arbiter, yaitu :
1.     Ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa
2.     Ditunjuk oleh lembaga arbitrase
3.     Bisa juga ditujuk oleh pengadilan, apabila orangny dan lembaganya tidak dapat menunjuk.
D.    HAK  INGKAR (Pasal 22 jo.23)
Adalah hak dari arbiter untuk menolak memeriksa dan memutus suatu perkara karena adanya hubungan darah dengan pihak yang berperkara  atau adanya konflik kepentingan
E.     TUGAS DAN TANGGUNG  JAWAB ARBITER
1.     Memeriksa dan memutus perkara secara jujur, adil, obyektif sesuai ketentuan yang berlaku
2.     Memberikan putusan dalam batas waktu yang telah ditentukan (paling lambat 180 hari)
3.     Apabila ternyata arbiter telah melakukan sesuatu hal yang telah melebihi wewenangnya maka dapat diminta pertanggungjawabnya dan apabila perlu, maka dituntut untuk mengganti kerugian.
F.     AKHIR TUGAS (Pasal 73)
Tugas arbiter berakhir apabila :
1.     Putusan mengenai sengketa telah dilakukan.
2.     Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian telah dipenuhi
3.     Penggugat (pemohon) menarik kembali perkaranya.
4.     Apabila gugatan pemohon dinyatakan gugur





BAB VI
PEMERIKSAAN DI SIDANG ARBITRASE
(HUKUM ACARA ARBITRASE)

A.    PRINSIP-PRINSIP DALAM PEMERIKSAAN DI  SIDANG ARBITRASE
1.     Para pihak yang bersengketa bebas menentukan sendiri hukum acara atau proses arbitrase yang akan diajukan dalam pemeriksaan arbirase.
Misal: Memakai peraturan arbitrase BANI atau peraturan arbitrase Jepang
2.     Kebebasan tersebut dinyatakan secara tegas dan tertulis dalam perjanjian arbitrase
3.     Para pihak dapat menggunakan atau memilih arbitrase Nasional atau Internasional.
Misal: Nasional (BANI), International (ICC)
B.    PARA PIHAK
     Yang bersengketa dalam proses arbitrase, adalah :
1.     Pemohon (penggugat) “Claimant
2.     Termohon (tergugat) “Respondent”
D.    PROSEDUR (PASAL-38)
Bagaimana prosedur sengketa :
1.     Penyampaian surat gugatan atau tuntutan harus dibuat secara tertulis
2.     Surat tuntutan atau surat gugatan harus memuat
a.     identitas pemohon dan termohon
b.     duduk perkaranya atau kasus posisi
c.      isi tuntutan atau gugatan (petitum)
3.     Setelah surat tuntutan atau gugatan diterima oleh majelis arbitrase dari pemohon maka ketua majelis arbiter menyerahkan salinan tuntutan atau gugatan kepada termohon untuk dipelajari
4.     Termohon atau tergugat harus menanggapin dan memberi jawaban tertulis dalam waktu 14 hari setelah diterimanya tuntutan dari pemohon
5.     Apabila termohon tidak menyampaikan jawaban dalam waktu 14 hari, maka arbitrase akan memanggil lagi termohon dalam waktu 14 hari terhitung surat panggilan
6.     Ketua majelis arbitrase menyerahkan salinan jawaban dari termohon kepada pemohon
7.     Majelis memerintahkan para pihak untuk hadir dalam sidang arbitrase
8.     Termohon dapat mengajukan balasan “Rekonvensi”
9.     Pemeriksaan di sidang arbitrase dilaksanakan secara tertutup untuk menjamin kerahasiaan dari penyelesaian sengketa
10.                        Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia (untuk arbitrase nasional khususnya di Indonesia) dan dokumen asing harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi atau tersumpah yang dilantik dan disumpah oleh gubernur “AUTHORIZED TRANSLATER”
11.                        Para pihak mempunyai kesempatan untuk didengar keterangannya dan dapat untuk menunjuk kuasanya
12.                        Apabila pada hari yang ditentukan oleh majelis pemohon tanpa alas an yang sah tidak datang menghadap di muka sidang maka tuntutan atau gugatan dinyatakan gugur dan tugas majelis arbitrase dianggap selesai
13.                        Apabila pada hari yang ditentukan termohon tidak hadir di sidang arbitrase, maka majelis arbitrase segera melakukan:
a.     Pemanggilan sekali lagi untuk menghadap di muka sidang arbitrase paling lambat 10 hari setelah panggilan kedua diterima
b.     Apabila pada hari tersebut termohon tidak menghadap juga maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan majelis arbitrase dan memutuskan perkara tersebut di luar hadirnya termohon dan mengabulkan seluruh tuntutan atau pemohon dari termohon. Putusan yang ditetapkan di luar hadirnya termohon dinamakan juga dengan putusan “VERSTEK”
14.                        Majelis dapat mengambil “putusan Sela”(Interlocutoir Vonnis)
Misal : Pemohon mengajukan permohonan sela berupa penetapan “sitajaminan”, artinya: Barang-barang kekayaan si tergugat itu di sisa jaminan atau di sita sementara untuk diamankan supaya tidak dijual atau dihabiskan supaya si tergugat dapat memenuhi hutang-hutangnya itu.
·        Sita jaminan atau putusan sela dalam bahasa Belanda“CONSERVATOIR BESLAG”
15.                        Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang ditetapkan maka arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaiananatara pihak yang bersengketa. Apabila perdamaian tercapai maka arbitrase membuat “AKTA PERDAMAIAN” yang bersifat final dan mengikat para pihak final and binding dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian  tersebut
16.                        Perubahan dan pencabutan permohonan
a.     Pemohon dapat mencabut surat permohonan yang berada di arbitrase atau mengubah atau menambah permohonan yang hanya dapat dilakukan sebelum adanya jawaban dari termohon
b.     Apabila sudah ada jawaban dari termohon perubahan atau penambahan surat tuntutan hanya diperbolehkan dengan persetujuan termohon dan sepanjang hal-hal yang bersifat fakta saja bukan dasar hukum yang menjadi dasar permohonan
17.                        Putusan dan upaya hukum. Ada 2 produk putusan yang dapat dikeluarkan oleh arbitrase :
a.     Putusan arbitrase yang diberikan terhadap suatu sengketa mengenai pokok permasalahan yang lahir dari suatu perjanjian.
Misal : Punya hutang 100 juta baru membayar 50 juta
b.     Majelis dapat mengeluarkan putusan berupa pendapat yang mengikat atas permohonan para pihak. Pendapat yang mengikat tersebut dinamakan dengan “BINDING OPINION”  (Pasal 52)

Catatan: Jenis-jenis arbitrase :
1)    Putusan arbitrase terhadap pokok sengketa atau perkara.
Misal : sengketa jual-beli
2)    Putusan arbitrase dapat juga berupa pendapat arbitrase yang mengikat dan final, yaitu dalam hal ada permohonan dari pihak yang bersengketa mengenai penafsiran suatu ketentuan dalam perjanjian yang oleh para oihak dimohon karena tidak jelas maka dinamakan “BINDING OPINION”
18.                        Suatu putusan arbitrase dikatakan sah atau mempunyai kekuatan hukum apabila memenuhi persyaratan sbb :
a.     Putusan arbitrase harus memuat irah-irah (kalimat tertentu, irah-irah itu berbunyi demikian:
Demi Keadilan  Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini menunjukan bahwa putusan itu mempunyai kekuatan mengikat untuk dilaksanakan atau eksekusi, disebut “TITEL EKSEKUTORIAL”. Pasal 224 HIR. Jadi meskipun ada UU arbitrase maka ada beberapa hal masih berlaku ketentuan HIR.
b.     Nama lengkap dan alamat para pihak
c.      Uraian singkat sengketa (duduk perkara)
d.     Pendirian para pihak (argumentasi atau pandangan atau alasan masing-masing para pihak)
e.     Nama lengkap dan alamat arbiter
f.       Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbiter mengenai keseluruhan sengketa
g.     Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase, pendapat yang berbeda dari arbiter tetap dicatat, yaitu “DISSENTING OPINION”
h.     Amar putusan (bunyi putusan)
i.        Tempat dan tanggal putusan
j.       Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter
19.                        Putusan arbitrase harus berdasarkan pada:
a.     Peraturan hukum yang berhubungan dengan bidang yang disengketakan, Misal : sengketa mengenai HAKI harus berdasarkan hukum HAKI
b.     Sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan keputusan
20.                        Mengenai koreksi, penambahan atau pengurangan putusan arbitrase.
a.     Koreksi putusan arbitrase terbatas pada kekeliruan yang bersifat administrasi  Misal : Jalan Garuda No.24 dibuat No.25
b.     Penambahan atau pengurangan dapat dilakukan, apabila putusan arbitrase tersebut :
1)    Di luar tuntutan, misal : penggugat tidak meminta uang denda, maka tidak  ada putusan  mengenai denda
2)    Tidak memuat apa yang dituntut
3)    Adanya ketentuan yang bertentangan mengenai koreksi penambahan dan pengurangan harus diterima dalam waktu 14 hari setelah putusan diterima. (Pasal 58)
21.                        Pembatalan putusan arbitrase dapat dilakukan apabila putusan arbitrase tersebut mengandung unsur sbb :
a.     Surat-surat yang diajukan dalam pemeriksaan sengketa
b.     Ditemukan dokumen yang bersifat menentukan disembunyikan oleh pihak lawan
c.      Putusan diambil bedasarkan tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak (Pasal 70)
Tata cara pembatalan:
1.     Pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada ketua Pengadilan negeri
2.     Harus memberikan alasan-alasan permohonan pembatalan itu
3.     Permohonan pembatalan harus diajukan dalam jangka waktu 30 hari setelah putusan diterima
4.     Apabila permohonan pembatalan dikabulkan, maka ketua pengadilan negeri menentukan akibat lebih lanjut, apakah dibatalkan seluruhnya atau sebagian saja.
5.     Apabila tidak cukup bukti atau alasan maka pengadilan negeri menolak permohonan pembatalan tersebut disertai alasan nya
6.     Apabila pengadilan menolak pembatalan maka dapat dilakukan upaya banding ke Mahkamah Agung.
22.                        Pelaksanaan putusan arbitrase nasional :
a.     Agar putusan arbitrase nasional dapat dilaksanakan maka putusan arbitrase tersebut harus didaftar di panitera pengadilan negeri untuk mendapat pengukuhan
b.     Batas waktu penyerahan dan pendaftaran selama-lamanya dalam waktu 30 hari sejak putusan dijatuhkan
c.      Putusan arbitrase harus sudah dilaksanakan dengan sukarela oleh pihak-pihak sengketa paling lambat 30 hari setelah putusan itu
d.     Apabila dalam waktu yang ditentukan tidak dilaksanakan secara sukarela maka eksekusi dapat dilakukan secara paksa, dengan dikelurkannya surat paksa oleh pengadilan negeri
e.     Ketua pengadilan negeri dapat menolak memberikan pengukuhan atau eksekusi putusan arbitrase dalam hal:
1)    Putusan yang dilakukan oleh arbiter atau arbitrase yang tidak berwenang untuk memutus perkara yang disengketakan
2)    Melebihi batas kewenangan arbitrase lingkup perdagangan
3)    Putusan yang dijatuhkan tidak memenuhi syarat penyelesaian arbitrase
4)    Putusan yang dijatuhkan bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.





BAB VII
PUTUSAN ARBITRASE ASING

A.     PENGERTIAN
Putusan Arbitrase Asing adalah putusan yang dijatuhkan di luar wilayah RI dan diterapkannya hukum asing
B.    DASAR HUKUM ARBITRASE ASING
Dasar hukum mengenai arbitrase asing adalah konvensi “New York” tahun 1958, dimana Indonesia meratifikasi dengan Keppres No. 34 Tahun  1981.
Indonesia meratifikasi konvensi tersebut dengan melakukan Reservation (dengan menentukan syarat-syarat), yaitu :
1.     Bahwa Indonesia mengakui putusan arbitrase asing tetapi berdasarkan asas “RESIPROSITAS” atau asas timbal-balik
2.     Bahwa putusan arbitrase asing tersebut menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk bidang perdagangan, jadi jika bukan bidang perdagangan Indonesia bisa menolak.
C.     SYARAT-SYARAT PUTUSAN ARBITRASE ASING DAPAT DILAKSANAKAN DI INDONESIA
1.     Negara asing dimana arbitrase tersebut diputus harus sama-sama terikat dalam konferensi New York tahun 1958
Misal : AS dan Indonesia dua-duanya harus menjadi anggota konferensi New York, agar putusan dapat dilaksanakan
2.     Harus berdasarkan asas “REPROSITAS “
3.     Putusan arbitrase asing harus dalam ruang lingkup perdagangan “arti luas”, termasuk di dalamnya mengenai HAKI
4.     Putusan arbitrase asing tersebut tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum
D.    PROSEDUR PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING
Berdasarkan peraturan MA No. 1 tahun 1990 tentang tatacara pelaksanaan putusan arbitrase asing
1.     Putusan arbitrase asing harus didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Apabila menyangkut pemerintah maka pendaftaran nya di MA).
2.     Pendaftaran melampirkan :
a.     Asli atau turunan resmi putusan arbitrase asing
b.     Naskah terjemahaan resmi putusan dalam bahasa Indonesia oleh “AUTHORIZED TRANSLATER” disumpah oleh Gubernur
c.      Asli atau turunan resmi perjanjian arbitrase (harus dilegalisir oleh perwakilan Indonesia di luar negeri)
d.     Naskah terjemahan resmi perjanjian arbitrase dalam bahasa Indonesia
e.     Keterangan dari perwakilan RI di luar negeri dimana putusan arbitrase dilaksanakan






BAB VIII

PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
WORLD TRADE ORGANISATION (WTO)

Keterangan : WTO merupakan perjanjian antar Negara yang berupa organisasi perdagangan dunia.

A.    SEJARAH WTO

Pada tahun 1994 beberapa Negara berkumpul di Bretton Woods ( Amerika Serikat ) untuk membicarakan cara membangkitkan kembali perekonomian dunia sebagai akibat dari adanya peperangan (akhir PD II), sehingga berkumpullah beberapa Negara yang bercita-cita untuk menciptakan perdagangan bebas, yang artinya perdagangan yang bebas dari hambatan-hambatan perdagangan.
Hambatan – hambatan dalam perdagangan bebas antara lain :
a.     Kebijakan proteksi
b.     Kebijakan subsidi
c.      Kebijakan menetapkan tarif bea masuk yang tinggi.
Untuk mengatur perdagangan yang bebas itu, maka mereka Negara-negara yang berkumpul itu bermaksud untuk mendirikan suatu lembaga yang dinamakan dengan INTERNATIONAL TRADE ORGANISATION (ITO) yang merupakan organisasi perdagangan internasional, dan cita-cita tersebut tercapai dengan berdirinya ITO yang berdasarkan pada “ HAVANA CHARCTER “ tahun 1947.
Namun demikian, ITO yang dimaksudkan untuk mengatur perdagangan bebas ternyata tidak dapat berfungsi, terutama karena Negara Amerika Serikat tidak bersedia ( menolak ) untuk meratifikasi HAVANA CHARTER tersebut, sehingga ITO tidak dapat berfungsi.
Meskipun demikian, bagi Negara-negara yang telah berkumpul di Bretton Woods tersebut, mereka tidak putus asa dan masih melanjutkan untuk mengatur perdagangan bebas, meskipun tidak ada lembaga yang mengaturnya.
Perdagangan bebas diatur melalui perundingan-perundingan multilateral di bidang perdagangan, dan perjanjian multilateral di bidang perdagangan tersebut dikenal dengan “ GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE “ ( GATT ), merupakan perjanjian umum mengenai tarif dan perdagangan.
Mekanisme dalam GATT ini dilakukan melalui perundingan-perundingan perdagangan yang dinamakan dengan “ TRADE ROUND “, yang berfungsi untuk melakukan GATT itu dan setiap perundingan dilakukan dalam perdagangan, sehingga GATT bukanlah lembaga, tetapi hanyalah perjanjian multilateral.
Trade Round mencapai puncaknya pada waktu diadakannya  URUGUAY  ROUND  ( 1986 – 1994 ), dan pada Uruguay Round ini, maka di MARAKESH MAROCCO 1994, terciptalah WTO. Dengan demikian maka lembaga-lembaga yang telah diciptakan di Bretton Woods tersebut tercapailah WTO.
Negara Indonesia sudah meratifikasi dan terikat dengan WTO pada tahun 1994 dengan UU No. 7 Tahun 1994 yaitu tentang Pengesahan Agreement. Establishing The World Trade Organization, merupakan persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia.

B.    PRINSIP-PRINSIP WTO
1.     WTO melarang adanya kebijakan diskriminasi oleh anggotanya dibidang perdagangan.
2.     WTO melarang adanya kebijakan proteksi
3.     WTO melarang adanya kebijakan subsidi
4.     WTO menghendaki adanya sifat keterbukaan dalam kebijakan perdagangan.
Dalam hal ini WTO berprinsipkan Transparansi (keterbukaan), dimana Negara tidak boleh untuk membuat kebijakan ekonomi secara diam-diam, sehingga Negara lain tidak mengetahuinya.
C.     BADAN PENYELESAIAN SENGKETA  ( DISPUTE SETTLEMENT  BODY- DSB )
Prosedur penyelesaian sengketa melalui DSB apabila terjadi sengketa dibidang perdagangan antara sesama anggota WTO, maka ditempuh prosedur sebagai berikut :
1.     Tahap pertama dilakukan konsultasi ( Consultation ) oleh para pihak yang bersengketa untuk saling bertemu dan bertukar pikiran.
2.     Apabila konsultasi tersebut tidak mencapai kesepakatan, maka sengketa mereka diajukan oleh Panel (aparat yang ada dalam DSB), dan Panel akan memeriksa sengketa yang terjadi.
3.     Dilakukannya Hearing oleh Panel, dimana para pihak di dengar keterangannya ( argumentasinya ) mengenai masalah tersebut.
4.     Adanya “ Rebutals “, yakni para pihak dapat melakukan sanggahan-sanggahan dengan argumentasinya itu.
5.     Apabila perlu, maka DSB bisa untuk meminta pendapat para ahli dibidang yang disengketakan, pendapat para ahli disebut Experts.
6.     Setelah dilakukannya itu semua, maka dibuatlah laporan sementara yang disebut Interim Report.
7.     Laporan sementara tersebut disampaikan kepada para pihak yang bersengketa untuk memberikan pandangan-pandangannya, hal ini dinamakan dengan tahap Review.
8.     Tahap laporan akhir ( Final Report ).
9.     Panel menyampaikan rekomendasi atau saran keputusan kepada DSB, dinamakan The Rullings.
10.            Setelah menerima rekomendasi tersebut, maka ditetapkanlah keputusan akhir yang disebut Final Decission oleh DSB.
11.            Kepada pihak yang telah dikalahkan ( tergugat ), maka diberi kesempatan untuk melakukan banding ke lembaga banding yang ada dalam DSB, yang dinamakan dengan Appeal   →  Appelate Body.
12.            Setelah diberi kesempatan banding, maka tibalah pada saat pelaksanaan putusan itu, yang disebut Enforcement.
-         Pelaksanaan putusan dilakukan melalui tahap sebagai berikut :
a.     Putusan harus segera dilaksanakan.
b.     Apabila tidak dilaksanakan dengan segera kepada Tergugat, maka diberikan jangka waktu tertentu oleh DSB untuk menyampaikan alasan-alasan mengapa tidak melaksanakan putusan dengan segera.
c.      Setelah diberi jangka waktu tertentu, ternyata tidak dilaksanakan juga, maka penggugat dapat menuntut ganti rugi ( kompensasi ).
d.     Apabila tuntutan ganti rugi tidak dilaksanakan juga, maka penggugat dapat meminta kepada DSB untuk memberikan izin untuk melakukan atau menjatuhkan sanksi perdagangan dalam sektor perdagangan yang sama.
Menjatuhkan sanksi itu dilakukan oleh penggugat apabila putusan DSB tidak dilaksanakan, sanksi di sector perdagangan dinamakan dengan dengan LIMITED TRADE SANCTION.
e.     Apabila sanksi dibidang perdagangan yang sama tidak efektif, maka penggugat dapat menjatuhkan sanksi di sektor-sektor perdagangan lainnya, seperti pertanian, industri, perminyakan, dll.
-         Sanksi dibidang sektor perdagangan lainnya dinamakn dengan CROSS SECTORAL RETALIATION.
Contoh Kasus Konkrit di Indonesia
Pada tahun 1996 masa pemerintahan oleh Presiden Soeharto yang mengeluarkan Inpres No. 2 Tahun 1996 yang dikenal dengan “ MOBNAS”, dimana dengan adanya Inpres tersebut untuk anaknya Tommy yang diberikan fasilitas khusus untuk memasukkan mobil Timor tanpa dikenakan bea masuk, dan masuklah mobil Timor tersebut ke Indonesia dengan bea masuk 0% dengan alasan guna meningkatkan industri otomotif nasioanal.
Kebijakan Inpres tersebut ternyata menimbulkan protes, sehingga Indonesia digugat oleh Masyarakat Ekonomi Eropa, karena dalam ketentuan WTO menyatakan bahwa suatu Negara dilarang untuk melakukan diskriminasi, dan melanggar prinsip-prinsip dalam WTO mengenai diskriminasi dan ketentuan transparansi dalam mengeluarkan kebijakan ekonominya.
Sanksinya untuk Indonesia, yakni Indonesia diminta untuk mencabut Inpers tersebut supaya tidak ada kebijakan yang diskriminasi.
Adapun penyelesaian melalui lembaga non ligitasi ( WTO ) dilakukan oleh lembaga dunia.
           




BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR NEGARA
BERDASARKAN HUKUM INTERNATIONAL

A.     PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan Sengketa International adalah sengketa antar negara yang menyangkut kaidah hukum international.
B.    SIFAT
Sengketa hukum international dapat bersifat :
1.     Sengketa yang mempengaruhi kehidupan international. Artinya, akan dapat mengganggu ketentraman dan perdamaian dunia.
Contohnya : perang dunia II, perang Irak dengan Iran.
2.     Sengketa yang tidak mempengaruhi kehidupan international yang dilakukan oleh antar negara ataupun lebih.
Contoh : sengketa Indonesia dengan Malaysia tentang pulau
C.     CARA PENYELESAIAN
1.     Penyelesaian sengketa international dilakukan secara damai  (Peaceful Settlement)
2.     Penyelesaian sengketa international dilakukan secara paksa (Settlement by force)
Penyelesaian sengketa international  secara damai dilakukan dengan :
a.     Negosiasi (perundingan untuk mencapai kesepakatan)
Apabila negosiasi tidak tercapai, maka dilakukan pertukaran Nota Diplomatik yang menyatakan bahwa sengketa diantara mereka dianggap telah selesai.
b.     Dilakukan melalui jasa-jasa baik (Good Offices), yaitu penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga, dimana pihak ketiga tersebut mengupayakan agar pihak yang bersengketa mau maju di meja persidangan.
c.      Mediasi (Mediation), yakni penyelesaian sengketa  melalui mediator, dimana mediator mengusulkan cara penyelesaian sengketa dan mediator dapat mengikuti jalannya sengketa.
d.     Enquiry, merupakan penyelidikan mengenai sengketa yang terjadi, dan adanya badan penyelidik untuk mencari fakta yang terjadi.
e.     Konsiliasi (Conciliation), dibentuknya komisi  konsiliasi dan rekomendasi kepada pihak-pihak yang bersengketa.
f.       Arbitrase (Arbitration) dalam lembaga international, yang bisa mengadili  sengketa antar negara.
g.     Ajudikasi (Adjudication), penyelesaian sengketa melalui mahkamah international.
Syarat suatu sengketa dapat diajukan ke Mahkamah International:
Para pihak yang bersengketa harus sama-sama menyatakan persetujuannya bahwa sengketa mereka akan diselesaikan di Mahkamah International dan pernyataan persetujuan tersebut dinamakan  dengan OPTIONAL CLAUSE dan apabila salah sastu pihak tidak bersedia untuk diajukan ke Mahkamah International, maka perkara tersebut tidak bisa untuk diajukan ke Mahkamah International, hal ini dikarenakan harus adanya kesepakatan dari kedua-keduanya.
Contoh : Sengketa Indonesia vs Malaysia mengenai pulau Sipadan dan Litigasi dimana kedua pihak sama-sama sepakat untuk mengajukan ke Mahkamah International.
Syarat suatu sengketa dapat diajukan ke Mahkamah International :
Para pihak yang bersengketa harus sama-sama menyatakan persetujuannya bahwa sengketa mereka  akan diselesaikan  di Mahkamah International  dan pernyataan  persetujuan tersebut dinamakan dengan OPTIONAL CLAUSE dan apabila salah satu pihak tidak bersedia untuk diajukan ke Mahkamah International, maka perkara tersebut  tidak bisa  untuk diajukan ke Mahkamah International, hal ini dikarenakan harus adanya kesepakatan dari kedua-keduanya.
Contoh : Sengketa Indonesia vs Malaysia  mengenai pulau Sipadan  dan Ligitan, dimana kedua pihak sama-sama sepakat untuk mengajukan ke Mahkamah International.
Penyelesaian sengketa secara paksa (settlement by force), dilakukan melalui cara-cara :
a.     Restortion yaitu suatu tindakan oleh suatu negara terhadap negara lain, karena negara lain itu melakukan tindakan yang tidak  pantas dalam hubungan international.
Contoh :  Menghina pemerintahan kepala negara lain.
b.     Reprisal yaitu tindakan oleh suatu negara terhadap negara lain, karena  negara lain  dianggap telah melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum internationnal.
c.      Blockade yaitu tindakan pengepungan khususnya wilayah  pelabuhan oleh suatu negara  dengan tujuan agar negara yang di blockade menuruti keinginan  negara yang memblockade.
Contoh : Belanda pada perang  kemerdekaan memblockade wilayah-wilayah Indonesia memaksa Indonesia supaya menyerah.
d.     Intervention, yaitu tindakan  turut campur urusan dalam negeri negara lain.
Menurut piagam PBB dan kaidah Hukum International bahwa intervention itu dilarang kecuali  dalam hal sebagai berikut :
1.     Intervensi Kolektif, yaitu intervensi yang dilakukan atas nama masyarakat international atau PBB.
Contohnya : Pengiriman pasukan PBB untuk melakukan  intervensi demi keamanan dunia.
2.     Intervensi untuk melindungi kepentingan, keselamatan negara dan warga negaranya.
Contoh :   Amerika mendaratkan pasukannya di suatu negara  untuk menyelematkan negaranya dan warga negaranya.
3.     Intervensi dalam pembelaan  diri untuk mempertahankan  kedaulatan negara, yaitu apabila negara  diserang maka boleh untuk intervensi demi kdaulatan negara.
4.     Intervensi dalam hubungannya dalam wilayan protektorat (dilindungi)
e.     Perang (War), yang pada dasarnya adalah tindakan  untuk menaklukkan lawan dan  menetapkan  syarat-syarat untuk mengakhiri sengketa secara  sepihak yang harus dituruti oleh pihak lawan.




BAB X
SENGKETA DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

A.  PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan segala keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan dan kelestarian lingkungan hidup.
B.  PENCEMARAN ATAU PERUSAK LINGKUNGAN HIDUP
Yang dimaksud dengan pencemaran atau perusak lingkungan hidup adalah dimasukannya energi atau substansi atau perbuatan-perbuatan lain oleh manusia ke dalam lingkungan hidup, sehingga lingkungan hidup itu menjadi merosot kadarnya, sehingga tidak dapat digunakan seperti keadaan semula.
C.  KASUS LINGKUNGAN HIDUP
Apabila suatu kegiatan usaha melanggar ketentuan yang ditetapkan atau tidak mematuhi kewajibannya yang dibebankan, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan, maka terjadilah suatu kasus lingkungan hidup atau sengketa lingkungan hidup.
Contohnya : industri pabrik aki mobil yang mengeluarkan limbah sembarangan ke sungai, sehingga terjadi pencemaran yang merugikan masyarakat setempat.
D.  ASAS
Apabila terjadi suatu kasus atau sengketa lingkungan hidup, maka berlaku asas yang dinamakan dengan Asas Tanggung Jawab Langsung (Striet Liability), artinya apabila terjadi peristiwa pencemaran lingkungan, maka pada saat itu juga, si pelaku atau si penyebab pencemaran bertanggung jawab secara langsung untuk mengganti seluruh kerugian yang ditimbulkannya tanpa harus dibuktikan kesalahannya.
Ø Maka dalam asas ini berlaku Tanggung Jawab Absolut (Absolute Liability).
Oleh karena itu, mengenai asas Striet Liability ini berbeda dengan Pasal 1365 KUHP tentang Perbuatan Melawan Hukum.
Namun demikian terhadap asas Striet Liability terdapat pengkecualiannya, apabila :
a.  Peristiwa itu diluar kekuasaan manusia (bencana alam)
b.  Akibat adanya peperangan atau pemberontakan
c.  Karena kesalahan pihak ketiga
d.  Karena kesalahan dari pemerintah sendiri
E.  JENIS-JENIS TANGGUNG JAWAB
1.  Tanggung jawab ganti rugi
2.  Tanggung jawab untuk memulihkan lingkungan hidup dalam keadaan       semula
3.  Tanggung jawab langsung
4.  Tanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan hukum (1365)
F.  INSTRUMEN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
1.     Instrumen Administratif
 Dilakukan melalui sarana-sarana sebagai berikut :
a.     Melalui sarana pengawasan oleh pejabat yang berwenang untuk memberikan izin.
b.     Apabila ketentuan usaha tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan lingkungan hidup, maka diberikan peringatan atau teguran secara lisan dan tertulis.
c.      Sanksi Administratif, apabila peringatan tidak diindahkan, maka dilakukan :
1)    Paksaan pemerintahterhadap penanggung jawab yang dilakukan oleh kepala daerah
2)    Pencabutan izin
3)    Dilaksanakan audit lingkungan (dilaksanakan pemeriksaan dari awal)
2.      Instrumen Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan
Dilakukan melalui sarana-sarana sebagai berikut :
a.     Negosiasi, yaitu perundingan antara penanggung jawab dan pihak  korban
b.     Mediasi, yaitu dengan menggunakan pihak ketiga sebagai mediator yang akan memberikan rekomendasi atau saran untuk menyelesaikan sengketa
c.       Mencari Fakta, yaitu menunjuk pihak ketiga yang akan mencari fakta-fakta mengenai terjadinya peristiwa yang bersangkutan.
d.     Konsilasi, yaitu melibatkan pihak ketiga secara aktif yang akan merumuskan secara bersama-sama mengenai penyelesaian sengketa yang harus diikuti oleh pihak yang bersangkutan
e.     Arbitrase
3.     Instrumen Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Dapat dilakukan melalui :
a.     Gugatan perdata mengenai perbuatan melawan hukum
b.     Gugatan perdata melalui organisasi lingkungan, yang dinamakan dengan “LEGAL STANDING”
c.      Gugatan perdata secara bersama-sama yang diwakili seseorang, dinamakan dengan “CLASS ACTION”
Penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui Tuntutan Pidana, yang dilakukan apabila sarana-sarana hukum lainnya sudah tidak efektif (tidak berjalan dengan baik), ini juga dapat dilakukan apabila telah timbul keresahan dalam masyarakat, dan timbulnya korban luka-luka, serta terdapatnya korban yang meninggal dunia, apabila itu terjadi maka dapat dilakukan Tuntutan Pidana.













BAB XI
PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG KEPAILITAN

Sebagaimana yang diatur dalam UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang

A.    PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan Kepailitanadalah Sita Umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan hakim penguasa.
Pengadilan yang berwenang untuk memutus sengketa kepailitan adalah Pengadilan Niaga yang merupakan pengadilan khusus dalam lingkup peradilan umum (dibawah lingkungan pengadilan negeri).
Yang dimaksud dengan Debitur Pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak dapat untuk membayar lunas utangnya sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan sudah dapat ditagih (Orang yang tidak memenuhi atau tidak dapat membayar salah satu utangnya).
B.    SYARAT
1.     Debitur (yang menghutang) mempunyai dua atau lebih kreditur, dimana   hutangnya telah jatuh tempo untuk ditagih (waktunya bayar, tapi debitur tidak membayar)
2.     Tidak membayar sedikitpun utangnya atau salah satu utangnya.
C.     SIAPA YANG DINYATAKAN PAILIT
  1.  Orang atau pribadi
  2.  Harta warisan
  3.  Badan Hukum
D.    YANG DAPAT MENGAJUKAN PAILIT
1.     Debitur itu sendiri (yang punya utang menyatakan tidak sanggup bayar)
2.     Kreditur (yang memberikan utang)
3.     Kejaksaan Negeri (dalam hal untuk kepentingan umum)
4.     Bank Indonesia terhadap bank-bank lainnya
5.     Badan Pengawasan Pasar Modal (BAPEPAM) terhadap perusahaan- perusahaan bursa efek (jual beli saham)
6.     Menteri Keuangan terhadap perusahaan asuransi
E.     AKIBAT HUKUM KEPAILITAN
1.     Apabila debitur dinyatakan pailit, maka si debitur itu kehilangan haknya untuk mengurus atau bertindak terhadap harta kekayaannya (harta kekayaannya sudah tidak bisa diapa-apakan)
2.     Apabila ada putusan hakim yang menyangkut harta pailit sebelum kepailitan, maka kepailitan tersebut harus dihentikan dan tidak dapat untuk dilaksanakan.
F.     LANDASAN HUKUM MENYATAKAN SESEORANG PAILIT
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1131 KUHP, yang intinya bahwa: Semua kekayaan seseorang itu menjadi jaminan terhadap utang-utangnya pada pihak ketiga.
Artinya: Mau tidak mau, maka kekayaan seseorang itu harus dijaminkan kepada pihak ketiga apabila orang itu mempunyai utang.
Dan apabila orang yang berutang tidak mau membayar utangnya, maka kreditur dapat meminta kepada hakim pengadilan untuk melakukan sita atas kekayaan debitur.
G.    PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN
1.     Pengadilan yang berwenang untuk mengadili dan memutus perkara sengketa kepailitan adalah Pengadilan Niaga yang diatur dalam UU No.34 Tahun 2004.
2.     Cara penyelesaian:
a. Diajukan oleh penasihat hukum yang memiliki izin praktek dalam kepailitan
b. Diajukan ke Pengadilan Niaga
c. Permohonan dilengkapi dengan dokumen, surat, dan bukti-bukti yang berkaitan
d. Sidang pengadilan niaga dilakukan maksimal 20 hari setelah pendaftaran permohonan dilakukan
e. Putusan harus dilaksanakan maksimal 60 hari setelah pendaftaran diajukan
f. Putusan pengadilan disampaikan oleh juru sita paling lambat 3 hari setelah putusan dijatuhkan
g. Tidak ada upaya banding, melainkan kasasi ke Mahkamah Agung dan maksimal dalam waktu 60 hari setelah permohonan kasasi sudah harus ada putusan kasasi
h. Terhadap putusan pailit yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka dapat dilakukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung
i. Selambat - lambatnya 5 hari setelah putusan, maka Kurator harus mengumumkan mengenai kepailitan itu dalam berita Negara dan diumumkan dalam 2 kabar surat harian





BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

A.    PENYELESAIAN
Ø Konsumen menurut
1.     Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen adalah setiap pemakaian barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Singkatnya konsumen adalah setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan atau jasa. Yang dimaksud orang disini adalah orang sebagai manusia, bukan badan hukum.
2.     Pengertian umum, konsumen adalah pemakai, pengguna, pemanfaat dari barang atau jasa untuk tujuan tertentu.
Ø Pelaku Usaha
Yaitu setiap perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi.
Contohnya : Carrefour, mal

B.    HAK KONSUMEN
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999, maka ditetapkan 9 hak konsumen:
1.     Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa
2.     Hak untuk memilih barang dan atau jasa, serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
3.     Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi serta jaminan atas barang dan atau jasa
4.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakannya
5.      Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut
6.      Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
7.      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara baik dan jujur serta tidak diskriminatif
8.      Hak untuk mendapatkan kompensasi (ganti rugi) atau penggantian barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
9.     Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
C.     KEWAJIBAN KONSUMEN
1.     Membaca atau mengikut petunjuk informasi dan prosedur untuk pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa
2.      Beritikad baik dalam melakukan transaksi dalam jual beli atas barang dan atau jasa
3.     Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati
4.     Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

D.    HAK PELAKU USAHA

1.     Hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan mengenai barang dan atau jasa yang diperdagangkan
2.     Hak mendapatkan perlindungan hukum atas tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
3.     Hak untuk melakukan pembelaan diri dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
4.     Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan atas barang dan atau jasa yang diperdagangkan
5.     Hak-hak yang diatur dalam peraturan perundangan-undangan lainnya
E.     HUBUNGAN PRODUSEN DAN KONSUMEN
Hubungan produsen atau pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan yang berjalan terus-menerus dan berkesinambungan.
Artinya : Hubungan yang saling menghendaki dan ketergantungan dimana produsen itu tergantung dengan permintaan konsumen, dan sebaliknya konsumen juga bergantung atas produk yang dikeluarkan dari produsen tersebut, sehingga keduanya saling membutuhkan satu sama lainnya. Namun prakteknya : Hubungan hukum antara produsen dengan konsumen sering melemahkan pihak konsumen, karena pelaku usaha biasanya sudah menciptakan secara sepihak dengan menetapkan syarat-syarat sepihak pula, dimana syarat-syarat tersebut sudah ditentukan sendiri oleh produsen atau jaringan distribusinya.
Ø Perjanjian yang secara formal dan kenyataannya yang sudah dibuat secara sepihak, maka hal tersebut dalam hukum dinamakan dengan “PERJANJIAN BAKU” (STANDARD CONTRACT), maka dalam hal ini pihak konsumen yang lemah, dan perjanjian baku itu menurut hukum adalah sah, karena dalam perjanjian baku itu telah dianggap adanya persetujuan dari kedua belah pihak, yang dinamakan dengan IMPLIED CONSENT yang sesuai dengan Pasal 1320 KUHP
F.     SENGKETA KONSUMEN

1.     Sebab-sebab Sengketa
Sengketa konsumen terjadi karena adanya ketidakpuasan konsumen atas suatu produk atau kerugian yang dialami oleh konsumen karena penggunaan atau pemakaian barang dan atau jasa. Maka dengan demikian, sengketa disebabkan oleh adanya kerugian, cacat tubuh, cacat fisik, dan kerugian ekonomi. Contoh : Cacat tubuh : Produk itu beracun, Cacat fisik : Rusaknya produk atau tidak berfungsinya produk yang dibeli. Kerugian ekonomi : Kerugian yang langsung berkaitan dengan produk yang dibelinya, dimana produk tersebut tidak sesuai dengan tingkat kualitas yang diharapkan.
2.     Cara mengajukan gugatan
Dalam rangka penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha (produsen) menurut UU No.8 Tahun 1999 menyediakan 3 cara dalam mengajukan gugatan ke pengadilan, yaitu:
a.     Gugatan oleh konsumen yang telah dirugikan atau ahli warisnya secara individual
b.     Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
c.      Lembaga perlindungan konsumen bagi swadaya masyarakat dan pemerintah
Sedangkan mekanisme yang dipakai dapat melalui pengadilan atau diluar pengadilan.
G.    BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Yang disingat dengan BPSK, merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk dan diatur dalam undang-undang. Tugas utama dari badan ini yaitu untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha (produsen).
Pokok-pokok penyelesaian sengketa tersebut adalah sebagai berikut :
1.     Penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui BPSK bukan suatu keharusan
2.     BPSK diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang telah melanggar larangan-larangan tertentu
3.     Pelaksanaan dari putusan BPSK dimintakan penetapan eksekusinya ke pengadilan
4.     Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap gugatan atas penyelenggaraan dapat dilakukan oleh:
a.     Seorang konsumen yang dirugikan
b.     Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
c.      Lembaga perlindungan konsumen
d.     Pemerintah atau instansi terkait apabila barang dan jasa yang dikonsumsinya mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit.
5.     Putusan dari majelis BPSK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak bisa untuk dilakukan upaya banding















BAB XIII
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
(ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION - ADR)

A.    PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak yakni penyelesaian sengketa diluar pengadilan baik dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilasi,atau penilaian ahli.
Ø Hal ini diatur dalam Pasal 1 Butir 10 dan Bab II Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Maka dalam hal ini, seharusnya ditempuh terlebih dahulu untuk ADRnya dan apabila dengan ADR tidak bisa selesai, barulah ditempuh dengan Arbitrase.
B.    KELEBIHAN-KELEBIHAN
1.     Sifat kesukarelaan dalam proses, artinya penyelesaian sengketa melalui ADR diselesaikan melalui kesepakatan para pihak.
2.     Berdasarkan kebebasan berkontrak atau mufakat, artinya ADR dilakukan berdasarkan atas kesepakatan para pihak, dimana para pihak sendiri yang akan menyelesaikan sengketanya secara musyawarah.
3.     Itikad baik, artinya penyelesaian sengketa diantara mereka didasari kepada itikad baik para pihak.
4.     Penyelesaian melalui ADR didasarkan kepada kepatutan dan keterbukaan, dimana para pihak bertujuan untuk tidak menyelesaikan sengketa mereka ke pengadilan.
5.     Sama seperti Arbitrase, bahwa putusan ADR ini juga putusan yang bersifat final dan meningkat.
6.     Penyelesaian melalui ADR bersifat kerahasiaan.
7.     Penyelesaian melalui ADR dimaksudkan untuk tetap menjaga hubungan baik antara para pihak yang bersengketa.
8.     Penyelesaian melalui ADR bersifat mandiri, yang berintikan penyelesaian sengketa itu dilakukan oleh mereka yang bersengketa sendiri, dan tidak diputus oleh pihak luar, tetapi diputuskan berdasarkan kesepakatan dari para pihak itu sendiri.
C.     METODE PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ADR
1.     Konsultasi
Artinya para pihak yang bersengketa saling bertemu untuk bertukar pikiran mengenai sengketa yang mereka hadapi.
2.     Negosiasi
Artinya para pihak merundingkan mengenai sengketa yang mereka hadapi untuk mencapai kesepakatan, maka dibuatlah suatu perjanjian perdamaian yang berisi mengakhiri sengketa diantara mereka, oleh karena itu perjanjian melalui sarana Negosiasi ini didasarkan kepada winwin solution (saling menguntungkan).
3.     Mediasi
Dalam hal Mediasi melibatkan pihak ketiga yang disebut sebagai Mediator yang tidak memihak salah satu pihak (netral), yang mau bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Akan tetapi, Mediator ini tidaklah berwenang untuk memutuskan sengketa, tetapi hanyalah membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang telah dikuasakan kepadanya.
4.     Konsilasi
Dalam hal Konsilasi, maka pihak ketiga yang disebut Konsilator yang mengajukan usulan atau jalan keluar sebagai penyelesaian sengketa, maka dalam hal ini Konsilator bertindak lebih aktif, dan dalam hal konsilasi maka pihak yang bersengketa lebih aktif, dan dalam hal Konsilasi maka pihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuannya atas usulan dari Konsilator tersebut dan menjadikannya sebagai kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa.
5.     Penilaian (Pendapat) Ahli
Mengenai Penilaian Ahli maka dapat juga ditempuh dengan melibatkan tenaga ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penilaian atau pendapatnya.
D.    LEMBAGA-LEMBAGA ADR
Penyelesaian sengketa melalui ADR, terdapat beberapa lembaga, yaitu:
1.     Penyelesaian Pengaduan Nasabah
Yang dimaksudkan untuk menerima dan menyelesaikan pengaduan-pengaduan dari nasabah, maka dalam hal ini bank wajib untuk melaporkan ke Bank Indonesia mengenai Penyelesaian Pengaduan Nasabah setiap tiga (3) bulan.
2.     Mediasi Perbankan
Apabila terjadi sengketa antara nasabah dengan bank, maka dapat diselesaikan melalui jalur Mediasi Perbankan. Adapun mediasi perbankan harus diselesaikan dalam jangka waktu 60 hari kerja.

3.     Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)
Yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa di bidang perasuransian.
4.     Mediasi Peradilan
Mengenai Mediasi Peradilan berdasarkan atas Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003, sebagaimana yang telah dirubah dengan Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008, maka telah ditetapkan bahwa semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama, wajib untuk terlebih dahulu diupayakan penyelesaian perkara melalui perdamaian dengan bantuan Mediator.
§ Jadi para sidang pertama perkara di Pengadilan, maka Hakim mewajibkan terlebih dahulu kepada para pihak untuk menempuh jalan mediasi, dan apabila perlu maka Pengadilan dapat menunjuk Hakim lain yang bukan memeriksa perkara yang bersangkutan itu, untuk berfungsi sebagai mediator. Akan tetapi, apabila Hakim lain yang ditunjuk itu gagal, maka ketua Majelis Hakim dapat menunjuk Hakim yang bersangkutan dalam memeriksa perkara yang bersangkutan itu sebagai mediator.
Apabila melalui sarana mediasi tersebut ternyata mencapai kesepakatan (berhasil), maka dirumuskanlah Perjanjian Perdamaian yang dikuatkan oleh hakim, akan tetapi apabila mediasi itu tetap gagal maka sidang akan tetap dilanjutkan.
5.     Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Dalam hal ini apabila konsumen merasa dirugikan oleh perusahaan atas produk tersebut, maka konsumen dapat mengajukan ke BPSK.








BAB XIV
SIKLUS GELOMBANG PERKEMBANGAN PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG (LEGAL SYSTEM CYCLES)

A.    LATAR BELAKANG
Penyelesaian sengketa dagang mengalami sejarah dan perkembangan yang dikenal dengan “Siklus Gelombang Perkembangan Penyelesaian Sengketa Dagang” (Legal System Cycles).
B.    SIKLUS PERKEMBANGAN PENYELESAIAN  SENGKETA DAGANG
Siklus penyelesaian sengketa dagang mengalami  perkembangan yaitu :
1.  Gelombang ke I
Pada gelombang ini penyelesaian sengketa dagang banyak dilakukan melalui  litigasi  (penyelesaian  melalui lembaga peradilan). Akan tetapi , ternyata masyarakat utama pada dunia bisnis atau perdagangan tidak puas dengan cara penyelesaian  sengketa melalui  litigasi tersebut, karena  waktu yang diperlukan  cukup lama,  biaya tinggi dan penyelesaian sengketa bersifat formalistis, dan sengketa didasarkan kepada kala dan menang  (Win  - Lose Solution)
Oleh karena itu, maka cara  penyelesaian  sengketa melalui  pengadilan banyak ditinggalkan terutama oleh pelaku bisnis dan karena itu maka timbullah masa ke Gelombang II.
2.  Gelombang ke II 
Pada Gelombang ke II dengan ditinggalkannya penyesaian sengktea melalui litigasi, maka orang  beralih  untuk memilih menyelesaiakan sengketa di  arbitrase (di luar badan peradilan atau Non – Litigasi).
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ditandai dengan lahirnya “ Jay Treaty 1794”  yaitu merupakan perjanjian antara Amerika Serikat dan Inggris. Perjanjian tersebut bertujuan untuk menanggulangai sengketa antara warga negara kedua negara tersebut. Pola penyelesaian lama sebelum Jay Traty didasarkan kepada system penyelesaian sengketa melalui  system  Saluran Diplomatik.   Penyelesaian sengketa melalui Saluran Diplomatik sering menagacaukan, akrena dipengaruhi oleh kepentingan politik, oleh karena itu berdasarkan Jay Treaty, maka dibentuklah suatu lembaga atau institusi yang disebut dengan  “Mixed Commission” (Komisi Gabungan). Mixed Commission berfungsi  untuk  menyelesaikan sengketa secara hukum, dimana lembaga ini menjadi cikla bakal dari arbitrase nasional maupun international.
Mixed Commission memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
®   Masing-masing negara mengakui Mixed Commission sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
®   Penyelesaian  sengketa melalui Mixed Commission  yang kemudian menjadi lembaga arbitrase dilaksankan berdasarkan aturan yang dipakai oleh Mixed Commission.
®   Merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat
®   Putusan dapat dipaksakan eksekusinya oleh pengadilan
®   Yurisdiksi  atau kewenangan Mixed Commission terbatas pada penyelesaian sengketa dagang
Akan tetapi juga penyelesaian sengketa melalui arbitrase dipandang oleh masyarakat bisnis masih kurang memuaskan karena dalam lembaga arbitrase itu keputusan ditentukan oleh pihak ketiga (lembaganya), dan berakhir juga pada kalah dan menang (win – lose solution) sehingga cara dengan arbitrase ini mulai ditinggalkan.
3.  Gelombang ke III
Perkembangan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang sebenarnya untuk mengatasi kebekuan dan kekakuan dalam penyelesaian sengketa  melalui litigasi, akan tetapi ternyata dalam pelaksanaannya arbitrase mengalami hambatan-hambatan yang hampir sama dengan litigasi. Lembaga arbitrase mengalami kebekuan dan kekakuan  karena cenderung juga besifat formalistis seperti halnya dengan litigasi dan ternyata biayanya pun juga sangat mahal. Di samping itu  dalam arbitrase putusan dilakukan oleh pihak ketiga yang menghasilkan juga win – lose solution (kalah – menang).
Dan sebaliknya percepatan  perkembangan dalam perdagangan yang mengarah kepada perdagangan bebas dan persaingan bebas perlu penyelesaian sengketa secara efisien  dan segera,  dengan memperhatikan budaya-budaya bisnis, oleh karena itu diperlukan adanya perubahan-perubahan dalam upaya hukum yang dilakukan melalui arbitrase maupun litigasi.
Masyarakat menganggap penyelesaian sengketa melalui litigasi atau arbitrase  sudah tidak memadai lagi. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka masyarakat bisnis mengambil inisiatif untuk memperkenalkan dan mengembangkan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution – ADR), dan cara ini dianggap yang paling cocok untuk menyelesaikan masalah sengketa dagang, berhubung denan itu untuk menggeser peran litigasi dan arbitrase, maka sejak tahun 1980 mulai berkembang penyelesaian melalui ADR.
Ciri-ciri ADR adalah sebagai berikut :
1.  Penyelesaian sengketa tidak memerlukan aturan-aturan formal.
2.  Penyelesaian  sengketa dapat segera diselesaikan
3.  Baiaya murah dan efisien
4.  Hasil yang diinginkan melalui ADR berisi penyelesaian sengketa untuk melangkah kedepan, bukan untuk mempermasalahkan masa lalu.
5.  Yang menangani penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada orang yang professional atau yang ahli dibdidangnya, tetapi keputusan ada pada pihak yang bersengketa sendiri (mandiri), meskipun bisa diserahkan pada pihak yang ahlinya taua professional.
6.  Penyelesaian sengketa didasarkan kepada win-win solution atau sama-sama menang/menguntungkan, dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
ADR didasarkan pada landasan filosofis yang sederhana, yaitu :
1.     Mau mendengar atau menerima kebaikan dari orang lain (sportif), serta mengakui kesalah dan kejelakan atau kekurangan dari diri sendiri.
2.     Berunding secara kooperatif demi menjalin hubungan masa sepan.
3.     Para pihak saling mengetahui dan  memahami  apa yang adil dan layak bagi mereka.
4.     Dalam hal tertentu, apabila diperlukan maka dapat memanfaatkan  pihak ketiga yang netral dan professional  sebagai mediator, sehingga penyelesaian sengketa dapat  dilaksanakan untuk mencapai kompromi tanpa adanya permusuhan dan emosi.
Berdasarkan ciri-ciri landasan filosofis di atas, maka justru di Amerika Serikat dalam dunia bisnis ternyata orang lebih suka untuk menyelesaiakan sengketa dagang  mereka melalui ADR, dengan demikian system ADR berkembang, terutama di Amerika Serikat.







DAFTAR PUSTAKA
 Harahap, Yahya   Arbitrse, Sinar Grafika, Jakarta,  2011
I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2009

Margono, Suyud, Penyelesaian Sengketa Bisnis : Alternative Dispute Resolution,  Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010.


No comments:

Post a Comment