Saturday 20 July 2013

Naskah Akademik RUU TPPU 2010


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dengan sangat terang menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pembukaan (Preambule) UUD 1945 tersebut mengandung banyak dimensi antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional.
Walaupun bangsa Indonesia sudah berdaulat sejak 60 tahun lalu, namun fakta menunjukkan bahwa dalam perkembangannya masih menghadapi berbagai permasalahan mendasar, antara lain tingginya angka kemiskinan dan pengangguran yang menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi, serta lemahnya penegakan hukum. Dalam kondisi seperti ini, apabila praktik pencucian uang tidak segera dicegah dan diberantas maka hampir dapat dipastikan bahwa perekonomian nasional di masa mendatang akan semakin terpuruk.

KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG - PENDAHULUAN




Bab I 
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dengan sangat terang menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pembukaan (Preambule) UUD 1945 tersebut mengandung banyak dimensi antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional.

Bab I PENDAHULUAN - KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


Bab I 
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dengan sangat terang menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pembukaan (Preambule) UUD 1945 tersebut mengandung banyak dimensi antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional.
Walaupun bangsa Indonesia sudah berdaulat sejak 67 (enam puluh tujuh ) tahun lalu, namun fakta menunjukkan bahwa dalam perkembangannya masih menghadapi berbagai permasalahan mendasar, antara lain tingginya angka kemiskinan dan pengangguran yang menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi, mengakibatkan banyak terjadi kejahatan terutama dalam era globalisasi yang cenderung perekonomian mencari keuntungan yang sebesar-besarnya,  serta lemahnya penegakan hukum. Dalam kondisi seperti ini, apabila praktik pencucian uang tidak segera dicegah dan diberantas maka hampir dapat dipastikan bahwa perekonomian nasional di masa mendatang akan semakin terpuruk.
Beberapa tahun belakangan ini, kecenderungan perkembangan ekonomi makro Indonesia menunjukkan perkembangan ke arah perbaikan khususnya di bidang moneter yang ditandai dengan stabilnya nilai tukar dan penurunan tingkat bunga. Namun demikian dari sisi ekonomi mikro, kebijakan ini belum sepenuhnya bisa dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku pasar khususnya perbankan sebagai lembaga intermediasi. Hal ini diperparah dengan lambannya pertumbuhan di bidang investasi baik domestik maupun internasional. Kondisi seperti ini mengakibatkan sektor rill belum bergerak sesuai yang diharapkan. Implikasi selanjutnya adalah rendahnya penyerapan tenaga kerja dan turunnya pendapatan perkapita masyarakat, yang berimplikasi pula pada permasalahan sosial-kemasyarakatan seperti meningkatnya tindak pidana.
Dalam bidang penegakan hukum, banyak pihak mengakui bahwa upaya penegakan hukum di negara kita masih belum memenuhi harapan, bukan hanya karena profesionalisme aparat penegak hukum yang masih perlu dipertanyakan tetapi juga, apakah perangkat peraturan perUndang-Undangan yang ada telah memadai serta tersedianya sarana dan prasarana pendukung.
Beberapa jenis tindak pidana yang saat ini masih menjadi perhatian utama Pemerintah adalah tindak pidana korupsi, illegal logging, dan terorisme serta narkoba. Hal ini tidak terlepas dari dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut antara lain dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana tersebut bukan hanya menjadi dominasi aparat penegak hukum tetapi sudah memerlukan peran aktif semua unsur seperti sektor swasta dan pemerintah yang lingkupnya bukan hanya domestik tetapi sudah mengglobal. Kendati berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah baik sendiri maupun bersama-sama dengan negara lain, namun hasilnya masih belum memuaskan.
Sebagian besar tindak pidana yang terjadi khususnya korupsi, illegal logging, dan narkoba pada dasarnya bermotifkan ekonomi. Tanpa ada kepentingan ekonomi, tindak pidana tersebut tidak akan terjadi. Demikian pula halnya terorisme, aksi-aksi terorisme tidak mungkin dilakukan apabila tidak terdapat pendanaan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Oleh karena itu, menjadi hal yang cukup penting dalam konteks memupus motivasi seseorang melakukan tindak pidana melalui pendekatan pelacakan, pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset hasil tindak pidana. Seseorang ataupun kejahatan terorganisir dengan sendirinya akan menjadi enggan atau tidak memiliki motivasi untuk melakukan suatu perbuatan pidana apabila hasil perbuatan pidana tersebut dikejar dan dirampas untuk negara. Pendekatan inilah yang sering disebut dengan “strategi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang” (anti-money laundering strategy).
Di satu sisi, pelaksanaan rezim anti pencucian uang secara efektif dapat membantu menciptakan stabilitas sistem keuangan karena lembaga keuangan dapat terhindar dari berbagai risiko seperti risiko hukum, reputasi, terkonsentrasinya transaksi dan likuiditas sehingga mampu melaksanakan fungsinya secara efektif pula. Di sisi lain, pelaksanaan rezim anti pencucian uang tersebut juga diyakini dapat menurunkan angka kriminalitas karena pelaku tindak pidana tidak lagi memiliki motivasi untuk mengulangi perbuatannya dan hasil perampasan tindak pidana dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pendekatan rezim anti pencucian uang yang dilaksanakan secara efektif, bukanlah suatu hal yang mustahil dilakukan. Sebaliknya, kegagalan dalam mencegah dan memberantas pencucian uang akan berdampak sangat buruk pada sektor keuangan dan penegakan hukum.
Sebagaimana diketahui, bahwa melalui aktifitas pencucian uang, para pelaku kejahatan dapat menyembunyikan asal-usul uang atau harta kekayaan dari hasil kejahatan secara bebas karena uang haram tersebut seolah-olah tampak berasal dari suatu kegiatan yang sah atau “halal”. Dalam perkembangannya, modus pencucian uang semakin hari semakin kompleks dan canggih seiring dengan kemajuan teknologi informasi, khususnya di bidang perbankan dan keuangan. Pelaku pencucian uang selalu berusaha untuk menghindari pelacakan harta hasil kejahatannya oleh aparat penegak hukum dengan memanfaatkan kelemahan peraturan perUndang-Undangan yang ada.
Beberapa dampak negatif dari aktifitas pencucian uang seperti tersebut di atas  menjadi alasan mengapa praktik pencucian uang perlu dikriminalisasi. Bahkan tindak pidana pencucian uang dewasa ini secara universal telah digolongkan sebagai suatu tindak pidana yang biasa disebut kejahatan “kerah putih” (white collar crime) dan juga merupakan kejahatan lintas batas negara (transnational crime).[1]
            Sesuai UN Convention Against Transnational Organized Crime pada tahun 2000 (Palermo Convention), cakupan beberapa bentuk kejahatan dalam kaitan dengan transnational crimes untuk masing-masing Negara yurisdiksi ataupun lembaga-lembaga kerjasama multilateral adalah sebagai berikut[2] :
a.       Kejahatan dengan hukman 4 tahun atau lebih (Pasal 2-b)
b.      Keterlibatan dalam segala bentuk kejahatan transnasional (Pasal 5)
c.       Money Laundering (Pasal 6)
d.      Korupsi (Pasal 8)
e.       Kejahatan Peradilan (Pasal 23)
Di[N1]  kawasan Asia Tenggara, Negara-negara anggota ASEAN menyepakati tindak pidana yang harus diberantas  melalui kerjasama antar negara yang mencakup[3] :
a.       Terorisme (terrorism)
b.      Pencucian uang (money laundering)
c.       Penyelundupan narkoba (drug trafficking)
d.      Penyelundupan senjata (arms smuggling)
e.       Pembajakan di laut (sea piracy)
f.       Kejahatan melalui internet ( cyber crime)
g.      Penyelundupan manusia (trafficking in person  especially women and children)
h.      Kejahatan ekonomi internasional ( international economic crime).

Money Laundering” sebagai sebutan sebenarnya belum lama dipakai. Penggunaan pertama kali di surat kabar dikaitkan dengan pemberitaan mengenai skandal Watergate di Amerika Serikat pada Tahun 1973; sedangkan penggunaan sebutan tersebut dalam konteks pengadilan atau hukum muncul untuk pertama kalinya pada Tahun 1982 dalam perkara US v $4,255,625.39 (1982) 551 F Supp. 314. Sejak itulah, istilah tersebut telah diterima dan digunakan secara luas di seluruh dunia[4].
Pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia telah dimulai dengan adanya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang tersebut telah menyatakan bahwa perbuatan pencucian uang merupakan suatu tindak pidana. Hal baru dari Undang-Undang tersebut yaitu  lahirnya lembaga baru yang  bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Perjalanan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tersebut setahun kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Selang 8 (delapan) tahun kemudian, DPR mensahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) yang mencabut UU No. 15 Tahun 2001 dan UU No. 25 Tahun 2003.
Permasalahan pencucian uang masih marak terjadi. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan ada sekitar Rp 100 triliun uang beredar yang diduga berasal dari praktik penyimpangan selama tahun 2012. Jumlah itu berasal dari 108.145 transaksi mencurigakan yang diterima PPATK[5]. Hal itu mengindikasikan bahwa kebijakan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan regulasi yang selama ini telah diterbitkan belum efektif.
Menurut  pendapat para ahli, bahwa pemberantasan tindak pidana khususnya tindak pidana pencucian uang relatif mengalami kesulitan karena beberapa faktor antara lain adanya keterkaitan kejahatan antar negara (transnational) dan perubahan globalisasi yang relatif cepat.
Dalam Resolusi tentang “ Corruption in government” yang dterima Kongres PBB ke-8 mengenai “ The Prevention and the Treatment of Offender” di Havana (Cuba) tahun 1990, sebagaimana dikutip Barda Nawawi, antara lain menyatakan bahwa[6] :
a.       Korupsi di kalangan pejabat publik (“corrupt activities of public official”) :
·          Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah (‘can destroy the potensial effectiveness of all types of govermental programmes”)
·          Dapat mengganggu atau menghambat pembangunan (‘hinder development”)
·          Menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat (‘victimize individuals and groups”)
b.      Ada keterkaitan erat antara korupsi dan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi, dan pencucian uang haram (‘money laundering”).
Menurut  Chaikin and Sharman, terdapat hubungan yang  simbiosis  antara  korupsi dan money laundering.
Corruption and money landering are symbiotic: not only do they tend to co-occur, but more importantly the presence of one  tend to create and reciprocally reinforce the incidende of the other.Corruption produce enormous profits to laundered, estimated at more than $1 trilion of illicit fund annually, funds that are increasingly  laundered in the international financial system. At the same time, bribery, trading in influence, and embezzlement can compromise the working of anti-money laundering (AML) systems.[7]

Permasalahan yang masih dihadapi dalam memberantas tindak pidana pencucian uang, mengindikasikan bahwa  belum efektifnya  hukum positif  tindak  pidana pencucian uang. Penelitian terhadap  factor-faktor yang mempengaruhi  pelaksanaan  Undang-Undang tindak pidana pencucian uang menjadi penting dan relevan.
Menurut Yunus Husein mantan Kepala PPATK,   hubungan korupsi dan pencucian uang sangat erat,  hal ini terlihat dari keuntungan dalam sebuah tindak pidana korupsi kerap kali digunakan untuk kepentingan pribadi.  Keuntungan hasil korupsi  digunakan untuk membeli rumah atau aset sejenis ataupun disamarkan dari sebuah rekening ke rekening yang lain. Pelaku yang membantu menyamarkan tersebut, bisa dijerat pasal tindak pidana pencucian uang. Namun sayangnya, penerapan pasal pencucian uang dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi yang disidik KPK belum sepenuhnya maksimal. Karena, dari sederet kasus yang ditangani lembaga antikorupsi tersebut, baru beberapa di antaranya menggunakan pasal pencucian uang dalam satu berkas dakwaan.
Ada keuntungan tersendiri jika dua perbuatan tindak pidana dimasukkan dalam satu berkas, yakni, dikenakannya dua perbuatan tindak pidana dalam satu berkas dakwaan bisa memperberat ancaman hukuman bahkan vonis yang akan dijatuhkan. Selain itu, digabungkan dalam satu berkas dakwaan juga sejalan dengan prinsip persidangan yang efektif dan efisien.
Selain itu, penggunaan pasal tindak pidana pencucian uang dalam satu berkas dengan tindak pidana korupsi bisa juga dilakukan sebagai bentuk pemiskinan terhadap koruptor karena pengejaran aset yang akan disita negara tergolong tak sulit. Sejalan dengan itu, dakwaan terhadap pelaku harus dikenakan dakwaan kumulatif. Dengan hukuman akumulatif, penggabungan korupsi dengan pencucian uang akan membuat hukuman lebih optimal.[8]


B.     Rumusan Masalah

Untuk melihat efektifitas Undang-Undang terkini yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 penulis akan melakukan pengamatan dan observasi dengan topik KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG dengan perumusan masalah :
·         Bagaimanakah perumusan tindak pidana pencucian uang yang praktis terhadap perubahan sosial masyarakat (globalisasi) yang relatif cepat?
·         Apakah penerapan hukuman akumulatif dapat diterapkan terhadap tindak pidana korupsi dan pencucian uang?
 Persoalan tentang perubahan masyarakat dan perubahan hukum atau sebaliknya pada intinya terdiri dari  dua aspek penting, yaitu sebagai berikut :
1.      Sejauhmana perubahan masyarakat harus  mendapatkan penyesuaian oleh hukum. Dengan kata lain, hukum  yang menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat ini menunjukkan sifat pasif dari hukum.
2.      Sejauhmana  hukum berperan untuk menggerakkan  masyarkaat menuju suatu perubahan yang terencana. Di sini hukum berperan aktif dan seiring disebut sebagai fungsi hukum sebagai alat rekayasa masyarakat ( a tool of social engineering)[9].
C.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan  Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perumusan tindak pidana pencucian uang dan pengujian dari teori-teori hukum pidana serta implementasi dalam masyarakat. Kajian ini akan mecoba mencari  alternative  perumusan tindak pidana  yang lebih efektif  dalam penerapannya dalam masyarakat.
Tujuan Khusus
Penelitian akan me


D.    Kerangka Teori dan Konseptual
1.      Kerangka Teori
Objek ilmu pengetahuan hukum pidana terutama adalah mempelajarai asas-asas dan peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku, menghubungkan  asas-asas/peraturan-peraturan yang satu dengan yang lainnya, mengatur penempatan asas-asas/peraturan-eraturan tersebut dalam  suatu sistematika agar dengan demikian dapat  difahami pengeritan yang objektif dari peraturan-peraturan yang berlaku (hukum pidana positif) yang merupakan tujuan dari ilmu pengetahuan hukum pidana.[10]
Tugas utama dari ilmu pengetahuan hukum pidana  adalah untuk mempelajari  dan menjelaskan  (interprestasi) hukum (tindak) pidana yang berlaku pada suatu  waktu dan Negara (tempat) tertentu[11].
Selain mempelajari, ilmu pengetahuan hukum pidana mempelajari norma-norma dalam hubungannya dengan pemidanaan (konstruksi) dan kemudian menerapkan hukum pidana yang berlaku secara teratur dan berurutan (sistematika). Dengan perkataan lain,  ia mengolah suatu tindak pidana yang sudah terjadi kemudian dihubungkan dengan penerapan hukum pidana yang berlaku. Selanjutnya dalam perkembangannya ilmu pengetahuan hukum pidana  tidak terbatas hanya mempelajari  kenyataan-kenyataan tersebut, tetapi juga hal-hal yang bersangkut paut dengan hukum pidana yang bersifat filosofis, dogmatis dan historis.
Menurut S.Sianturi, beberapa sarjana berpendapat bahwa ilmu pengetahuan hukum pidana supaya tidak dilihat sebagai bersifat dogmatis saja, melainkan dari segi kepentingan masyarakat,maupun dari segi perkembangan  hukum, mengingat hukum pidana yang telah ada, tidak selalu  paralel dengan kebutuhan masyarakat. Dengan perkataan lain dalam mempelajari hukum positif (ius constitutum), harus juga  mempelajari hukum yang diidam-idamkan (ius constituendum). Dampak terhadap mempelajari sebab-sebab dari suatu tindakan  dari suatu tindak pidana dan cara memberantasnya melahirkan ilmu pengetahun tambahan bagi hukum pidana yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan (kriminologi).[12]
Menurut Herbert L. Packer, sebagaimana dikutip Sjaiful Bakhri[13] menyatakan bahwa pemidanaan adalah suatu tindakan yang menyebabkan derita bagi terpidana dan dianggab bila ternyata telah terbukti, bahwa kejahatan itu menimbulkan akibat lebih baik daripada tidak dijatuhkan  pidana  atau oleh Packer disebut pencegahan (deterrence).  Teori dibagi dua, pertama, deterrence theory, dimana  efek-efek pencegahannya timbul sebelum pemidanaan dilakukan. Selanjutnya teori ini dibagi  menjadi special deterrence, yakni pidana yang dijatuhkan setelah  pemidanaan dilakukan dan general deterrence, yaitu pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi sebelum pemidanaan dilakukan.
Kedua, intimidation theory, memandang pemidanaan  merupakan sarana untuk mengintimidasi  mental terpidana. Pandangan lain dari pencegahan , mengenai pemindanaan  yaitu paham behavioral yang berpangkal tolak pada tingkah laku manusia. Teori ini meliputi incapation theory, di dalam pidana penyekapan, dilihat sebagai suatu keharusan supaya terpidana tidak  lagi dapat melakukan perbuatan pemidanaan dilakukan untuk memudahkan  dilakakukan pemidanaan terhadap terpidana.                                                                      
Menurut Smith dan Hogan sebagaimana dikutip I Made Widyana, tujuan hukum pidana dalam suatu sistem  hukum modern adalah[14] :
1.       To forbid and prevent conduct that unjustifiability and inexcusably inflicts or threatens substanstial harm to individual or public interest
2.       To subject to public control persons whose conduct indicates that they are disposed to commit crimes
3.       To safefuard conduct that is without fault from condemnation as criminal
4.       To give fair warning of the nature of the conduct declrared to be an offense
5.       To differentiate on reasonable grounds between serious and minor offenses.

Untuk mencapai tujuan pidana, menurut  Joshua Dressler sebagaimana dikutip I Made Widnyana  menyatakan bahwa perlunya mendalami Teori Pemidanaan  adalah[15] :
Pertama, hukum pidana adalah “a blunt instrument”. Penegakan hukum pidana menurut sistem peradilan pidana kita, memberikan inflikasi penderitaan  pada  orang yang melakukan perbuatan pidana, dengan menghilangkan jiwanya, kebebasannya, atau harta bendanya melalui penjatuhan  pidana denda.  Setiap sistem selalu mempertimbangkan  suatu pembenaran dalam mencari sebab-sebab pendertaan  pada pelaku kejahatan.
Kedua, Para pembuat Undang-Undang (hukum) tidak hanya harus  memperthatikan perbuatan apa yang salah, tetapi mereka juga harus mempertimbangkan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan untuk tingkah laku yang keliru/salah, dan kapan hukuman/pidana dipandang tepat, mereka harus memutuskan pidana apa yang cocok untuk suatu perbuatan dan berapa lama pidana yang tepat untuk si pelaku.
Ketiga, hukum pidana harus adil dan memperluas kemungkinan, deal coherently  dengan orang-orang yang dipidana dengan kejahatannya. Teori-teori mengenai pemidanaan mempertimbangkan unsur-unsur intelektualitas sebagai dasar untuk mengevaluasi keadilan dan koherensi dari hukum pidana kita.
Upaya atau kebijakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan untuk perlindungan masyakarat (social defence policy).
Dengan demikian, apabila penanggulangan kejahatan (politik criminal) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) maka kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya pada tahap kebijakan yudikatif  harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebjikana social itu berupa social welfare dan social defence.





Skema 1



Dari skema tersebut dapat dijelaskan hal-hal pokok[16] :
1.      Pencegahakan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal) kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat
2.      Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral ; ada keseimbangan sarana penal dan non penal. Dilihat dari sudut politik criminal kebijakan paling strategis melalui sarana non penal karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan atau kelemahan antara lain :
-          Bersifat fragmentaris, simplistic,tidak structural funsional
-          Simptotik, tidak kausatif, tidak eliminative
-          Individualistic atau offender oriented, tidak victim oriented
-          Lebih bersifat  represif/tidak preventif
-          Harus didukung infrastructure dengan biaya tinggi.
3.      Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan  sarana ‘penal’ merupakan “penal policy’ atau ‘penal law enforcement policy’ yang fungsionalisasi dan operasionalisasinya melalui beberapa tahap :
- Tahap formulasi kebijakan,
- Tahap aplikasi
- Tahap eksekusi
Dalam tahap formulasi, upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi juga pembuat hukum dalam hal ini legislative. Kebijakan legislative merupakan tahap paling strategis dari penal policy. Jika terjadi kesalahan atau kelemahan dalam perumusan perundangang-undangan akan berdampak pada terhambatnya upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap berikutnya.
Strategi dasar penanggulangan kejahatan diarahkan pada upaya meniadakan (eliminasi) atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kuasa dan kondisi yang menjadi factor kriminogen untuk terjadinya kejahatan. Jadi diperlukan pendekatan integral dalam arti :
-          Tidak hanya strategi penanggulangan simptotik dan represif lewat pembaruan dan penegakan hukum tetapi juga penanggulangan kausatif dan preventif
-          Tidak hanya melakukan law reform tetapi juga social economic, political, cultural, moral and administrative reform
-          Tidak hanya melakukan pembaharuan satu perundang-undangan, tetapi juga semua perundang-undangan yang member peluang untuk terjadinya kejahatan.

Menurut Ibrahim F.I. Shihata sebagaimana dikutip Barda Nawawi bahwa pendekatan integral atau komprehensif antara lain[17] ;
Attempts to combat corruption may have a greater chance of successs if they recognize from the outset the complexity of this phenomenon and the impossibility in deffernt social disciplines.
It should address the economi, poiltical, social, legal, administrative and moral aspects of the phenomenon and recognize the clos linkages among these aspects.
Ibrahim Shihata juga menjelaskan upaya penanggulangan korupsi (efforts to combat corruption harus ditempu melalui econic reform, legal and judicial reform, administrative (civil service) reform, other institutional reform, moral reform, international measures[18].
Tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik criminal dalam arti keseluruhannnya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Hal itu sejalan dengan kesimpulan seminar Kriminologi ke- 3 tahun 1976 yang merumuskan sebagai berikut :
Hukum Pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitasi) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat[19].
Suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non-penal itu ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu.
Sehubugan dengan itu, Radzinoowics sebagaimana dikutip Muladi menyatakan bahwa[20] :
Criminal policy must combine the various preventive activities and adjust them so as to form a single comprehensive machine and finally coordinate the whole into an organized system of activity.
Kebijakan krimimal yang integral diharapkan mencapai social defence.
Prof.  Sudarto mengemukakan bahwa kebijakan kriminal harus dilakukan pula dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial dengan memperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut[21] :
a.       Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b.       Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat.
c.        Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)
d.       Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

2.      Kerangka Konseptual
Apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering? Tidak ada atau belum ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-negara yang telah maju dan negara-negara dari dunia ketiga (sebagaimana ternyata dari Undang-Undang tentang pencucian uang negara-negara itu), dan lembaga-lembaga international masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Dari beberapa definisi dan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan money laundering, dapat disimpulkan bahwa[22] :
Pencucian Uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang halal.
Pendapat lain mengemukakan bahwa pengertian “money laundering” dalam kepustakaan belum terdapat definisi yang jelas. Terjemahan Bahasa Indonesia “pencucian uang” hanya untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan hukum dengan batasan bahwa :
“money laundering” adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan , menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan  lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil intdak pidana dnegan maskud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah[23].
Penjelasan seperti tersebut di atas apa yang dinamakan money laundering dapat mengandung paling sedikit lima unsur yaitu[24] :
1.      Seseorang atau organisasi  yang melakukan perbuatan
2.      Uang haram berasal dari tindak pidana
3.      Dengan maksud untuk menyembunyikan uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang  untuk menindak terhadap tindak pidana,
4.      Dengan cara memasukkan uang ke dalam sistem keuangan suatu Negara
5.      Kemudian uang tersebut  dapat dikeluarkan dari sistem keuangan yang dimaksud menjadi uang yang sah.
Secara sederhana, proses pencucian uang dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan yakni placement, layering dan integration[25].
a.       Placement merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan misalnya dengan pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening simpanan bank, atau dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan (cheques, money orders) yang akan ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di rekening bank yang berada di lokasi lain. Placement dapat dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah. Proses placement ini merupakan titik paling lemah dari perbuatan pencucian uang.
b.      Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau menyembunyikan sumber uang haram tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
c.       Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu legitimate explanation bagi hasil kejahatan. Di sini uang yang dicuci melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Proses integration ini terjadi apabila proses layering berhasil dengan baik.
Cara-cara para pembuat money laundering melakukan kegiatannya dari hasil kejahatan itu supaya tidak dilacak asal usul uang oleh penegak hukum melalui lima kesempatan[26] :
1.      Menyalahgunakan bisnis yang sah, dan menyembunyikan  ke dalam bisnis yang dikendalikan oleh organisasi  kejahatan yang terkait untuk mencegah kebocoran informasi dan kalang dalam amupun dari luar perusahaan agar tidak diketahui oleh penegak hukum.
2.      Menembus melalui sektor perbankan atau sektor non-perbankan, karena  lewat bank perusahaan mekanisme yang paling dijadikan persembunyian uang hasil kejahtan, atau transaksi melalui jalur non-perbankan di sector money changer yang masih ada kebebasan sirkulasi uang
3.      Upaya investasi di bidang real estate, dan atau di bidan asuransi oleh para pencuci uang untuk menanamkan uang pro-perumahan yang sangat dibutuhkan masyarakat atau program asuransi yang jaminan hidup lebih murah. Selanjutnya kedua proyek dan program tersebut untuk beberapa lama lalu dijual lagi dengan sisa uang sudah menjadi uang sah.
4.      Penyelundupan melewati batas Negara  dengan berbagai cara terselubung sehingga money laundering telah dilakkan pencucian menjadi sah
5.      Menembus melalui industry sekuriti (perdagangan efek-efek saham da obligasi) yang menjadi sasaran untuk para penjahat money laundering yang wilayah operasionalnya mencapai tingkat international.

Objek pencucian uang semula ditujukan kepada perdagangan narkoba (drug trafficking) dan kejahatan keuangan yaitu kecurangan berkaitan dengan kecurangan bank (bank fraud), antara lain berkaitan dengan kartu kredit (credit card fraud), investasi (investment fraud), pembayaran uang dimuka (advance fee fraud, penggelapan (embezzlement)[27]. Sejalan dengan perkembangannya, semakin meluas pada transaksi yang bersifat transnasional.

E.  Metode Penelitian
1.
Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan Praktis Normologis yang otoritatif.  Objek kajian ilmu hukum sebagai Ilmu Praktis Normologis adalah kaedah-kaedah hukum. Kaedah hukum itu sendiri  dapat disebut sebagai teks otoritatif (teks yang berwibawa) karena ditetapkan  oleh lembaga yang berwenang. Sebagai teks, kaedah hukum bermuatan aturan-aturan hukum yang terdidir aas produk peUndang-Undangan, putusan-putusan hakim, hukum tidak tertulis dan karya ilmuwan hukum yang berwibawa  dalam bidangnya (doktrin)[28].  Oleh karena  itu, sasaran penelitian Ilmu Hukum sebagai Ilmu Pengetahuan Praktis Normologis yang bersifat otoritatif pada dasarnya  adalah hukum atau kaedah hukum. Pengertian kaedah hukum di sini meliputi asas hukum, kaedah hukum dalam arti norma, peraturan hukum konkrit dan sistem hukum. Oleh karena itu penelitian hukum dalam arti meneliti kaedah atau norma disebut penelitian hukum normatif[29].
Metode penelitian hukum terdiri atas (a) metode penelitian  hukum yuridis – normative atau penelitifan hukum doktriner dan (b) metode penelitan hukum yuridis (sosiologis).[30]
Dalam penelitian ilmu hukum normative banyak pendekatan yang digunakan baik secara terpisah-pisah, berdiri sendiri maupun secara  kolektif sesuai dengan permasalahan. Mengingat permasalahan  dalam penelitian ini merupakan  kebijakan  yuridis, maka penelietian ini akan menggunakan pendekatan Undang-Undang atau statute approach yang bagi sebagaian ilmuwan hukum menyebutnya dengan pendekatan yuridis yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum[31]

2. Sumber Data
Sebagaimana telah dikemukakan,  penelitian ini menggunakan pendekatan  yuridis normatif sehingga  bahan-bahan hukum merupakan sumber data dalam penelitian ini. Bahan-bahan hukum sebagai kajian normative sebagian besar dapat  diperoleh melalui  berbagai dokumen hukum.
Data sekunder yang bersifat bahan-bahan hukum dapat dibagi 3 (tiga) maca jika ditinjau dari sudut kekuatan mengikatnya yaitu[32] :
1.      Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat  dan terdiri atas Undang undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Vonis Hakim dan lain-lain.
2.      Bahan hukum sekunder yaitu  bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai  bahan hukum primer seperti misalnya rancangan Undang-Undang, hasil penelitian, buku-buku, jurnal ilmiah dan sebagainya.
3.      Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum  primer dan sekunder, misalnya kamus hukum dan lain-lain.
Bahan hukum dapat berupa, antara lain[33] :
·         Himpunan Peraturan PerUndang-Undangan yang diterbitkan  oleh Departemen /Lembaga Pemerintah Non Depertemen yang umumnya  berisi peraturan-peraturan di bidang tugasnya masing-masing
·         Himpunan Peraturan PerUndang-Undangan yang khusus mengatur bidang pokok tertentu yang banyak diterbitkan oleh lembaga-lembaga penerbitan
·         Himpunan putusan Mahkamah Agung
·         Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara
·         Berita Daerah
·         Lembaran Daerah
·         Berbagai dokumen yang memuatperjanjian-perjanjian internasional yang banyak diterbitkan oleh lembaga-lembaga internasional.
                                


                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               
E.     Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan  adalah sebagai berikut :
Bab I  Pendahuluan menyajikan  latar belakang  dan permasalahan Tindak Pidana Pencucian Uang saat ini dan menuangkan dalam rumusan masalah.
Bab II merupakan tinjauan pustaka yang mengacu pada teori-teori yang dipergunakan                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    dalam penelitian ini. Selain teori yang sudah teruji, penelitian ini juga menggunakan kosep hukum dan social yang berlaku dalam masyarakat sejalan dengan perkembangan budaya dan teknologi.
Bab III menyajikan pembahasan terhadap permasalahan sebagaimana dikemukakan pada rumusan masalah dalam Bab I. Pembahasan dilakukan dengan membandingkan undang-uundang yang berlaku  dan pelaksanaannya (das sein) dengan  idea masyarakat  yang terdapat dalam teori  hukum dan konsep hukum (das sollen).
Bab IV menyajikan  kesimpulan dan saran sebagai hasil dari rumusan penelitian ini.



[1] Naskah Akademik RUU TPPU
[2] Ivan Yustiavandana, Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010, hlm.43
[3] Ibid
[4] Sjahdeni, Journal Hukum Bisnis, Volume 22 No. 3 Tahun 2003, hal. 6-7
[5] http://nasional.kompas.com/
[6] Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005, hlm 97-98
[7] David Chaikin, Corruption and Money Laundering Nexus, New York, Palgrave Macmillan, 2009, hlm. 1
[8] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt510a46a7325da/erat--hubungan-korupsi-dan-pencucian-uang
[9] Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2008, hlm 148
[10] S.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002, hlm 32
[11] ibid
[12] Ibid hlm 33
[13] Sjaiful Bakhri, Pidana Denda dan Korupsi, Yogjakarta, Total Media, 2009, hlm 123
[14] I Made Widyana, Kapita Selekta Hukum Pidana, Jakarta, Ubhara Press, 2012, hlm 48
[15] Ibid, hlm 48-50
[16] Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2010, hlm 77-78
[17] Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya, 2010 , hlm 71
[18] Ibid
[19] Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 2010 , hlm 91-92
[20] Ibid, hlm 159
[21] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1986, hlm 36-39
[22] Sjahdeni, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta, Grafiti, 2007, hlm 1
[23] Bambang Purnomo dalam Satya Arianto, Memahami Hukum, Jakarta, Rajawali Press, 2011, hlm.187
[24] ibid
[25] Lihat Penjelasan Umum UU No. 15 Tahun 2002
[26] Op. Cit
[27] Ibid
[28] Hotma P Sibuea, Metode Penelitian Hukum, Krakatauw Book, 2009, hlm 12.
[29] Ibid  
[30] Ibid, hlm.79 
[31] Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2008, hlm.92                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 
[32] Loc. Op.Cit, hlm 74
[33] Ibid, hlm 98


 [N1]Perbandingan antara Palermo dan ASEAN menjunjukkan adanya perbedaan  tindak pidana yang dikategorikan sebagai satu jenis tindak pidana (transnational crime). Hal ini mengindikasikan bahwa dimungkinkan perbedaan focus pada  objek tindak pidana dalam suatu rumusan perUndang-Undangan.
Apakah TPPU harus mengakomodir semua jenis tindak pidana PPU dari FTFA menjadi  persoalan kebijakan legilatif.