Friday 20 January 2012

PAPER - KULIAH KRIMINOLOGI

Program Magister Ilmu Hukum

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAYA
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


MENANGGULANGI KORUPSI DI INDONESIA:

PENDEKATAN KRIMINOLOGI KRITIKAL

Robert Panjaitan

NPM: 2010 2025 2007

A. Latar Belakang

Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Sementara itu, Okokrim sebagaimana dikutip Petter Gottschalk berpendapat bahwa :

Corruption is defined as the giving, requesting, receiving, or accepting of an improper advantage related to a position , office, or assignment. The improper advantage does not have to be connected to a specific action or not-doing this action. It will be sufficient if the advantage can be linked to a person’s position, office, or assignment.

Corruption is to destroy or pervert the integrity or fidelity of a person in his discharge of duty, it is to induce to act dishonestly or unfaithfully, it is to make venal, and it is to bribe.[1]

Indonesia telah memiliki landasan hukum dan membuat lembaga untuk menanggulangi korupsi. Landasan hukum yan telah dibuat ialah:

- Undang-undang No. 3 Tahun 1971

- Undang-undang No. 31 Tahun 1999

- Undang-undang No. 20 Tahun 2001

- Undang-undang No. 30 Tahun 2002,

Sedangkan Lembaga yang telah didirikan antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 2002, kewenangan Komisi Pemberantas Korupsi meliputi tindak pidana yang meliputi :

a. Melibatkan aparat penega hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara,

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

Selanjutnya dengan Undang-undang No. 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi

1) Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

2) Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

3) Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism)

4) Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

Secara kelembagaan, dapat disebutkan bahwa KPK memiliki kewenangan dan fungsi yang sangat luas dengan otoritas yang tinggi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun kenyataannya, menurut data laporan KPK, tindak pidana Korupsi masih marak di Indonesia. Penyebarannya juga semakin luas melibatkan seluruh lembaga dan instansi yang ada baik Legislatif, Eksekutif, Judikatif (Tabel 1).

Tabel 1 : Perkara KPK Berdasarkan Instansi

No

INSTANSI

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

JUMLAH

1

DPR RI

7

10

7

24

2

Kementerian

Lembaga

1

5

10

12

13

13

16

70

3

BUMN

BUMD

4

2

5

7

18

4

Komisi

9

4

2

2

2

19

5

Pemerintah

Provinsi

1

1

9

2

5

4

22

6

Pemkab

Pemkot

4

8

18

5

8

43

JUMLAH

2

19

27

24

47

37

40

196

Sumber : KPK Laporan Tahun 2010

Dimensi baru Kejahatan dalam konteks Pembangunan, memperoleh sorotan tentang meningkatnya “penyalah gunaan kekuasaan” (abuse of power) oleh pejabat publik yang kemudian meluas dan dikenal sebagai “Korupsi Sistemik”, yang kadangkala dimaknai representasi kelembagaan negara, karenanya sering dikatakan pula “Korupsi Kelembagaan, sebagaimana terjadi di KPU, DPR, Departemen Agama, Departemen Kelautan, dan lain-lain[2]

Berdasarkan hasil penelitian terhadap beberapa negara seperti Muangthai, Malaysia, Australia yang dilakukan Andi Hamzah, sebagaimana dikutip Indriyanto Seno Adji memberikan masukan sebagai berikut :

Aktivitas yang independen dari Independent Commission Against Corruption (ICAC) seperti di Australia, Thailand (National Counter Corruption Commission) sangat menunjang keberhasilan pemberantasan korupsi, mengingat Komisi ini di Thailand dapat secara bebas melakukan penyidikan terhadap Perdana Menteri Thaksin (masih aktif sebagai Perdana Menteri saa itu!) yang didudga melakan tindak pidana korupsi. Political will secara komprehensif terhadap pemberantasan korupsi itu tidak harus datangnya dari Eksekutfi, tetapi lembaga Non-Eksekutif, seperti Legislatif maupun Judikatif, harus anggota memberikan respons yangsignifikan untuk menghasilkan pemberantasan korupsi yang maksimal tersebut. Independensi ini terlihat pada sistem pertanggungjawaban komisi ini yang langsung kepada parlemen (semacam Legislatif), bukan kepada Perdana Menteri (seperti Malaysia)[3].

Menurut Quah yang melakukan analisis efektivitas pemberantasan korupsi di Negara-negara Asia, ada harapan untuk memberantas korupsi (minimized). Negara Singapore dan Hongkong merupakan contoh keberhasilan upaya pemberantasan korupsi. Keberhasilan Singapore dapat diminimalkan apabila pemimpin politik memiliki komitmen menegakkan antikorupsi yang komprehensive dan terukur.[4]

Bagaimana tindakan yang efektif untuk menanggulangi korupsi di Indonesia?

Tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis penanggulangan korupsi di Indonesia dari sudut pandang teori kriminologi khususnya kriminologi kritikal. Korupsi merupakan tindakan kriminal.

B. Kriminologi dari Pandangan Sosiologis – Kriminologi Kritikal

Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu.

Wolfgang, Savitz dan Johnston sebagaimana dikutip Topo Santoso memberikan definisi kriminologi sebagai :

kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatanserta reaksi masyarakat terhadap keduanya[5].

Objek studi kriminologi meliputi :

a. Perbuatan yang disebut kejahatan

b. Pelaku kejahatan

c. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya.

Dalam khasanah kriminologi, terdapat beberapa aliran yang memiliki pendapat berbeda terhadap kriminologi. Selain aliran Yuridis (Hukum), terdapat aliran non Yuridis yang lebih dikenal dengan aliran Sosiologis. Salah seorang sarjana aliran Sosiologis ialah Thorsten Sellin sebagaimana dikutip Topo Santoso, mengemukakan bahwa suatu dasar yang lebih baik bagi perkembangan kategori-kategori ilmiah adalah dengan memberikan dasar yang lebih baik dengan mempelajari norma-norma kelakuan (conduct norms), karena konsep norma-norma perilaku yang mencakup setiap kelompok atau lembaga seperti negara serta merupakan ciptaan kelompok-kelompok normatif manapun, serta tidak terkurung oleh batasan-batasan politik dan tidak selalu harus terkandung dalam hukum.[6]

Kriminologi Kritikal

Menurut pendapat aliran kriminologi kritikal, antara lain Ian Taylor, Paul Walton dan Jack Young menyatakan bahwa adalah kelas bawah, “kekuatan buruh dari masyarakat industri”, yang dikontrol melalui hukum pidana dan para penegaknya, sementara “pemilik buruh-buruh” hanya terikat oleh hukum perdata yang mengatur persaingan antar mereka. Institusi ekonomi, kemudian merupakan sumber dari semua konflik, pertarungan antar kelas selalu berhubungan dengan distribusi sumberdaya dan kekuasaan, dan hanya apabila kapitalisme dimusnahkan maka kejahatan akan hilang.[7]

Pendekatan kriminologi kritikal lebih comprehensif dibandingkan dengan pendekatan klasik yang lebih menekankan pada aspek yuridis. Pendekatan kritikal yang meliputi akar masalah kejahatan dan melibatkan para penguasa seperti pemilik buruh-buruh dipandang memiliki relevansi dalam penanggulangan kejahatan (korupsi) di Indonesia.

C. Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa korupsi Indonesia sudah melibatkan Legislatif, Eksekutif, Judikatif dan para pengusaha baik lokal maupun transnasional. Dengan cakupan yang sangat luas, korupsi di Indonesia sudah merupakan persoalan sosial, bukan lagi hanya persoalan legalistik semata. Korupsi bermula dari kondisi sosial masyarakat dan berdampak negatif terhadap masyarakat itu sendiri.

Korupsi dan Kekuasaan

Korupsi di Indonesia tidak terlepas dari kekuasaan. Sejak Indonesia merdeka, kekuasaan menjadi suatu yang berharga dan prestise. Hal ini tidak mengherankan karena selama dijajah kolonial selama 350 tahun, rakyat Indonesia hidup di bawah tekanan (powerless).

Kemerdekaan membuka cakrawala baru sehingga hampir semua elemen bangsa masuk dalam kegembiraan sebagai orang merdeka. Kemerdekaan yang tersedia dengan latar belakang pendidikan yang rendah menjadi hambatan besar bagi seseorang untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan. Salah satu jalur yang bisa menjadi pilihan adalah melalui karir tentara. Tentara menjadi kebutuhan sebagai perangkat negara. Menjadi tentara tidak mensyaratkan tingkat akademik yang tinggi. Syarat tentara lebih diprioritaskan pada fisik. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa meskipun Indonesia sudah merdeka tahun 1945, namun masih terdapat perang lokal baik yang ditunggangi NICA (Sekutu) maupun oleh sempalan di daerah-daerah. Kondisi inilah yang menuntut negara baru membutuhkan putera-puteri untuk menjadi tentara, pasukan pembela negara.

Dalam perjalanannya, tentara menjadi elemen masyarakat yang dibanggakan karena terbukti setia membela negara. Hal ini menjadikan tentara sebagai warga kelas utama sampai pada pemerintahan orde baru.

Kekuasaan di masa orde baru relatif milik tentara sehingga rakyat sipil merasa tidak memiliki kesempatan untuk menjadi penguasa. Pandangan ini tidak seratus persen benar adanya karena banyak kalangan sipil yang masuk lingkaran kekuasaan. Namun mereka adalah putera-puteri bangsa yang memiliki prestasi akademik yang gemilang, terutama para alumni dari sekolah luar negeri. Kenyataan ini membuat masyarakat memiliki satu pandangan (opini publik) bahwa untuk menjadi lurah saja, harus melalui jalur tentara.

Reformasi bergulir dan berhasil menggulingkan penguasa order baru. Lahirlah sebuah harapan bagi siapapun melalui bendera demokrasi. Demokrasi yang diusung reformasi cenderung bebas melakukan apa yang mereka inginkan. Hal yang paling diinginkan dalam era reformasi tidak lain dari era sebelumnya, kekuasaan (power). Sayangnya, dalam era reformasi tidak berhasil melakukan perubahan terhadap akar masalah sejak era kemerdekaan dan era orde baru yaitu kekuasaan dapat diperoleh dengan jalur khusus. Dalam era reformasi, jalur yang dipakai memang tidak lagi tentara, tetapi wakil rakyat. Siapapun bisa menjadi wakil rakyat. Hal ini didukung pula oleh kelahiran otonomi daerah tahun 1999. Kekuasaan menjadi rebutan, sehingga banyak partai lahir.

Partai baru lahir memerlukan dana yang besar. Siapa yang punya dana dialah yang bisa masuk partai. Kembali seperti masa orde lama dan orde baru, rakyat selalu memilih jalan pintas yang tersedia untuk memasuki lingkaran kekuasaan, kali ini lewat jalur partai. Menjadi anggota partai menjadi trend. Siapa penyumbang partai yang paling besar, akan dijamin menjadi calon jadi sebagai wakil rakyat baik di tingkat Pusat maupun di daerah. Hasilnya, wakil rakyat terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki wawasan kebangsaan dan kenegaraan yang cukup. Namun karena mereka memiliki kekuasaan (super power), mereka berlindung di balik jas dan simbol negara, mereka lupa bahwa mereka sedang berada di tempat yang berbeda (salah).

Era reformasi melahirkan kelompok elit baru bahkan menggantikan elit lama. Elit lama berlindung di balik seragam tentara, sekarang mereka berlindung di balik sebutan “anggota dewan yang terhormat”. Tidak bisa dipungkiri sebagian mereka yang berkuasa di era sebelumnya masuk menjadi wakil rakyat.

Kegagalan era reformasi yang paling fundamental ialah tidak adanya persyaratan yang handal untuk dapat menduduki suatu kekuasaan pemerintahan khususnya Eksekutif dan Legislatif. Semuanya tergantung partai. Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, kekuasaan bisa dibeli dengan uang. Uang yang dipakai untuk membeli kekuasaan inilah yang menjadi faktor utama orang melakukan korupsi.

Korupsi dilakukan semula untuk merebut kekuasaan. Selanjutnya, untuk mempertahankan kekuasaan. Setelah berkuasa, hasil korupsi diperlukan untuk membeli keamanan dari kekuasaan baru (suksesi). Hal inilah yang menyebabkan pemberantasan korupsi melalui lembaga yang terkait dengan kekuasaan relatif tumpul.

Mengapa orang ambisi merebut kekuasaan? Secara ekonomi hal ini dapat dilihat dari jatah kue yang disediakan dalam negara ini. Indonesia kaya akan sumber daya alam yang nota bene secara konstitusi menjadi milik negara. Sejak Indonesia merdeka, otomatis negara memiliki kekayaan alam yang luar biasa melimpah. Kekayaan negara itu ditampilkan dalam wujud Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN dalam bentuk program pembangunan dan anggaran rutin merupakan sumber utama untuk mengisi kantong pribadi baik lewat jalur yang halal maupun jalur yang tidak halal.

Siapa yang memiliki kekuasaan, merekalah yang paling memiliki otoritas dan kewenangan untuk menentukan ke mana anggaran tersebut untuk dibelanjakan. Tentu saja, bagi seseorang yang sudah mengeluarkan uang untuk mendapatkan kekuasaan dia ingin agar uangnya kembali dengan jumlah yang berlipat.

Kekuasaan yang dibeli tentu tidak memiliki visi dan misi kenegaraan. Untuk menutupi kelemahan ini, penguasa menutupi dengan membeli gelar akademik. Tidak jarang para pejabat khususnya pemerintah daerah memiliki gelar akademik sarjana bahkan Pascasarjana.

Gejala ini menyebabkan persoalan baru karena dunia pendidikan jatuh ke tangan orang-orang yang mau membeli gelar. Lagi-lagi hal ini terjadi karena belum adanya persyaratan yang ketat bagi pejabat publik. Semua seolah-olah bisa dilakukan dengan uang.

Persoalan gelar ini merupakan hal klasik, karena sejak merdeka, Indonesia membangun suatu kebudayaan bahwa memiliki gelar lebih penting dan berbobot dibandingkan dengan memiliki kompetensi. Jadi meskipun setiap tahun banyak gelar yang diberikan, namun kompetensi yang diharapkan dalam persaingan global masih ketinggalan.

Pemberantasan korupsi menurut pengalaman para penegak hukum yang menanganinya, ternyata merupakan tindak pidana yang perlu diprioritaskan pemberantasannya. Hal tersebut didasari oleh pemikiran bahwa korupsi merupakan tindak kejahatan yang membawa kerugian bagi oran gbanyak dan akibatnya sangat berpengaruh dalam strukutr masyarakat, sebagaimana terkandung dalam konsep tentang korupsi yang dirumuskan masing-masing. Akan tetapi, kerugian ini tidak selalu dirasakan masyarakat karena pelakunya biasanya menggunakan beragam cara untuk menutupi hal tesebut. Pemberian hadiah, tawaran kesempatan, melibatkan pihak ketiga yang dapat melakukan intimidasi dilakukan pelaku untuk menutupi perbuatannya. Cara penanggulangan korupsi harus holistik, mencakup tindakan preventif, represif dan preemtif. Pembuatan aturan tidak cukup. Pemberantasan korupsi harus melibatkan semua unsur dalam masyarakat.[8]

Rekruitmen Sumber Daya Aparatur Negara

Persoalan yang paling klasik dalam negara Indonesia ini adalah proses rekruitmen bagi sumber daya aparat negara. Aparatur negara yang handal merupakan jaminan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik.

Aparatur negara yang bernaung di bawah Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) belum merupakan lingkaran kekuasaan pada saat proses rekruitmen. Jalur karir mereka yang akan menentukan apakah mereka dianggap mampu untuk masuk dalam kekuasaan.

Namun sayang, sejak proses rekruitmen sudah terjadi transaksi alias pungutan liar. Setelah masuk menjadi aparat, penempatan di departemen atau divisi bahkan daerah juga sudah terkontaminasi dengan transaksi (pungutan liar). Untuk menapaki jalur karir, juga tidak terlepas dari transaksi (pungutan liar).

Namun herannya, hampir semua orang tidak akan keberatan melakukan hal-hal itu sepanjang memenuhi dan terjamin keinginannya. Kondisi inilah yang menyebabkan istilah “setiap kursi di pemerintahan ada harganya”. Dampak dari hal ini, semua urusan administrasi akan berbeda harganya dari tarif yang sudah ditetapkan (regulasi). Kita lihat dari hal yang sederhana, urusan KTP, Passpor, SIM, dan surat-surat pengantar dari RT, Kelurahan, Kecamatan semua harus mengeluarkan biaya ekstra.

Untuk mengatasi persoalan korupsi tersebut, perlu komitmen pimpinan nasional seperti dilakukan pemerintah Singapura. Selain menegakkan hukum dalam pemberantasan korupsi, perlu juga dilakukan perbaikan kualitas (quality) melalui proses rekruitmen yang jelas dan terukur baik untuk Legislatif, Eksekutif dan Judikatif. Setiap jabatan negara diberikan reward bertaraf international. Singapura pada saat memberlakukan Program Anti Korupsi, pemerintah menaikkan gaji pejabat publik setara dengan dua kali pejabat di Amerika Serikat. Kenaikan gaji diberikan kepada yang profesional bukan kepada jabatan (ex-officio).

Untuk mencegah merebaknya korupsi, harus dimulai dari hal-hal sederhana di tingkat bawah seperti kelurahan. Harus ada jaminan bahwa dalam pelayanan publik benar-benar tidak ada biaya ekstra di luar tarif yang ditentukan. Pencantuman tarif juga dilakukan dengan kalkulasi yang sehat.

Edukasi anti korupsi juga perlu diprogramkan. Masa orde baru, hampir semua pelajar mengetahui Pedomana Penghayatan Pengamalan Pancasial (P4). Program ini merupakan pendekatan sosial yang sebetulnya berhasil. Namun menjadi tidak efektif manakala kenyataan di lapangan bahwa masih terjadi pungutan liar dan pembelian kursi baik dalam memasuki dunia kerja di pemerintahan.

Program edukasi anti korupsi dengan mengacu pada program P4 bisa dipertimbangkan. Namun prioritas bukan pada jam terbang mengikuti penataran, tapi seberapa banyak kelompok yang dibangun dalam masyarakat untuk memiliki komitmen tidak melakukan korupsi. Pembentukan kelompok dalam masyarakat relatif lebih mudah dan biaya murah. Mereka dibangun dalam satu kelompok dan dilakukan pembelajaran. Setelah mereka memahami dan menjadi teladan dalam program itu, mereka diminta untuk membangun kelompok yang baru. Membangun jaringan ini mudah dilakukan karena hampir semua masyakarat sudah mengenal istilah multilevel marketing atua member get member.

Untuk mendorong kegiatan tersebut, pemerintah dapat melakukan kerjasama dengan dunia usaha dalam membangun kelompok dan jaringan terutama untuk mendukung sarana dan prasarana edukasi.

D. Kesimpulan dan Saran

1. Korupsi di Indonesia sudah masuk pada semua elemen negara Legislatif, Eksekutif, Judikatif.

2. Pemberantasan Korupsi melalui pendekatan legalistik dengan merumuskan undang-undang tidak cukup, tapi perlu tindakan yang lebih komprehensip. Diperlukan alternatif penanggulangan melalui pendekatan sosial.

3. Komitmen pimpinan nasional menjadi kunci utama dalam penanggulangan korupsi.

4. Program pendidikan anti korupsi model P4 masa orde baru perlu dipertimbangkan sebagai upaya penanggulangan korupsi dari sisi pencegahan.

5. Untuk lebih efektifnya penanggulanan korupsi, program pencegahan melalui edukasi perlu digalakkan. Edukasi dalam bentuk membangun jejaring kelompok merupakan alternatif pendekatan sosial. Pendekatan ini lebih mudah mengingat masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah multilevel marketing dan member get member.


Daftar Pustaka


[1]Petter Gottschalk, Categories of Financial Crime, Journal of Financial Crime, Vol. 17. No. 4, 2010, hlm.443

[2]Indriyanto Seno Adji, Polemik Korupsi Sistemik: Dalam Satya Arinanto & Nunik Triyanti, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009, hlm. 176

[3]Ibid, hlm.167

[4]Jon S.T Quah, Corruption in Asian Countries : Can It Be Minimized?, Public Administration Review; Nov/Dec 1999, hlm. 496

[5]Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta, Rajawali Pers, 2010, hlm.12

[6]Ibid, hlm.15

[7]Ibid, hlm.109

[8]Lidwina Inge M, Robertur De Deo; Sugeng W, Kisah Orang Dalam: Sisi Empirik Pemberantasan Korupsi; Dalam Antonius Cahyadi & Donny Danardono (Ed.): Sosiologi Hukum Dalam Perubahan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,2009, hlm.73