Friday 20 January 2012

KAJIAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

TANTANGAN DALAM PENEGAKAN 
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA
(KAJIAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA)


  1. Latar Belakang
“Money laundering”, menurut Jeffrey Robinson dalam tulisannya yang berjudul The Laundering, “is all about sleight of hand. It is a magic trick for wealth creation. It is, perhaps, the closet anyone has ever come to alchemy.”
Berkenaan dengan sejarah istilah money laundering, Jeffrey Robinson mengemukana sebagai berikut :
The lifeblood of drug dealers, fraudsters, smugglers, kidnappers, arms dealers, terrorist, extortionists and tax evaders, myth has it that the term was coined by Al Capone, who, like his arch rival George ‘Bugs’ Moran, used a string of coin-operated Laundromats scatted around Chicago to disguise his revenue from gambling, prostitution, racketeering and violation of the Prohibition laws.
Namun, menurut Jeffrey Robinson uraian tersebut di atas hanyalah isapan jempol belaka. Dikemukakan olehnya: “It is aneat story – but not true”.
Cerita itu tidak benar, karena, masih menurut Jeffrey Robinson dalam tulisannya yang sama:
Money Laundering is called what it is because that perfectly describes what takes place – illegal, or dirty, money is put through a cycle of transactions, or washed, so that it come out the other end as legal, or clean, money. In other words, the source of illegally obtained funds is obscured trough a succession of transfers and deals in order that those same funds can eventually be made to reppear as legitimate income.
Money Laundering” sebagai sebutan sebenarnya belum lama dipakai. Penggunaan pertama kali di surat kabar dikaitkan dengan pemberitaan mengenai skandal Watergate di Amerika Serikat pada tahun 1973; sedangkan penggunaan sebutan tersebut dlama konteks pengadilan atau hukum muncul untuk pertama kalinya tahun 1982 dalam perkara US v $4,255,625.39 (1982) 551 F Supp. 314. Sejak itu, istilah tersebut telah diterima dan digunakan secara luas diseluruh dunia[1].
Pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia telah dimulai dengan adanya Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang tersebut telah menyatakan bahwa perbuatan pencucian uang merupakan suatu tindak pidana. Hal baru dari Undang-undang tersebut ialah lahirnya lembaga baru bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Perjalanan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tersebut setahun kemudian diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Selang 8 tahun kemudian, DPR mensahkan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU).
Permasalahan pencucian uang masih marak terjadi. Data PPATK, sejak berdiri hingga Desember 2011, ada sekitar 10,2 juta laporan transaksi keuangan tunai mencurigakan. Laporan tersebut diterima PPATK dari 396 penyedia jasa keuangan (PJK). Sebanyak 99,8 persen berasal dari PJK perbankan dan selebihnya dari PJK nonbank.
Tahun
LTKT
2007
2.360.950
2008
2.058.140
2009
782.270
2010
1.461.883
2011
1.526.997
Kumulatif
10.158.420
Sumber: PPATK[2]
LTKT - Laporan Keuangan Transaksi Tunai
Berdasarkan informasi tersebut terdapat penurunan transaksi tunai yang mencurigakan namun belum signifikan. Hal itu mengindikasikan bahwa kebijakan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan regulasi yang selama ini telah diterbitkan belum efektif.
Menurut beberapa pendapat para ahli, bahwa pemberantasan tindak pidana khususnya tindak pidana pencucian uang relatif mengalami kesulitan karena beberapa faktor antara lain adanya keterkaitan kejahatan antar negara (transnasional) dan perubahan globalisasi yang relatif cepat.
Dalam Resolusi tentang “ Corrupion in government” yang dterima Kongres PBB ke-8 mengenai “ The Prevention and the Treatment of Offender” di Havana (Cuba) tahun 1990, sebagaimana dikutip Barda Nawawi, antara lain menyatakan bahwa [3]:
Korupsi di kalangan pejabat publik (“corrup activities of public official”) :
· Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah (‘can destroy the potensial effectiveness of all types of govermental programmes”)
· Dapat mengganggu atau menghambat pembangunan (‘hinder development”
· Menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat (‘victimize individuals and groups”)
Ada keterkaitan erat antara korupsi dan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi, dan pencucian uang haram (‘money laundering”).
Selain itu fungsi dan peranan lembaga Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) masih relatif lemah.
  1. Rumusan Masalah
Untuk melihat efektifitas Undang-undang terkini yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 2010 penulis akan melakukan pengamatan dan observasi dengan topik TANTANGAN DALAM PENEGAKAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA dengan perumusan masalah :
a. Mengapa perbuatan tindak pidana pencucian uang di Indonesia masih relatif banyak?
b. Mengapa perubahan regulasi sebagai kebijakan hukum pidana yang dibuat belum mampu menghilangkan tindak pidana pencucian uang?
c. Bagaimanakah perumusan tindak pidana terhadap perubahan sosial masyarakat (globalisasi) yang relatif cepat?
  1. Kerangka Teori dan Konseptual
Upaya atau kebijakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan criminal (criminal policy). Kebijakan criminal tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan social (social policy) yang terdiri dari kebijakan untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan untuk perlindungan masyakarat (social defence policy).
Dengan demikian, apabila penanggulangan kejahatan (politik criminal) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) maka kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya pada tahap kebijakan yudikatif harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebjikana social itu berupa social wlfare dan social defence.
Skema [4].
Dari skema tersebut dapat dijelaskan hal-hal pokok :
1. Pencegahakan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal) kesejahteran masyarakat dan perlindungan masyarakat
2. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral ada keseimbangan sarana penal dan non penal.
3. Dari sudut politik criminal kebijakan paling strategis melalui sarana non penal karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan atau kelemahan antara lain :
- Bersifat fragmentaris, tidak structural funsional
- Simptotik, tidak eliminative
- Individualistic atau offender oriented, tidak victim oriented
- Harus didukung infrastructure dengan biay a tinggi.
4. Dalam melakukan sarana penal, terdapat beberapa tahap yang harus dilalui yaitu :
- Tahap formulasi kebijakan,
- Tahap aplikasi
- Tahap eksekusi
Dalam tahap formulasi, upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi juga pembuat hukum dalam hal ini legislative. Kebijakan legislative merupakan tahap paling strategis dari penal policy. Jika terjadi kesalahan atau kelemahan dalam perumusan perundangang-undangan akan berdampak pada terhambatnya upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap berikutnya.
Strategi dasar penanggulangan kejahatan diarahkan pada upaya meniadakan (eliminasi) atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kuasa dan kondisi yang menjadi factor kriminogen untuk terjadinya kejahatan. Jadi diperlukan pendekatan integral dalam arti :
- Tidak hanya strategi penanggulangan simptotik dan represif lewat pembaruan dan penegakan hukum tetapi juga penanggulangan kausatif dan preventif
- Tidak hanya melakukan law reform tetapi juga social economic, political, cultural, moral and administrative reform
- Tidak hanya melakukan pembaharuan satu perundang-undangan, tetapi juga semua perundang-undangan yang member peluang untuk terjadinya kejahatan. [5]
Menurut Ibrahim F.I. Shihata sebagaimana dikutip Barda Nawawi bahwa pendekatan integral atau komprehensif antara lain ;
Attempts to combat corruption may have a greater chance of successs if they recognize from the outset the complexity of this phenomenon and the impossibility in deffernt social disciplines….
It should address the economi, poiltical, social, legal, administrative and moral aspects of the phenomenon and recognize the clos linkages among these aspects.
Ibrahim Shihata juga menjelaskan upaya penanggulangan korupsi (efforts to combat corruption harus ditempu melalui econic reform, legal and judicial reform, administrative (civil service) reform, other institutional reform, moral reform, international measures.[6]
Tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanski pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik criminal dalam arti keseluruhannnya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Hal itu sejalan dengan kesimpulan seminar Kriminologi ke- 3 tahun 1976 yang merumuskan sebagai berikut :
Hukum Pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitasi) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.[7]
Suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non-penal itu ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu.
Sehubugan dengan itu, Radzinoowics sebagaimana dikutip Muladi[8] menyatakan bahwa :
Criminal policy must combine the various preventive activities and adjust them so as to form a single comprehensive machine and finally coordinate the whole into an organized system of activity.
Kebijakan krimimal yang integral diharapkan mencapai social defence.
Prof Sudarto mengemukakan bahwa kebijakan kriminal harus dilakukan pula dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial dengan memperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut [9] :
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering? Tidak ada atau belum ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara yang telah maju dan negara-negara dari dunia ketiga (sebagaimana ternyata dari undang-undang tentang pencucian uang negara-negara itu), dan lembaga-lembaga international masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Dari beberapa definisi dan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan money laundering, dapat disimpulkan bahwa :[10]
Pencucian Uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang halal.
Secara sederhana, proses pencucian uang dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan yakni placement, layering dan integration.[11]
a. Placement merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan misalnya dengan pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening simpanan bank, atau dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan (cheques, money orders) yang akan ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di rekening bank yang berada di lokasi lain. Placement dapat dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah. Proses placement ini merupakan titik paling lemah dari perbuatan pencucian uang.
b. Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau menyembunyikan sumber uang haram tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
c. Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu legitimate explanation bagi hasil kejahatan. Di sini uang yang dicuci melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Proses integration ini terjadi apabila proses layering berhasil dengan baik.
Objek pencucian uang semula ditujukan kepada perdagangan narkoba (drug trafficking) dan kejahatan keuangan yaitu kecurangan berkaitan dengan kecurangan bank (bank fraud), antara lain berkaitan dengan kartu kredit (credit card fraud), investasi (investment fraud), pembayaran uang dimuka (advance fee fraud, penggelapan (embezzlement).[12]
Sejalan dengan perkembangannya semakin meluas pada transaksi yang bersifat transnasional.
  1. Pembahasan
Menurut Romli Sasmita[13], dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010 terdapat beberapa ketentuan baru yang perlu mendapat perhatian para pemangku kepentingan seperti pengusaha dan kalangan perbankan. Ketentuan baru tersebut berbeda dengan UU lama (UU No 15 Tahun 2002 yang diubah dengan UU No 25 Tahun 2003).
Perbedaannya pertama adalah titel Undang-undang. UU lama secara teoretis hukum (doktrin) merupakan lex spesialis systematic, yaitu UU administratif (bersifat regulatif) yang diperkuat dengan sanksi pidana. Adapun dengan titel baru (UU PPTPPU), secara teoretis (doktrin) mencerminkan UU pidana khusus (lex specialis) yang bersifat preventive measure dan repressive measures dalam satu paket. Konsekuensi perubahan titel adalah UU PPTPPU menempatkan TPPU sebagai tindak pidana khusus sehingga memerlukan perhatian, sikap, dan tindakan khusus dengan tujuan menghilangkan sumber dan operasional pencucian uang di Indonesia.
Perbedaan kedua, akibat dari perbedaan pertama, UU PPTPPU 2010 telah dengan sangat berani mendelegasikan wewenang publik (bersifat projustitia) kepada sektor privat, yaitu Lembaga Penyedia Jasa Keuangan (LPJK), termasuk perbankan, untuk melaksanakan “penundaan transaksi” (suspension of transaction) terhadap seseorang nasabah untuk paling lama 5 (lima) hari.
Perbedaan ketiga, UU PPTPPU telah memberikan wewenang kepada penyidik tindak pidana asal (lazimnya penyidik pegawai negeri sipil/PPNS ) di bawah koordinasi PPATK untuk melakukan penyidikan TPPU yang berkaitan dengan tindak pidana asalnya (misalnya tindak pidana pabean, imigrasi).
Pemberian wewenang terhadap penyidik tindak pidana asal (PPNS) sudah tentu akan merepotkan dunia usaha, terutama yang bergerak di bidang ekspor dan impor, karena mereka akan berhadapan dengan petugas kepabeanan dan perpajakan selain Polri, Kejaksaan, KPK, dan BNN. Perubahan keempat UU PPTPPU adalah ketentuan tentang rahasia bank dalam hal terdapat “transaksi keuangan yang mencurigakan” dapat dikesampingkan, bahkan sejak proses penyidikan sampai pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Pembukaan rekening bank seseorang yang dicurigai memiliki transaksi keuangan tersebut merupakan mandatory obligation, tidak dapat ditolak oleh lembaga penyedia jasa keuangan maupun oleh nasabah yang bersangkutan. Perubahan kelima, UU PPTPPU memberikan wewenang kepada PPATK untuk melakukan tindakan penghentian sementara transaksi selama 5 hari dan dapat diperpanjang sampai dengan 15 hari. Jadi total waktu di mana seseorang (yang dicurigai) tidak dapat melakukan transaksinya adalah 25 (dua puluh lima) hari. Perubahan keenam, perintah pemblokiran rekening tersangka/terdakwa dibatasi lamanya sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sehingga total waktu penundaan, penghentian sementara transaksi sampai pada pemblokiran, adalah 55 (lima puluh lima) hari.
Ketentuan UU PPTPPU tidak jelas membedakan konsekuensi hukum antara tindakan penundaan transaksi, penghentian sementara, dan pemblokiran kecuali hanya mengatur siapa yang berwenang dan berapa lamanya, sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip due process of law dan transparansi serta akuntabilitas tidak diatur secara terperinci sehingga tidak ada due diligence of power terhadap kinerja lembaga terkait indikasi pencucian uang. Perubahan ketujuh, UU PPTPPU memberikan wewenang kepada PPATK untuk meminta keterangan kepada pihak pelapor (LPJK) dan pihak lain terkait dugaan TPPU.
Ketentuan ini mencerminkan perubahan fungsi PPATK dari fungsi administratif kepada fungsi penegakan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga PPATK bukan hanya supporting unit terhadap Polri dan kejaksaan, melainkan telah merupakan bagian atau lembaga tersendiri dalam sistem peradilan pidana (penegakan hukum) di Indonesia. Dari perspektif mikro pencegahan dan pemberantasan TPPU, UU No 8 Tahun 2010 ini telah menggambarkan kemajuan pesat dan komitmen politik pemerintah Indonesia dalam ikut serta melaksanakan ketertiban dan keamanan internasional khusus dari tindak pidana ini. Namun, dalam perspektif makro sistem ekonomi nasional dan langkah pemerintah untuk meningkatkan investasi domestik, terutama dari investor asing, keberadaan UU ini bisa menjadi kontraproduktif.
Ada beberapa faktor penyebab dari masalah kontra produktif ini.
Pertama, sistem birokrasi di Indonesia sangat lemah dalam segi manajemen administrasi, koordinasi, dan pengawasan pelaksanaan tugas yang dibebankan oleh undang-undang.
Kedua, sistem birokrasi di Indonesia masih sangat lemah dari sisi profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas sehingga potensial muncul penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ketiga, UU ini tidak menyediakan sarana hukum yang memadai untuk melakukan pencegahan terhadap kemungkinan moral hazard yang akan terjadi dalam implementasi UU ini.
Keempat, sistem birokrasi di Indonesia tidak berhasil dan tidak pernah berhasil menggunakan prinsip stick and carrot dan merrit sytem yang benar dalam langkah reformasi birokrasi sejak 1998 yang lampau.
Kelima, Indonesia merupakan tempat strategis dalam peta politik global baik dari aspek ekonomi internasional, politik internasional dan keamanan maupun pertahanan regional. Ketiga aspek tersebut memerlukan kekuatan ekonomi nasional dan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan serta kewaspadaan nasional yang tinggi dari para pengambil kebijakan.
Perubahan-perubahan dan sekaligus kelemahan dari UU PPTPPU 2010 di atas merupakan stumbling block yang akan kontraproduktif dari ketiga aspek tersebut jika tidak segera dikeluarkan peraturan pemerintah atau sekurang-kurangnya peraturan Kepala PPATK untuk mengantisipasi kemungkinan moral hazards dalam implementasi UU tersebut. Solusi ini semakin penting mengingat iklim dunia usaha di Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan kesungguhan menciptakan good corporate governance, persaingan usaha tidak sehat atau rentan terjadi suap di sektor publik seperti diatur dalam Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003.
Kekhawatiran ini juga mengajak kita semua merenungkan bahwa globalisasi sebagai ideologi masyarakat internasional dewasa ini tidak memberikan kemakmuran yang sama antara negara maju, khususnya pengusung konsep globalisasi, dan negara berkembang.
Terhadap sistem pemidanaan dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010 disampaikan hal-hal sebagai berikut :
Pasal 2
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a. korupsi,
b. penyuapan
c. narkotika
d. psikotoprika
e. penyelundupan tenaga kerja
f. penyelundupan migran
g. di bidang perbankan
h. di bidang pasar modal
i. di bidang perasuransian
j. kepabeanan
k. cukai
l. perdagangan orang
m. perdagangan senjata gelap
n. terorisme
o. penculikan
p. pencurian
q. penggelapan
r. penipuan
s. pemalsuan uang
t. perjudian
u. prostitusi
v. di bidang perpajakan
w. di bidang kehutanan
x. di bidang lingkungan hidup
y. di bidang kelautan dan perikanan
z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Pasal 3
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak Pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak Pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
Pasal 5
(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Perumusan pidana denda dalam Pasal 3-5 yang cukup tinggi secara kumulatif, yang diperkirakan tidak efektif. Pidana penjara juga relatif cukup tinggi (5-20) tahun diperkirakan tidak efektif. Meskipun dalam Pasal 8 disebutkan bahwa :
Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun 4 (empat) bulan.
Hal ini dikuatirkan tidak membawa pengaruh bagi terpidana karena tanpa membayar denda dia hanya dikenakan pidana kurungan 1 tahun 4 bulan.
Melumpuhkan korporasi dengan mencantumkan pidana tambahan pencabutan izin usaha atau pemburan korporasi sulit untuk diimplementasikan. Hal tersebut terutama dikarenakan organisasi bersifat multi jaringan dan berada di berbagai negara (transnasional). Bahkan ada kemungkinan organisasi merupakan organisasi gelap (underground organization).
Dalam pasal 67 UU No. 8 Tahun 2010,
“ dalam hal tidak ada orang dan atau pihak ketiga yang mengjaukan keberatan dalam waktu 20 (duapuluh) hari sejak tanggal penghentian sementra Transksi, PPATK menyerahkan penangana Harta Keakyaan yang diketahui atau patut didudga merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan”
Ketentuan pasal 67 tersebut, merupakan salah satu penghambat dalam pecegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Proses pemeriksaan terhadap suatu transaksi dan proses menetapkan transaksi dimaksud menjadi Transaksi Keuangan Mencurigakan memerlukan sumber daya dan energi serta waktu yang relatif banyak.
Setelah PPATK memiliki bukti yang cukup dan meyakini bahwa transaksi merupakan TKM, maka PPATK menyerahkan kasus tersebut ke penyidik.
Meskipun secara data dan fakta dokumen PPATK dapat melaksanakan serah terima dokumen, namun proses yang terjadi selama menelusuri kasus tersebut akan menjadi hilang saat kasus dialihkan kepada penyidik. Hal ini terjadi karena penyidik tidak dilibatkan sejak awal.
Penyidik sendiri memerlukan waktu untuk mendalami kasus tersebut karena masih terbuka kemungkinan bahwa dugaan sebagai TKM tidak sepenuhnya besar. Bahkan tidak mungkin bahwa pihak penyidik melakukan set back atau penelusuran ulang sehingga meyakini proses yang dilakukan sebelumnya sudah sesuai dengan sistem dan prosedur dalam penyidikan.
Upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang akan lebih efektif dengan adanya perundang-undangan mengenai pembuktian terbalik dan keharusan pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara secara terbuka dan terkini. Hal ini untuk mencegah seberapa besar transaksi yang dimiliki penyelenggara negara.
Pemalsuan identitas juga merupakan salah satu hambatan dalam menelusuri transaksi yang dilakukan dalam sistem pembayaran baik melalui perbankan maupun non perbankan antara lain asuransi dan jasa keuangan lainnya.
Kasus perusahaan Nasaruddin yang konon berjumlah ratusan, mengindikasikan bahwa peraturan yang terkait dengan pendirian suatu perusahaan belum mendukung pencegahakan transaksi pencucian uang. Hal ini terindikasi dari banyaknya jumlah perusahaan yang notabene berdampak pada banyaknya rekening yang dimiliki seseorang dan juga banyaknya identitas yang dipakai.
  1. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan :
a. Tindak pidana Pencucian uang masih relatif besar di Indonesia. Kurang terintegrasinya perundang-undangan yang dibuat berdampak pada kurangnya koordinasi. Koordinasi yang lemah berdampak pada lemahnya penerapan hukum (law enforment).
b. Perubahan undang-undang mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan komitmen politik Indonesia terhadap dunia internasional, namun dalam tataran mikro, bersifat kontraproduktif dengan faktor antara lain lemahnya koordinasi sistem birokrasi baik dari sisi manajemen, pengawasan maupun profesionalisme dan integritas.
c. Pemberian wewenang terhada penyidik PNS akan menambah birokrasi ekspor impor karean merek harus berhadapan dengan petugas pabean, perpajakan selain Polri, Kejaksaan, KPK dan BNN. Selain itu, pemberian wewenang untuk meretas rahasia bank berpotensi untuk melakukan tindakan moral hazard. Di sisi lain, undang-undang ini tidak memberikan sarana hukum yang memadai untuk mencegah tindakan moral hazard.
d. Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan tindak pidana khusus sehingga memerlukan perhatian, sikap dan tindakan khusus dengan tujuan menghilangkan sumber dan operasional pencucian uang di Indonesia.
e. Proses penyidikan dalam tindak pidana pencucian uang yang sejak awal tidak melibatkan penyidik akan menghambat proses karena akan terjadi proses ulang dalam penyidikan.
f. Perubahan masyarakat seiring perubahan global, belum mampu diakomodir dalam regulasi. Hal ini juga terlihat dari relatif banyaknya (A to Z) objek tindak pidana yang masing-masing memiliki perundangan tersendiri. Hal ini menimbulkan kurang efektifnya lembaga yang ditugasi dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Perkembangan global juga mengakibatkan kejahatan pencucian uang memiliki jaringan yang luas bahkan antar negara (transnasional) dimana masing-masing negara memiliki konsep hukum yang berbeda-beda.
Saran :
b. Koordinasi lembaga yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang menghendaki disusunya suatu perundang-undangan yang lebih komprehensif.
c. Kerjasama internasional dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang dapat diefektifkan dengan sinkronisasi tindak pidana lain seperti korupsi.


Daftar Pustaka



[1] Sjahdeni, Journal Hukum Bisnis, Volume 22 No. 3 Tahun 2003, hal. 6-7
[3] Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum PIdana, hal.97-98
[4] Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, 2010 hal 78
[5] Barda Nawawi, Ibid, hal 77-79
[6] Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, 2010 , hal. 71
[7] Muladi, Teori-teori dan Kebijakan PIdana, 2010 , hal 91-92
[8] Muladi, Ibid, hal 159
[9] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, 1986, hal 36-39
[10] Sjahdeni, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, 2004, hal 1
[11] Lihat Penjelasan Umum UU No. 15 Tahun 2002.
[12] Sutan Syahdeni, Ibid, 2004, hal 9

No comments:

Post a Comment