BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dengan
sangat terang menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia
antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia. Pembukaan (Preambule) UUD 1945
tersebut mengandung banyak dimensi antara lain meliputi kemanusiaan, sosial,
ekonomi, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara dan
dikembangkan sesuai kebutuhan nasional.
Walaupun
bangsa Indonesia sudah berdaulat sejak 60 tahun lalu, namun fakta menunjukkan
bahwa dalam perkembangannya masih menghadapi berbagai permasalahan mendasar,
antara lain tingginya angka kemiskinan dan pengangguran yang menciptakan
kesenjangan sosial-ekonomi, serta lemahnya penegakan hukum. Dalam kondisi
seperti ini, apabila praktik pencucian uang tidak segera dicegah dan diberantas
maka hampir dapat dipastikan bahwa perekonomian nasional di masa mendatang akan
semakin terpuruk.
Dalam
bidang penegakan hukum, banyak pihak mengakui bahwa upaya penegakan hukum di
negara kita masih belum memenuhi harapan, bukan hanya karena profesionalisme
aparat penegak hukum yang masih perlu dipertanyakan tetapi juga, apakah
perangkat peraturan perundang-undangan yang ada telah memadai serta tersedianya
sarana dan prasarana pendukung.
Beberapa
jenis tindak pidana yang saat ini masih menjadi perhatian utama Pemerintah
adalah tindak pidana korupsi, illegal
logging, dan terorisme serta narkoba. Hal ini tidak terlepas dari dampak
yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut antara lain dapat merusak
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana tersebut bukan hanya menjadi dominasi aparat penegak hukum tetapi
sudah memerlukan peran aktif semua unsur seperti sektor swasta dan pemerintah
yang lingkupnya bukan hanya domestik tetapi sudah mengglobal. Kendati berbagai
upaya telah dilakukan oleh Pemerintah baik sendiri maupun bersama-sama dengan
negara lain, namun hasilnya masih belum memuaskan.
Sebagian
besar tindak pidana yang terjadi khususnya korupsi, illegal logging, dan narkoba pada dasarnya bermotifkan ekonomi.
Tanpa ada kepentingan ekonomi, tindak pidana tersebut tidak akan terjadi.
Demikian pula halnya terorisme, aksi-aksi terorisme tidak mungkin dilakukan
apabila tidak terdapat pendanaan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Oleh
karena itu, menjadi hal yang cukup penting dalam konteks memupus motivasi
seseorang melakukan tindak pidana melalui pendekatan pelacakan, pembekuan,
penyitaan, dan perampasan aset hasil tindak pidana. Seseorang ataupun kejahatan
terorganisir dengan sendirinya akan menjadi enggan atau tidak memiliki motivasi
untuk melakukan suatu perbuatan pidana apabila hasil perbuatan pidana tersebut
dikejar dan dirampas untuk negara. Pendekatan inilah yang sering disebut dengan
“strategi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang” (anti-money laundering strategy).
Di satu
sisi, pelaksanaan rezim anti pencucian uang secara efektif dapat membantu
menciptakan stabilitas sistem keuangan karena lembaga keuangan dapat terhindar
dari berbagai risiko seperti risiko hukum, reputasi, terkonsentrasinya
transaksi dan likuiditas sehingga mampu melaksanakan fungsinya secara efektif
pula. Di sisi lain, pelaksanaan rezim anti pencucian uang tersebut juga
diyakini dapat menurunkan angka kriminalitas karena pelaku tindak pidana tidak
lagi memiliki motivasi untuk mengulangi perbuatannya dan hasil perampasan
tindak pidana dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh
karena itu, pendekatan rezim anti pencucian uang yang dilaksanakan secara
efektif, bukanlah suatu hal yang mustahil dilakukan. Sebaliknya, kegagalan
dalam mencegah dan memberantas pencucian uang akan berdampak sangat buruk pada
sektor keuangan dan penegakan hukum.
Sebagaimana
diketahui, bahwa melalui aktifitas pencucian uang, para pelaku kejahatan dapat
menyembunyikan asal-usul uang atau harta kekayaan dari hasil kejahatan secara
bebas karena uang haram tersebut seolah-olah tampak berasal dari suatu kegiatan
yang sah atau “halal”. Dalam perkembangannya, modus pencucian uang semakin hari
semakin kompleks dan canggih seiring dengan kemajuan teknologi informasi,
khususnya di bidang perbankan dan keuangan. Pelaku pencucian uang selalu
berusaha untuk menghindari pelacakan harta hasil kejahatannya oleh aparat
penegak hukum dengan memanfaatkan kelemahan peraturan perundang-undangan yang
ada.
Beberapa
dampak negatif dari aktifitas pencucian uang seperti tersebut di menjadi alasan
mengapa praktik pencucian uang perlu dikriminalisasi. Bahkan tindak pidana
pencucian uang dewasa ini secara universal telah digolongkan sebagai suatu
tindak pidana yang biasa disebut kejahatan “kerah putih” (white collar crime) dan juga merupakan kejahatan lintas batas
negara (transnational crime).
Indonesia
sudah menerapkan pendekatan anti money
laundering regime sejak April 2002 yang ditandai dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang
selanjutnya telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (UU TPPU).
Dalam melaksanakan UU TPPU selama lebih dari 4 tahun ini banyak pelajaran
berharga yang diperoleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
sebagai salah satu dari pemberantasan TPPU. Sehubungan dengan itu, bersama-sama
dengan instansi terkait, PPATK telah melakukan inventarisi berbagai kendala dan
hambatan yang terjadi untuk efektivitas pelaksanaan UU TPPU di masa mendatang.
Tipologi
atau modus-modus TPPU terus berkembang dan cara-cara yang digunakan semakin
kompleks dengan melibatkan berbagai lembaga keuangan dan lembaga lainnya yang
terkait dengan keuangan. Di pihak lain, beberapa ketentuan yang diatur dalam UU
TPPU masih menimbulkan multi interpretasi, banyaknya “celah hukum” (looopholes) dan tidak tegasnya rumusan
mengenai pemberian sanksi atau ancaman hukuman. Kendala legilasi tersebut diyakini
sebagai salah satu penyebab kurang efektifnya pelaksanaan atau penegakan hukum
TPPU. Hal ini menunjukkan, bahwa pengaturan mengenai tindak pidana pencucian
uang belum menjamin kepastian hukum yang konkrit serta penegakan hukum yang
berkeadilan dan konsisten sangat diperlukan dalam upaya mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang.
Dari sisi
eksternal, faktor-faktor pendorong perlunya dilakukan pembaharuan hukum
mengenai pencegahan dan pemberantasan TPPU adalah dikeluarkannya revisi rekomendasi
Financial Action Task Force on Money
Laundering (FATF) sebagai “standard
setter” dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang yang harus
diadopsi oleh semua negara dan adanya perkembangan international best practice. Salah satu dari rekomendasi tersebut
adalah perlunya memperluas lingkup dari pihak pelapor (reporting parties) yang wajib menyampaikan laporan transaksi
keuangan mencurigakan (LTKM/STR) kepada lembaga FATF tersebut tegas menyatakan
agar pengacara, notaris atau profesi hukum lainnya dan akuntan serta penyedia
barang dan jasa diminta untuk melaporkan LTKM/STR.
Berdasarkan
uraian latar belakang tersebut di atas, diperlukan upaya pengaturan mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang komprehensif,
konsisten, sistemik, dan mampu memberikan kepastian dan jaminan perlindungan
hukum bagi masyarakat.
B.
Permasalahan
Berdasarkan
uraian sebagaimana telah dikemukakan dalam latar belakang di atas, permasalahan
yang perlu dikemukakan dalam kerangka pembaharuan hukum mengenai pencegahan dan
pemberantasan TPPU telah dirumuskan sebagai berikut:
1.
Peraturan
perundang-undangan yang berlaku sekarang masih memiliki keterbatasan dalam
upaya pendeteksian tindak pidana pencucian uang, sehingga dapat membuka peluang
bagi pelaku tindak pidana untuk mencuci hasil kejahatannya.
2.
Adanya beragam
penafsiran atas beberapa rumusan norma dalam peraturan perundang-undangan
mengenai TPPU yang berlaku sekarang ini, sehingga belum menjamin kepastian
hukum dan ketertiban hukum dalam masyarakat. Karena itu, perlu aturan hukum di
bidang TPPU yang tidak menimbulkan berbagai penafsiran atau “celah hukum” (loopholes).
3.
Pada umumnya
penanganan TPPU tidak terlepas dari tindak pidana asalnya. Penyidikan tindak
pidana asal dilakukan oleh penyidik dari berbagai instansi sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan UU TPPU sekarang, penyidikan TPPU
hanya dilakukan oleh Polri. Mengingat banyaknya tindak pidana asal yang terkait
dengan TPPU, maka penanganannya memerlukan koordinasi dan kerjasama yang baik
antar sesama penyidik dari berbagai instansi dimaksud. Untuk menghindari
hambatan-hambatan koordinasi dan kerjasama dalam penanganan TPPU tersebut perlu
perluasan penyidik yang berwenang melakukan penyidikan TPPU agar pemberantasan
TPPU lebih efektif dan efisien.
4.
Dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku sekarang ini, kewenangan dari pihak-pihak yang
terkait dengan pelaksanaan rezim anti pencucian uang belum diatur secara jelas
dan tegas. Untuk itu perlu penataan ulang kewenangan dari setiap pelaksana UU
TPPU.
5.
Peraturan
perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian uang yang berlaku sekarang
ini sudah tidak sesuai lagi dengan standar internasional. Oleh karena itu,
perlu disusun peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan formulasi
perundang-undangan mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang di Indonesia dengan menyesuaikan “international best practice”.
6.
Ketentuan yang
terkait dengan pencegahan dan pemberantasan TPPU serta pendanaan terorisme
tersebar di beberapa konvensi internasional. Dengan telah diratifikasinya
beberapa konvensi internasional dimaksud maka diperlukan adanya harmonisasi
perundang-undangan yang terkait.
7.
Peran PPATK
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU belum optimal karena keterbatasan
tugas dan kewenangan serta sumber daya manusia yang dimiliki.
8.
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur TPPU belum memberikan dasar hukum yang kuat
bagi pentrasiran, penyitaan, dan perampasan aset hasil kejahatan. Untuk itu
perlu diperkenalkan mekanisme pentrasiran dan penyitaan serta perampasan aset
hasil kejahatan melalui gugatan perdata.
C.
Tujuan dan Kegunaan
Dalam
berbagai kesempatan Rapat Kerja antara PPATK dengan Komisi III DPR sepanjang
tahun 2005 dan 2006, DPR RI telah menyinggung Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas UU No. 15/2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 25/2003. DPR telah mencantumkan pembahasan RUU dimaksud dalam Program
Legilasi Nasional Tahun 2005-2009 dan merupakan salah satu RUU prioritas yang
harus dibahas oleh DPR RI pada tahun 2005 dan 2006.
Menyikapi
perkembangan permasalahan pencegahan dan pemberantasan TPPU serta untuk
merespons keinginan para wakil rakyat, maka atas usul PPATK, Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia mengambil prakarsa untuk menyusun RUU tentang Pencegahan
dan Pemberantasan TPPU yang disertai dengan penyusunan naskah akademik RUU
dimaksud sesuai Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Presiden dan
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan
Pengelolaan Program Legilasi Nasional.
Naskah
Akademik ini dibuat dalam rangka memetakan konsep-konsep pemikiran mengenai
pentingnya Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ditinjau
dari aspek filosofis, sosiologis-politis, yuridis, psikopolitik masyarakat, dan
ekonomi. Isi pokoknya adalah gagasan-gagasan konkrit dan aplikatif tentang
ruang lingkup dan materi muatan yang akan dituangkan di dalam RUU tentang
Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Naskah Akademik ini diharapkan dapat
digunakan sebagai:
1.
Bahan
dasar/acuan bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan TPPU.
2.
Bahan pembahasan
dalam forum konsultasi pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsep
Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
3.
Bahan dasar
keterangan Pemerintah mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan TPPU.
D. Metode Pendekatan
Penyusunan
Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Perumusan norma-norma
hukum yang digunakan sebagai acuan penyusunan RUU tentang Pencegahan dan
Pemberantasan TPPU berdasarkan pada konstatering fakta-fakta filosofis,
sosiologis-politis, yuridis, psikopolitik masyarakat, dan ekonomi yang erat
kaitannya dengan pencegahan dan pemberantasan TPPU.
Penyusunan
Naskah Akademik ini juga didukung oleh studi perbandingan hukum dengan
mengambil bahan hukum sekunder yang tidak hanya dari bahan pustaka Indonesia
maupun asing, tetapi juga bahan-bahan hukum primer seperti peraturan
perundang-undangan nasional dan ketentuan-ketentuan internasional yang berlaku
dan terkait dengan tindak pidana pencucian uang antara lain:
1.
Konvensi PBB
Tahun 1988 (The United Nations Convention
Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs, and Psychotropic Substances of 1988)
yang diikuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang
Narkoba.
2.
Konvensi PBB
Tahun 2000 tentang Pemberantasan Kejahatan Terorganisir Lintas Negara (The United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime)
3.
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001.
4.
Undang-Undang
No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
5.
Undang-Undang
No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.
6.
Undang-Undang
No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme sebagai UU.
7.
Undang-Undang
No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
8.
Undang-Undang
No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International
Convention for the Suppresion of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi
Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999).
9.
Undang-Undang
No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi).
10. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
11. Revised 40
Recommendations and 9 Special Recommendations (Revisi 40+9) FATF, 23 Oktober 2004
12. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
32/50/KEP/DIR dan Surat Edaran No. 32/6/UPPB masing-masing tanggal 14 Mei 1999
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum.
13. Peraturan Bank Indonesia No. 4/8/PBI/2002 Tanggal 10
Oktober 2002 tentang Pembawaan Uang Masuk dan Keluar Wilayah Pabean.
14. Peraturan Bank Indonesia No. 1/9/PBI/1999 tentang
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank
beserta Peraturan Pelaksanaannya, dan Surat Edaran No. 1/9/DSM tanggal 28
Desember 1999 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank.
15. Ketentuan tentang Know
Your Customer Principle (Prinsip Mengenal Nasabah) yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia yaitu PBI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (KYC) bagi Bank Umum sebagaimana telah
diubah dengan PBI No. 2/23/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001, dan PBI No.
5/21/PBI/2003 tanggal 17 Oktober 2003, dan PBI No. 5/23/PBI/2003 tanggal 23
Oktober 2003 tentang Prinsip Mengenal Nasabah (KYC) bagi bank BPR. Sedangkan
Bapepam dan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan telah
mengeluarkan pula ketentuan KYC yaitu Keputusan Menteri Keuangan No.
45/KMK.06/2003 tanggal 30 Januari 2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank dan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal No. KEP-02/PM/2003 tanggal 15 Januari 2003 tentang Penerapan Prinsip
Mengenai Nasabah.
Proses
penyusunan Naskah Akademik ini melibatkan ahli/pakar dari kalangan industri,
teoritisi, akademisi, praktisi hukum, pengusaha, sebagai narasumber melalui
penyelenggaran forum dialog, forum komunikasi, penelitian lapangan, guna
menyaring pandangan dan aspirasi dari semua pemangku kepentingan.
BAB
II
DASAR PEMIKIRAN PERLUNYA REVISI
UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG
DASAR PEMIKIRAN PERLUNYA REVISI
UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG
A.
Dasar Filosofis
Dasar
filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam hukum mencerminkan
suatu keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat
Indonesia. Rumusan Pancasila yang terdapat di dalam Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) terdiri dari empat alinea. Alinea
keempat memuat rumusan tujuan negara dan dasar negara. Dasar negara adalah
Pancasila, sedangkan keempat pokok pikiran di dalam Pembukaan UUD 1945 pada
dasarnya untuk mewujudkan cita hukum (rechtsides)
yang menguasai hukum dasar negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Batang
tubuh UUD 1945 mengatur pokok-pokok pikiran tersebut dalam pasal-pasalnya,
dengan kata lain batang tubuh atau pasal-pasal di dalam UUD 1945 merupakan
perwujudan dari cita hukum. Pancasila sebagai norma filosofis negara dan
merupakan sumber cita hukum yang terumuskan lebih lanjut dalam tata hukum atau
hierarki peraturan perundang-undangan yang sekaligus menjadi “kaidah dasar
fundamental negara”. Dengan jelas dan terang dinyatakan, bahwa tujuan negara
adalah adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Butir kedua
dari Pancasila adalah kemanusiaan yang adil dan beradab yang secara filosofis
mencerminkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin terlindunginya
harkat dan martabat kemanusiaan dan menjamin tegaknya hukum dan keadilan. Dalam
hubungan ini, salah satu bentuk ancaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu
sendiri adalah kejahatan. Oleh sebab itu, kejahatan harus dicegah dan
diberantas karena sangat bertentangan bahkan dapat menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan.
Salah satu
bentuk kejahatan dimaksud adalah tindak pidana pencucian uang (TPPU). Tindak
pidana pencucian uang adalah kejahatan yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini tidak terlepas dari dampak
negatif tindak pidana pencucian uang antara lain dapat meningkatkan motivasi
seseorang atau organisasi kejahatan untuk mengembangkan kejahatannya yang pada
gilirannya dapat pula menciptakan kemiskinan dan kebodohan, merusak struktur
keuangan dan perekonomian serta terganggunya stabilitas pemerintahan.
Dalam
kaitan ini, Departement of Justice Canada
dalam papernya yang berjudul Electronic Money Laundering: An
Environmental Scan (1998) menyebutkan sebagai berikut:
1.
Aktifitas
pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba para penyelundup
dan para penjahat lainnya untuk memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan
meningkatkan biaya penegakan hukum untuk memberantasnya dan biaya pengobatan
dan perawatan serta pengobatan kesehatan bagi para korban atau para pecandu
narkoba.
2.
Aktifitas
pencucian uang mempunyai potensi untuk merongrong masyarakat keuangan (financial community) sebagai akibat dari
besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk
melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran jumlah uang haram yang
sangat besar tersebut.
3.
Pencucian uang
dapat mengurangi pendapatan pemerintah dari sektor pajak dan secara tidak
langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan
kerja yang sah.
Sementara
itu, hasil penelitian Komisi Hukum Nasional (KHN) pada tahun 2006 menyebutkan
bahwa implikasi negatif lainnya dari aktifitas pencucian uang antara lain:
1.
Membiarkan
masyarakat menikmati uang haram berarti mengizinkan organized crime membangun fondasi usaha yang ilegal dan membiarkan
mereka menikmati hasil aktifitasnya.
2.
Praktik ini bisa
menciptakan kondisi persaingan usaha yang tidak jujur. Dengan perlakuan yang
permisif terhadap money laundering,
adalah suatu tindakan keliru yang turut berperan membangun etos persaingan
usaha yang tidak jujur, yang pada gilirannya dapat menurunkan moral bisnis dan
wibawa hukum secara drastis, serta menguatnya orientasi materialistik menguat
dan lain sebagainya.
3.
Perkembangan
praktik ini akan melemahkan kekuatan finansial masyarakat pada umumnya.
Angka-angka yang mencerminkan indikator ekonomi makro menjadi turun tingkat
efektifitasnya karena semakin banyaknya uang yang berjalan di luar kendali
sistem ekonomi pada umumnya.
Sistem dan
mekanisme penegakan hukum pencucian uang atau rezim anti-pencucian uang,
berbeda dengan penegakan hukum tindak pidana konvensional. Pengungkapan tindak
pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang lebih difokuskan pada
penelusuran aliran dana/uang haram (follow
the money) atau transaksi keuangan. Dengan kata lain, penelusuran aliran
dana melalui transaksi keuangan, merupakan cara yang paling mudah untuk
menemukan jenis kejahatan, pelaku kejahatan dan tempat dimana hasil kejahatan
disembunyikan atau disamarkan. Pendekatan ini tidak terlepas dari paradigma
pencucian uang bahwa hasil kejahatan (proceeds
of crime) merupakan “life blood of
the crime”, artinya hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak
kejahatan itu sendiri sekaligus relatif mudah dilakukan, juga akan
menghilangkan motivasi pelaku untuk mengulangi kejahatan. Hilangnya motivasi
tersebut karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya
menjadi terhalang atau sulit dilakukan, dan pelaku kejahatan yang terorganisir
tidak memiliki kemampuan lagi untuk melanjutkan kegiatannya karena sumbernya
telah disita dan dirampas untuk kepentingan negara-bangsa.
Dengan
memperhatikan dampak serius yang ditimbulkan sebagaimana telah diuraikan di
atas, dan tujuan mulia dibangunnya rezim anti-pencucian uang, maka pembangunan
hukum pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang
komprehensif, konsisten, sistemik, serta mampu memberikan kepastian dan jaminan
perlindungan hukum bagi masyarakat menjadi sangat urgen di masa mendatang.
B.
Dasar Sosiologis dan Politis
Di dalam masyarakat terdapat suatu kondisi nyata
tentang tingkat penerimaan (acceptance)
atau tingkat penolakan (resistance)
terhadap suatu kebijakan publik seperti peraturan perundang-undangan. Untuk itu
perlu mengikutsertakan masyarakat sebagai faktor penyeimbang dalam proses
pembuatan produk hukum dalam rangka membangun akseptan dan sekaligus mereduksi
serendah mungkin tingkat resistensinya, sehingga akan menjadi Undang-Undang
yang efektif ideal.
Upaya mereduksi resistensi tersebut perlu dilakukan
dengan melibatkan kalangan penyedia jasa keuangan, profesi, dan penyedia barang
dan jasa, kalangan akademik dan pemerhati hukum dalam proses pembentukan
undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU guna menghindari
anggapan bahwa pembentukan UU TPPU ini keliru dan tidak sesuai dengan sistem
hukum Indonesia dan hanya akan menimbulkan keguncangan sosial dan ekonomi.
Sebagai antisipasi terhadap kemungkinan adanya
resistensi masyarakat terhadap RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU
ini, maka perlu adanya kegiatan sosialisasi yang terus menerus di semua lapisan
masyarakat, agar masyarakat dapat memahami urgensi pencegahan dan pemberantasan
TPPU diatur oleh suatu undang-undang. Pelaksanaan rezim anti pencucian uang di
Indonesia selama lebih dari 4 tahun ini, telah banyak memberikan pengaruh
terhadap nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Sebelum dibangunnya rezim anti
pencucian uang, masyarakat tidak dibebani dengan berbagai kewajiban dalam
memanfaatkan jasa lembaga keuangan, dan sebaliknya industri keuangan juga tidak
dibebani kewajiban untuk melakukan identifikasi transaksi nasabahnya.
Secara politis, pembangunan rezim anti pencucian uang
telah menjadi bagian penting dalam pembangunan politik dalam negeri maupun
internasional. Pembangunan politik dalam negeri menuntut adanya good governance dalam setiap proses
penyelenggaraan negara. Pengawasan pembangunan politik melalui pendekatan rezim
anti-pencucian uang, khususnya terhadap isu politik uang, akan memberikan
kontribusi yang positif dalam proses pembangunan politik itu sendiri.
Indonesia sebagai bagian integral dari masyarakat
internasional senantiasa berupaya melaksanakan tata pergaulan internasional agar
dapat secara seimbang dan proporsional duduk bersama dengan negara-negara lain.
Sehubungan dengan itu, pembangunan rezim anti pencucian uang merupakan
kebutuhan bersama seluruh negara-bangsa untuk diterapkan dalam sistem hukum
masing-masing.
Dalam konteks pembangunan rezim anti-pencucian uang
yang efektif, disadari bahwa tidak cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban
ini tanpa didukung adanya perbaikan sistem administrasi kependudukan yang “up to date” dan kredibel. Penatausahaan
data kependudukan yang informatif dan kredibel, di samping membantu stakeholder
dalam melaksanakan tugasnya juga memudahkan bagi pihak yang berwenang untuk
melakukan pengawasan.
Secara sosiologis atau dari sudut pandang masyarakat,
penerapan rezim anti-pencucian uang masih menghadapi hambatan. Masyarakat
pengguna jasa (nasabah) masih memandang bahwa penerapan Prinsip Mengenali
Pengguna Jasa (Know your customer -
KYC) oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) menimbulkan keengganan untuk
bertransaksi di PJK. Sebaliknya, PJK juga memiliki kekhawatiran akan kehilangan
nasabah. Pada awalnya hampir di semua negara, penerapan KYC sebagai bagian dari
pembangunan rezim anti-pencucian uang mengalami hambatan serupa. Namun
demikian, beberapa tahun kemudian penerapan KYC tersebut lambat laun akan
menjadi suatu kebiasaan dan keharusan.
Kekhawatiran ini dapat dimaklumi mengingat kurangnya
perhatian dari nasabah dan tidak serentaknya PJK dalam menerapkan prinsip KYC
pada nasabah. Sebagai contoh adanya nasabah yang mengurangi aktifitasnya dalam
melakukan transaksi keuangan sejak PJK menerapkan prinsip KYC. Kondisi ini
merupakan “potential problem” karena
memberikan peluang kepada nasabah untuk menolak memberikan informasi, dan
selanjutnya memindahkan dananya ke PJK yang belum sepenuhnya menerapkan prinsip
KYC. Di samping itu, skala usaha PJK khususnya bank juga merupakan salah satu
faktor penghambat dalam menerapkan prinsip KYC. Sebagai contoh salah satu bank
terbesar di Indonesia memiliki karyawan lebih dari 21.000 dengan 800 kantor
cabang dan 8 juta nasabah di seluruh Indonesia. Dengan skala usaha seperti itu
sulit dilakukan langkah-langkah yang dapat menunjang efektivitas penerapan
prinsip KYC seperti pendataan profile dari seluruh nasabah yang sudah ada.
Sementara itu, pelatihan untuk karyawan dan pengadaan sistem informasi
membutuhkan persiapan yang cukup baik dari segi waktu, dana, dan keahlian.
Dampak yang dihadapi PJK pada saat menerapkan prinsip
KYC antara lain: nasabah tidak mau mengisi formulir KYC yang sudah dikirimkan;
nasabah cenderung tidak jujur dalam mengisi data penghasilan (sumber dan
jumlah); nasabah sulit ditemui (misalnya berada atau sering di luar negeri);
dan nasabah berkeberatan memberikan slip gaji karena mereka beranggapan bahwa
mereka beranggapan bahwa mereka adalah nasabah penyimpan dana bukan peminjam
dana.
Sementara itu, bagi masyarakat selaku nasabah dari PJK
masih dirasakan belum memberikan perhatian penuh terhadap peraturan KYC. Hal
ini merupakan kendala utama yang dihadapi seluruh PJK dalam menerapkan prinsip
KYC. Selama nasabah belum memiliki kemauan untuk bekerja sama dengan memberikan
informasi yang dibutuhkan, maka PJK belum dapat menerapkan seluruh ketentuan
KYC. Tidak adanya keinginan nasabah untuk bekerja sama dengan PJK dalam
penerapan prinsip KYC antara lain karena: nasabah merasa tidak nyaman dan takut
rahasia keuangannya diketahui oleh pihak lain misalnya disalahgunakan sebagai
objek pajak; pengisian formulir KYC merepotkan nasabah dan dirasa terlalu
berlebihan (misalnya data mengenai jabatan, nama ibu kandung, hobby, pinjaman
bank lain); nasabah merasa tidak memperoleh manfaat dari pengisian KYC; nasabah
merasa PJK terlalu mau tahu masalah internal nasabah; dan nasabah yang memiliki
dana di beberapa PJK tidak bersedia mengisi KYC karena PJK lainnya belum
menerapkan prinsip KYC.
Sebagaimana telah disinggung di atas, arti penting
pelaksanaan rezim anti pencucian uang melalui penerapan KYC adalah:
1.
Bagi PJK, antara
lain dapat: menciptakan PJK yang sehat, karena terhindar dari risiko
operasional, hukum, terkonsentrasinya transaksi, dan reputasi; terhindar dari
sanksi pidana baik pidana penjara dan denda, serta sanksi administratif sampai
dengan pencabutan izin usaha; membantu penegakan hukum dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pencucian uang dan
tindak pidana lainnya; dan dengan adanya kestabilan ekonomi dan sistem
keuangan, serta meningkatnya integritas sistem keuangan khususnya perbankan di
baik mata nasional dan internasional karena tidak digunakan sebagai sasaran dan
saran pencucian uang, maka dengan sendirinya dapat menciptakan industri
perbankan yang kompetitif dalam skala internasional.
2.
Bagi nasabah,
antara lain dapat: memberikan rasa aman dalam bertransaksi karena tidak
memiliki kekhawatiran terhadap PJK yang dipakai bertransaksi dikenai sanksi
sampai penutupan usaha; transaksi yang dilakukan bisa berjalan dengan lancar;
tidak adanya kekhawatiran dananya dibekukan karena PJK yang bersangkutan telah
menerapkan KYC; memberikan kemudahan dalam bertransaksi antara lain pembukaan Letter of Credit tidak menemui hambatan
di bank korespondennya karena adanya kepercayaan dari bank korespondennya di
luar negeri; secara tidak langsung telah memberikan edukasi dalam bidang
penegakan hukum kepada masyarakat; dengan melaksanakan aturan prinsip mengenal
nasabah secara konsisten, di samping jalinan kemitraan dengan PJK semakin
meningkat tetapi juga tidak adanya kecurigaan bahwa si nasabah menguasai harta
kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana.
Untuk dapat membangun rezim anti-pencucian uang yang
efektif, perlu melibatkan peran serta semua komponen masyarakat khusunya
masyarakat pengguna jasa keuangan, industri keuangan dan industri lain yang
terkait dengan keuangan, regulator, aparat penegak hukum dan pemerintah. Hal
ini diperlukan untuk mengantisipasi pelaku pencucian uang yang selalu mencari
celah dalam upaya menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatannya.
Menyadari hal ini, FATF dalam rekomendasinya telah
menetapkan pihak pelapor lain, selain PJK, seperti lembaga atau profesi serta
penyedia barang dan jasa wajib juga menerapkan prinsip mengenal pengguna jasa
dan atau kewajiban untuk melaporkan transaksi keuangan mencurigakan kepada FIU.
Indonesia, sebagai bagian masyarakat internasional tentu berperan aktif dalam
mendukung dan melaksanakan sesuatu yang memberikan kemanfaatan nasional. Secara
internasional, bagi negara-negara yang tidak memenuhi rekomendasi FATF dan
negara yang bersangkutan rentan dengan terjadinya pencucian uang, maka FATF
pada waktu yang lalu memasukkannya ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) atau negara yang
tidak kooperatif terhadap pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Terhadap
negara-negara yang oleh FATF dimasukkan dalam masyarakat internasional. Dengan
kata lain, keengganan negara-negara lain untuk membuka diri dan bergaul dengan
negara-negara yang dimasukkan dalam daftar NSSTs, akan berdampak buruk secara
politis dan ekonomis bagi negara bersangkutan.
Dalam lingkup domestik, organisasi kejahatan yang
biasa melakukan pencucian uang dapat mempengaruhi sistem politik suatu negara.
Melalu sumbangan dana terhadap calon kepala pemerintahan pusat dan daerah dalam
proses Pemilihan Umum misalnya, organisasi kejahatan dapat mempengaruhi
program-program kerja yang akan dilaksanakan oleh kandidat bersangkutan.
Apabila kandidat tersebut terpilih, sudah dapat dibayangkan kebijakan apa yang
akan dilaksanakan. Besar kemungkinan bahwa kebijakan tersebut akan memberi
keuntungan bagi organisasi kejahatan yang telah berjasa tersebut.
Dengan demikian, untuk lebih memberikan dasar pijakan
yang kuat dalam penerapannya, maka perlu penyusunan dasar hukum pelaksanaan KYC
dan atau kewajiban pelaporan berikut sanksi hukumnya, dan adanya dukungan
semua, Pemerintah pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya, seperti
kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat, Akademisi, dan masyarakat pengguna jasa
keuangan.
Revisi UU TPPU diharapkan dapat menata dan memastikan
pentingnya penerapan KYC dan kepatuhan pihak-pihak yang memiliki kewajiban
pelaporan, serta memenuhi komitmen Indonesia dalam pergaulan internasional.
Kegagalan dalam membangun rezim anti pencucian uang melalui penyusunan UU TPPU
yang komprehensif, dapat berakibat menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum nasional dan mempengaruhi penilaian terhadap Indonesia
di mata internasional.
C. Dasar Yuridis
Penyusunan
RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dilatarbelakangi oleh kesadaran
adanya kelemahan pengaturan dan penegakan hukum UU TPPU. Kendali yuridis
tersebut antara lain adanya multi interpretasi terhadap rumusan delik TPPU
dalam UU TPPU, banyaknya “loopholes”
dan kurang tegasnya rumusan mengenai pemberian sanksi atau ancaman hukuman yang
diyakini sebagai salah satu penyebab kurang efektifnya pelaksanaan atau
penegakan hukum TPPU. Hal ini menunjukkan, bahwa pengaturan mengenai tindak
pidana pencucian uang belum menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum dalam
masyarakat. Dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang,
maka perlu adanya kepastian hukum dan penegakan hukum yang berkeadilan yang
harus dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.
Perlunya
revisi atau kaji ulang kebijakan formulasi perundang-undangan di bidang
pencegahan dan pemberantasan TPPU, juga dipicu oleh perkembangan pembangunan
rezim anti-pencucian uang di dunia internasional terutama pasca dikeluarkannya revised 40 reccomendations dan 9 special recommendations (revised 40+9)
FATF.
Salah
satu dari 40 rekomendasi tersebut, adalah perlunya memperluas lingkup pihak
melapor (reporting parties) yang
wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR)
kepada FIU seperti PPATK. Rekomendasi FATF No. 16 dengan tegas menyatakan agar
pengacara, notaris, profesi hukum lainnya, akuntan publik, pedagang
barang-barang berharga dan perhiasan, serta lembaga profesi lainnya diminta
untuk melaporkan LTKM/STR.
Penyusunan
RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi
semakin strategis dan relevan dengan telah diratifikasinya International Convention for the Suppression of the Financing of
Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme
Tahun 1999) berdasarkan UU No. 6 Tahun 2006 dan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi) berdasarkan UU No. 7 Tahun 2006.
Dengan telah diratifikasinya kedua konvensi internasional tersebut, maka
pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memenuhi semua kewajiban yang diatur
oleh kedua konvensi dan menyampaikan country
report yang memuat upaya tindak lanjut dari ratifikasi kedua konvensi
tersebut.
Salah
satu kewajiban sesuai Pasal 2 Konvensi PBB mengenai Pemberantasan Pendanaan
Terorisme, adalah penerapan kewajiban bagi lembaga keuangan untuk melaporkan
transaksi yang mencurigakan kepada instansi berwenang serta bekerja sama untuk
saling tukar-menukar informasi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan aliran
dana untuk tindak pidana terorisme. Konvensi PBB mengenai Pencegahan Pendanaan
Terorisme juga mewajibkan setiap “negara pihak” (state party) untuk mengatur pengidentifikasian, pendeteksian, dan
pembekuan dana yang digunakan untuk membiayai tindak pidana terorisme. Dengan
telah diratifikasinya Konvensi Anti Korupsi sebagaimana diuraikan di atas maka
pemerintah Indonesia harus memenuhi segala kewajiban yang timbul sebagai “negara
pihak” karena telah menandatangani perjanjian internasional tersebut. Salah
satu kewajiban yang diatur dalam konvensi tersebut antara lain mengenai
upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang sudah tentu terkait erat
dengan TPPU.
D. Dasar Ekonomi
Besarnya perhatian masyarakat internasional terhadap
aktivitas pencucian uang terutama karena pengaruh buruk yang ditimbulkannya,
antara lain berupa instabilitas sistem keuangan, sistem perekonomian negara dan
bahkan dunia secara keseluruhan mengingat aktifitas pencucian uang sebagai
suatu kejahatan transnasional (transnational
crime) yang modusnya banyak melintasi batas-batas negara (cross border).
Namun demikian, perhatian masyarakat internasional
tersebut bukan merupakan satu-satunya alasan lahirnya kesadaran mengenai
pentingan pembangunan rezim anti-pencucian uang di Indonesia. Karena disadari
pula, bahwa berkembangnya aktifitas pencucian-pencucian uang memberikan
insentif atau kemudahan bagi pelaku pencucian uang untuk meningkatkan kejahatannya
(predicate crime) seperti korupsi,
perdagangan gelap narkotika, penyelundupan, pembalakan liar (illegal logging) dan berbagai kejahatan
lainnya. Kejahatan-kejahatan tersebut dapat melibatkan atau menghasilkan uang
atau aset (proceeds of crime) yang jumlahnya
sangat besar.
Kegiatan pencucian uang secara langsung memang tidak
merugikan orang tertentu atau perusahaan tertentu, atau dengan kata lain
sepintas lalu tidak ada korbannya. Tidak seperti halnya perampokan, pencurian,
atau pembunuhan yang ada korbannya dan sekaligus menimbulkan kerugian bagi
korbannya itu sendiri. Oleh sebab itu, Billy Steel mengemukakan bahwa money laundering: ‘it seems to be a victimless crime”.
John McDowell dan Gary Novis dari Bureau of International Narcotics and Enforcement Affairs, US
Department of State mengemukakan, bahwa “Money
laundering has potentially devastating economic, security, and social
consequences”. Selanjutnya, dijelaskan pula beberapa dampak negatif
pencucian uang sebagai berikut:
1.
Undermining the Legitimate Private Sector (merongrong sektor swasta yang sah). Untuk
menyembunyikan dan mengaburkan hasil-hasil kejahatannya, para pencuci uang
seringkali menggunakan perusahaan-perusahaan tertentu untuk mencampuradukkan
uang haram dengan uang yang sah. Perusahaan-perusahaan yang diciptakan untuk
melakukan pencucian uang mengelola dana dalam jumlah besar, yang digunakan
untuk mensubsidi barang-barang dan jasa-jasa yang akan dijual di bawah harga
pasar. Bahkan, perusahaan-perusahaan tersebut dapat menawarkan barang-barang
pada harga di bawah biaya produksi. Dengan demikian perusahaan-perusahaan
sejenis yang bekerja secara sah. Sebagai konsekuensinya bisnis yang sah kalah
bersaing dengan perusahaan-perusahaan tersebut sehingga dapat mengakibatkan
perusahaan-perusahaan yang sah menjadi bangkrut atau gulung tikar.
2.
Undermining the Integrity of Financial Markets (merongrong integritas pasar-pasar keuangan).
Likuiditas dari lembaga-lembaga keuangan (financial
institutions) seperti bank akan menjadi buruk apabila dalam operasionalnya
cenderung mengandalkan dana hasil kejahatan. Misalnya, hasil kejahatan
pencucian uang dalam jumlah besar yang baru saja ditempatkan pada suatu bank,
namun tiba-tiba ditarik dari bank tersebut tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Akibatnya bank tersebut mengalami masalah likuiditas yang cukup serius (liquidity risk).
3.
Loss of Control of Economic Policy (hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan
ekonomi). Michel Camdessus, mantan managing
director IMF, memperkirakan bahwa jumlah uang haram yang terlibat dalam
kegiatan pencucian uang sekitar 2 hingga 5 persen dari gross domestic product dunia, atau sekurang-kurangnya US$ 600.000
juta. Apabila uang haram dalam jumlah besar ini masuk dalam sirkulasi ekonomi
dan perdagangan suatu negara, khususnya negara berkembang atau negara ketiga,
hal itu akan mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan
ekonominya.
Selain itu,
pencucian uang dapat pula menimbulkan dampak negatif terhadap nilai mata uang
dan tingkat suku bunga karena uang haram yang telah diinvestasikan secara cepat
ditarik untuk ditempatkan kembali di negara-negara yang tingkat keamanan atau
kerahasiaannya cukup ketat. Dana investasi yang bersifat sementara itu akan
menyulitkan otoritas dalam mewujudkan nilai mata uang dan suku bunga yang
stabil sesuai dengan yang diharapkan. Dalam pada itu, pencucian uang dapat
meningkatkan ancaman terhadap ketidakstabilan moneter sebagai akibat terjadinya
misalokasi sumber daya (misallocation of
resources) karena distorsi-distorsi aset dan harga-harga komoditas banyak
direkayasa.
Singkatnya,
pencucian uang dan kejahatan di bidang keuangan (financial crime) dapat mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya terhadap jumlah permintaan terhadap
uang (money demand) dan meningkatkan
volatilitas dari arus modal internasional (international
capital flows), suku bunga, dan nilai tukar mata uang. Sifat pencucian uang
yang tidak dapat diduga itu menyebabkan hilangnya kendali pemerintah terhadap
kebijakan ekonominya, sehingga ekonomi yang sehat sulit tercapai.
4.
Economic Distortion and Instability (timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi).
Penanaman dana hasil kejahatan untuk tujuan pencucian uang bukan semata-mata
untuk mencari keuntungan, tetapi mereka lebih tertarik untuk melindungi hasil
kejahatannya. Pencuci uang tidak mempertimbangkan apakah dana yang
diinvestasikan tersebut bermanfaat bagi negara penerima dana atau investasi.
Akibat sikap mereka seperti itu mengakibatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara
dapat terganggu. Misalnya, industri konstruksi dan perhotelan di suatu negara
dibiayai oleh pencuci uang bukan karena adanya permintaan yang nyata (actual demand) di sektor-sektor
tersebut, tetapi karena terdorong oleh adanya kepentingan-kepentingan jangka
pendek. Dalam hal pencuci uang merasa terganggu kepentingannya, setiap saat
mereka dapat menarik investasinya yang pada akhirnya mengakibatkan
sektor-sektor usaha tersebut ambruk dan memperparah kondisi ekonomi negara
bersangkutan.
5.
Loss of Revenue (hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak). Pendapatan
pajak pemerintah bisa berkurang karena kaburnya dana hasil kejahatan. Biasanya
pemerintah setiap tahun telah mentargetkan pendapatan pajaknya. Dalam hal harta
kekayaan yang menjadi objek pajak dipindahkan ke luar yuridiksi mengakibatkan
target perolehan pajak tidak tercapai. Untuk memenuhi target ini, pemerintah
membuat kebijakan untuk meningkatkan tarif pengenaan pajak yang dapat merugikan
wajib pajak lainnya (higher tax rates).
6.
Risks to Privatization Efforts (risiko pemerintah dalam melaksanakan program
privatisasi). Pelaku pencucian uang dapat mengancam upaya pemerintah dalam
melaksanakan program privatisasi. Dengan kepemilikan dana yang cukup besar,
mereka dapat membeli saham-saham perusahaan negara yang diprivatisasi meskipun
harganya jauh lebih tinggi daripada calon-calon pembeli yang lain. Hal ini
dilakukan semata-mata untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatannya,
dan bukan untuk memperoleh keuntungan melalui investasi tersebut.
7.
Reputation Risk
(merusak reputasi negara). Maraknya kegiatan pencucian uang dan kejahatan di
bidang keuangan (financial crimes) di
suatu negara dapat mengakibatkan terkikisnya kepercayaan pasar terhadap sistem
dan instituai keuangan negara yang bersangkutan. Rusaknya reputasi tersebut
dapat mengakibatkan hilangnya peluang-peluang bisnis yang sah. Hal tersebut
pada gilirannya bisa mengganggu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
8.
Social Cost (menimbulkan
biaya sosial yang tinggi). Hasil-hasil kejahatan yang telah dicuci oleh pelaku
kejahatan, besar kemungkinan akan dimanfaatkan kembali untuk memperluas
aksi-aksi kejahatan mereka. Sebagai konsekuensinya, pemerintah akan
mengeluarkan biaya tambahan untuk kegiatan penegakan hukum dan dampak-dampak
lain yang ditimbulkannya. Apabila hasil kegiatan pencucian uang itu jumlahnya
besar dapat dimanfaatkn oleh pelaku pencuci uang mengalihkan kekuatan ekonomi,
bahkan mengendalikan atau mengambil alih pemerintah berkuasa.
Sementara
itu, International Money Fund (IMF)
juga mencatatkan beberapa implikasi makroekonomi sebagai akibat dari pencucian
uang yang dapat menyebabkan terjadinya:
i.
Kesalahan
kebijakan karena kesalahan pengukuran data statistik makroekonomi
ii.
Volatilitas pada
nilai tukar dan tingkat suku bunga karena besarnya transfer dana secara cross-border
iii.
Perkembangan liability base yang tidak stabil dan
struktur-struktur aset lembaga keuangan yang tidak sehat telah menimbulkan
resiko sistemik yang pada gilirannya akan mengakibatkan ketidakstabilan
moneter.
iv.
Dampak buruk
dari pengumpulan pajak dan juga dari pembelanjaan publik karena terjadinya
pelaporan yang direkayasa dan pelaporan mengenai pendapatan yang dibuat lebih
rendah dari yang semestinya.
v.
Mis-alokasi
sumber-sumber daya karena terjadinya distorsi nilai aset dan harga-harga
komoditas.
vi.
Dampak-dampak
negatif terhadap transaksi-transaksi yang sah karena transaksi-transaksi itu
diduga telah terkontaminasi oleh praktik-praktik pencucian uang.
Dalam
pendekatan anti rezim pencucian uang, pengejaran uang (follow the money) terhadap hasil kejahatan merupakan cara mudah dan
efektif dalam mengungkap kejahatan dan pelakunya, karena:
i.
Pengejaran aset
ini bersifat netral atau tidak terlalu beresiko jika dibandingkan dengan
pengejaran pelaku kejahatan, yang biasanya memiliki kekuatan (power) atau pengaruh. Pengejaran aset
ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan si pemilik aset, sehingga lebih aman
dilakukan; dan
ii.
Pengeluaran aset
pada dasarnya mengikuti kecenderungan sifat manusia sebagai makhluk homo economicus dan karena itu manusia acapkali
melakukan tindak pidana dengan alasan mencari keuntungan dalam bentuk
materi/uang. Dengan dilakukannya pengejaran aset hasil kejahatan diharapkan
motivasi untuk melakukan kejahatan akan berkurang.
Dari apa
yang telah diuraikan di atas, dapatlah ditarik benang merah bahwa penegakan
hukum TPPU berbanding lurus dengan perkembangan ekonomi nasional. Diasumsikan
bahwa semakin meningkatnya penegakan hukum TPPU akan berpengaruh positif
terhadap perkembangan ekonomi nasional. Dengan meningkatnya penegakan hukum
ini, maka kepastian hukum, ketertiban dan keadilan menjadi lebih baik serta
tingkat kriminalitas pun menjadi berkurang, dan pada gilirannya stabilitas
maupun tingkat kepercayaan masyarakat kepada sistem keuangan menjadi lebih
baik.
Bagi PJK
yang merupakan salah satu komponen dalam sistem keuangan, akan dapat memberikan
manfaat maksimal kepada pemegang saham, karyawan, masyarakat dan pemerintah.
Bagi pemegang saham dapat memperoleh keuntungan berupa deviden atau capital gain, sedangkan terhadap
karyawan dapat meningkatkan penghasilan. Di sisi lain, masyarakat akan
memperoleh manfaat antara lain terbukanya lapangan kerja, secara optimal dapat
memanfaatkan fasilitas atau layanan lembaga keuangan seperti kredit atau
pembiayaan dan juga membantu memperlancar kegiatan ekonomi lainnya. Sedangkan
bagi pemerintah, di samping memperoleh manfaat dari pengumpulan pajak untuk
membiayai pembangunan nasional, juga dapat membantu dalam melaksanakan
kebijakan ekonomi.
Bagi pelaku
ekonomi, situasi yang kondusif tersebut dapat menggerakkan sektor rill berupa
kemudahan dalam menjalankan usahanya. Peranan sistem keuangan menjadi sangat
penting karena dapat menunjang perkembangan kegiatan ekonomi pun menjadi lebih
baik, misalnya kredit dan pembiayaan lebih banyak diberikan. Sistem pembayaran
melalui PJK menjadi lancar. Kegiatan dari sektor rill juga menjadi terdorong
untuk bergerak dalam kegiatan investasi dan produksinya. Kegiatan produksi ini
membuka lapangan kerja, sehingga pengangguran berkurang, keamanan dan
ketertiban menjadi lebih baik. Di sisi lain, kegiatan produksi ini melahirkan
barang dan jasa yang dapat dikonsumsi di dalam negeri atau diekspor ke luar
negeri. Sudah tentu hal ini menimbulkan penghasilan dari devisa yang bermanfaat
untuk bangsa dan negara. Dengan meningkatnya produksi barang dan jasa, maka
terjadilah pertumbuhan ekonomi yang membuat Produk Domestik Bruto (PDB)
meningkat yang pada gilirannya meningkatkan juga pendapatan perkapita
masyarakat.
Bagi
pemerintah, dengan adanya kegiatan ekonomi yang baik akan meningkatkan
penghasilan dan keuntungan masyarakat dan pengusaha. Hal tersebut menimbulkan
konsekuensi positif yaitu meningkatnya penghasilan negara karena meningkatnya
pendapatan dari sektor pajak. Pendapat negara dari sektor pajak ini sangat
penting untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang berkesinambungan
dan pada akhirnya akan membuat kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat
Indonesia meningkat. Di samping itu, dengan adanya situasi yang aman dan
sejahtera akan sangat membantu pemerintah di dalam menjalankan roda
pemerintahan dan pembangunan yang baik dan efektif dengan menerapkan good governance. Dengan penegakan hukum
TPPU yang konsisten, maka akan dapat diperoleh harta kekayaan hasil tindak
pidana yang disita oleh negara, sehingga negara memperoleh tambahan pendapatan
yang cukup berarti untuk kegiatan yang bermanfaat.
Sebagai
perbandingan, pembangunan rezim anti pencucian uang di Australia berorientasi
untuk meningkatkan pendapatan pajak negara, sehingga terlihat sekali banyak
kasus tax evision yang berhasil
diungkap dan penghasilan negara dari perpajakan semakin meningkat. Walaupun
latar belakang UU TPPU tidak sama seperti di Australia, tetapi tindak pidana
perpajakan di Indonesia merupakan salah satu tindak pidana asal pencucian uang
(predicate crime). Dengan demikian
diharapkan juga bahwa dengan adanya penegakan hukum pemberantasan pencucian
uang, maka penghasilan negara dari sektor pajak menjadi meningkat. Di sisi
lain, dengan penegakan hukum yang konsisten yang menurunkan angka kriminalitas,
secara mikro kegiatan ekonomi menjadi lebih efisien karena ekonomi biaya tinggi
yang ditimbulkan oleh para pelaku kriminal menjadi berkurang.
Begitu
luasnya dampak pencucian uang terhadap perekonomian, menuntut adanya upaya
pencegahan dan pemberantasan pencucian uang yang serius bagi setiap negara, yang
dimulai dari pembangunan kerangka hukum yang komprehensif. Oleh karena itu,
evaluasi perundang-undangan melalui amandemen UU TPPU menjadi suatu keharusan
yang tidak dapat ditunda-tunda lagi dalam hal adanya tuntutan perubahan guna
penyempurnaan.
BAB III
RUANG LINGKUP REVISI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
RUANG LINGKUP REVISI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
A.
Redefinisi Pengertian atau Peristilahan
Untuk menghindari beragam penafsiran perlu dilakukan
redefinisi mengenai pengertian atau peristilahan dalam peraturan perundang-undangan
TPPU sehingga terdapat batasan dan kejelasan makna serta tidak menimbulkan
celah hukum (loopholes). Redefinisi
pengertian dan peristilahan juga perlu dilakukan sehingga praktek yang
berkembangnya selama ini akan memiliki landasan hukum yang kuat seperti
pengertian mengenai:
1. Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM)
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002
tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003
menyebutkan bahwa:
Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
a.
Transaksi
keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola
transaksi dari nasabah yang bersangkutan.
b.
Transaksi
keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini, dan
c.
Transaksi keuangan
yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang
diduga berasal dari Hasil Tindak Pidana.
Sehubungan
dengan itu, redefinisi pengertian mengenai TKM mutlak perlu dilakukan karena
adanya tuntutan pengayaan informasi yang diperlukan PPATK dalam kegiatan
analisis dan untuk penyesuaian terhadap perluasan pihak-pihak yang harus
melaporkan TKM.
Di samping
itu, database yang dimiliki dan
dikelola oleh PPATK saat ini masih terbatas. Untuk mengatasi hal tersebut dan
dalam mendukung upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat yang
berwenang, maka PPATK mengambil inisiatif untuk menelusuri dan meminta informasi
yang dibutuhkan tersebut langsung kepada PJK. Laporan atau informasi yang
diberikan oleh PJK berdasarkan permintaan PPATK kiranya dapat dikualifikasi
sebagai TKM.
Dengan
demikian transaksi yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor
karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana
masuk dalam pengertian dan atau dikategorikan sebagai TKM.
2. Transaksi Keuangan Tunai
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002
tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003
menyebutkan bahwa:
Transaksi Keuangan yang dilakukan secara tunai adalah
transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan tunai
atau instrumen pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.
Pengertian transaksi keuangan tunai dalam Pasal 1
angka 8 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tersebut perlu dikaji ulang karena
mengandung pengertian yang sangat luas, yaitu mencakup instrumen pembayaran (monetary instruments) seperti cek, giro,
dan traveller cheque. Pelaksanaan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tunai
sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang yang berlaku sekarang ini membebani PJK
karena intensitas transaksinya yang begitu tinggi.
B.
Penyempurnaan Pengaturan TPPU
1. Penyederhanaan Rumusan Delik TPPU
Rumusan kriminalisasi perbuatan pencucian uang dinilai
oleh berbagai kalangan baik praktisi maupun akademisi sebagai salah satu
penyebab lemahnya penegakan hukum TPPU. Rumusan delik pencucian uang tersebut
mengandung terlalu banyak unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan. Selain
itu, rumusan tersebut juga terkesan banyak duplikasi yang akhirnya menimbulkan
kesulitan dalam hal pembuktian. Salah satunya adalah delik TPPU menurut Pasal 3
ayat (1) UU No. 15/2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No.
25/2003 yang menyebutkan sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a.
Menempatkan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama
pihak lain.
b.
Mentransfer
Harta Kekayaan yang diketahuinya atas patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain.
c.
Membayarkan atau
membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama
pihak lain.
d.
Menghibahkan
atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak
lain.
e.
Menitipkan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain.
f.
Membawa ke luar
negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, atau
g.
Menukarkan atau
perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya.
Dengan maksud
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana
pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Untuk itu, rumusan delik pencucian uang dimaksud perlu
disempurnakan sehingga menjadi lebih sederhana, jelas dan memudahkan dalam
pembuktian unsur-unsurnya dengan tetap mengacu pada standar internasional
seperti yang ada dalam United Nations
Model Law on Money Laundering and Proceed of Crime Bill 2003 (UN Model).
2. Kriminalisasi Perbuatan Lain yang Terkait dengan
Pencucian Uang
Sesuai dengan UN Model tersebut, rumusan delik
pencucian uang perlu pula diperluas hingga mencakup pemidanaan terhadap orang
yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukkan,
pengalihan hak-hak atau kepemilikan sebenarnya atas harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Hal ini
dimaksudkan agar ruang gerak pelaku pencucian uang lebih terbatas dan dapat
dikenai sanksi pidana pencucian uang, sejalan dengan ketentuan dalam UN Model
yang menyebutkan antara lain:
“… the following shall be regarded as money
laundering:
a) ……………
b) The
concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition,
movement, or ownership of property”.
c) ……………”
Sebagai
alternatif rumusan delik yang sejalan dengan UN Model tersebut di atas sebagai
berikut:
Setiap
orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan sebenarnya atas Harta Kekayaan
yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, dipidana
karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama … dan denda paling sedikit… dan paling banyak…
C.
Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan
1. Perluasan Pengertian Pihak Pelapor (Reporting Parties)
yang akan mencakup Profesi (Profession) dan Penyedia Barang/Jasa (Designated
Non-Financial Business)
Pihak pelapor yang wajib melaporkan transaksi keuangan
mencurigakan dan/atau transaksi keuangan tunai menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku sekarang ini hanya sebatas Penyedia Jasa
Keuangan (PJK). Di negara-negara seperti Perancis, Romania, Kanada, Eropa
(Belgia, Belanda, Spanyol), Italia, dan Australia, Pihak Pelapor yang wajib
menyampaikan LTKM telah diperluas hingga mencakup profesi (profession) dan penyedia barang/jasa (designated non-financial business).
UU TPPU menyatakan bahwa PJK adalah “setiap orang yang
menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan
keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan,
perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan
asuransi, dan kantor pos.
Sekalipun pengertian PJK sebagaimana dimaksud oleh UU
TPPU sudah cukup luas, namun dalam pelaksanaannya tidak bisa serta merta
diterapkan terhadap penyedia jasa yang terkait dengan keuangan kecuali yang
telah secara tegas disebutkan dalam pengertian PJK di atas, seperti lembaga
profesi (profession) dan penyedia
barang/jasa (designated non-financial
business). Perluasan pengertian PJK tidak bisa mencakup lembaga profesi dan
penyedia barang/jasa antara lain karena masing-masing memiliki karakteristik
kegiatan usaha yang berbeda.
Merujuk pada Rekomendasi FATF No. 16, profesi-profesi
tertentu seperti advokat, notaris, akuntan publik, kurator kepailitan, Pejabat
Pembuat Akta Tanah dan konsultan bidang keuangan pada saat mempersiapkan atau
melakukan transaksi untuk dan/atau atas nama kliennya harus menyampaikan LTKM
kepada Financial Intelligence Unit
(FIU). Begitu pula halnya dengan penyedia barang/jasa. Berdasarkan Rekomendasi
FATF No. 12, penyedia barang dan jasa harus menyampaikan transaksi keuangan
tunai yang dilakukan oleh pengguna jasa dalam kegiatan-kegiatan antara lain:
a.
Jual beli real estate dan properti.
b.
Pengelolaan
uang, surat berharga, atau harta kekayaan lainnya dari klien.
c.
Pengelolaan
rekening bank dan perusahaan efek.
d.
Keikutsertaan di
dalam pembentukan, pengelolaan perusahaan, pembentukan dan pengelolaan badan
hukum; serta
e.
Jual beli
perusahaan.
Mengingat
luasnya cakupan pihak pelapor berdasarkan Rekomendasi FATF, maka perlu
dirumuskan kembali pengertian pihak pelapor dalam revisi UU TPPU, sehingga
cakupannya meliputi PJK, profesi serta penyedia barang dan jasa.
Di samping
itu, pengertian PJK yang ditetapkan sebagai PJK pelapor dalam UU TPPU belum
mencakup seluruh PJK yang ada dan atau belum mengakomodir perkembangan bisnis
keuangan. Oleh karena itu dalam rangka mengefektifkan pencegahan dan penyedia
jasa giro, penyelenggara kartu kredit dan/atau kartu debit, penyelenggara E-Money dan/atau E-Wallet, koperasi yang melakukan kegiatan simpan-pinjam,
pegadaian, perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan berjangka komoditi,
dan usaha jasa pengiriman uang, perlu dimasukkan sebagai PJK pelapor.
Dengan
dimasukkannya lembaga profesi (seperti advokat, notaris, akuntan publik,
kurator kepailitan, Pejabat Pembuat Akta Tanah dan konsultan bidang keuangan)
dan penyedia barang dan/atau jasa lainnya (seperti perusahaan properti/agen
properti, dealer mobil, perdagangan permata dan perhiasan/logam mulia, pedagang
barang seni dan antik, atau balai lelang) sebagai PJK sebagai pihak pelapor,
akan memberikan landasan hukum dan kejelasan mengenai peran dari pihak-pihak
yang memiliki kewajiban hukum berikut sanksi yang dapat dikenakan. Di samping
itu, adanya perluasan pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan akan
semakin memperbanyak jumlah pelaporan, volume data base bertambah, dan bahan analisis semakin “kaya”, yang
akhirnya hasil analisis secara optimal dapat dimanfaatkan oleh penegak hukum
untuk pencegahan dan pemberantasan TPPU.
2. Pengukuhan Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Customer)
Prinsip
Mengenali Pengguna Jasa (Know Your
Customer) merupakan instrumen terpenting yang mendukung penerapan UU TPPU.
Substansi dari prinsip ini mengatur kebijakan dan prosedur mengenai:
a.
Identifikasi
pengguna jasa.
b.
Penerimaan
pengguna jasa.
c.
Pemantauan
transaksi.
d.
Pelatihan
pegawai.
e.
Pengendalian
intern, serta
f.
Audit internal
dan eksternal yang dilaksanakan secara independen
Dengan
penerapan KYC, perbankan memiliki peranan yang sangat penting dalam
penanggulangan TPPU, baik dari aspek preventif maupun aspek represif. Dari
aspek preventif (pencegahan), semakin komprehensif dan efektif penerapan KYC
oleh bank, maka semakin sempit ruang gerak para pelaku kejahatan untuk
melakukan pencucian uang melalui bank. Sedangkan dari aspek represif
(penghukuman), dengan terjadinya transaksi keuangan mencurigakan maka akan
mudah diidentifikasi dan dilaporkan kepada pihak yang berwenang (PPATK),
sehingga dapat menjadi sumber informasi yang memungkinkan langkah penegakan hukum
terhadap TPPU. Dengan kata lain, keberhasilan penerapan KYC dan pemenuhan
kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan oleh perbankan dan lembaga keuangan
lainnya merupakan penentu awal dari keberhasilan penangan tindak pidana
pencucian uang (TPPU).
Pada saat
ini pengaturan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Customer) ditetapkan melalui peraturan yang dikeluarkan
oleh lembaga yang berwenang melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap jasa
keuangan seperti Bank Indonesia, Bapepam, dan Departemen Keuangan.
Dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, prinsip tersebut belum
diatur secara eksplisit sehingga dirasakan kurang memberikan landasan hukum
yang kuat bagi otoritas yang berwenang dalam mengeluarkan peraturan Prinsip
Mengenali Pengguna Jasa (Know Your
Customer). Oleh karena itu, perlu adanya landasan hukum yang jelas bagi
otoritas (pengawas dan pengatur pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan)
dalam mengeluarkan peraturan mengenai prinsip-prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Customer).
Disadari
bahwa dalam penerapan prinsip tersebut bersinggungan langsung dengan masyarakat
pengguna jasa keuangan atau terkait dengan keuangan yang memiliki implikasi
hukum, sehingga perlu adanya pengaturan secara jelas terhadap kewajiban
pengguna jasa keuangan atau terkait dengan keuangan dalam UU TPPU agar
pelaksanaan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Customer) lebih efektif.
Ketentuan
tersebut penting untuk dapat menguraikan kewajiban-kewajiban pokok apa saja
yang harus dipenuhi seperti kewajiban memberikan informasi yang benar, yang
sekurang-kurangnya meliputi identitas diri, sumber dana dan tujuan dilakukannya
transaksi termasuk kewajiban melampirkan dokumen pendukungnya. Sebaliknya,
pengaturan tersebut juga perlu diberlakukan terhadap pihak lain apabila
transaksi dilakukan untuk dan atas nama pihak lain tersebut. Untuk memenuhi
prinsip keseimbangan maka kewajiban tersebut berlaku juga terhadap pihak-pihak
yang memiliki kewajiban pelaporan untuk meminta informasi dan dokumen pendukung
tersebut, sekaligus memberikan kewajiban untuk menolak transaksi (menolak
melakukan hubungan usaha) apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi oleh
pengguna jasa.
3. Penetapan Jenis dan Bentuk Pelaporan untuk Profesi
atau Penyedia Barang dan Jasa Tertentu:
Dengan
diperluasnya pihak yang wajib menyampaikan laporan kepada PPATK, maka revisi UU
TPPU perlu menetapkan jenis laporan yang diharapkan dari profesi dan penyedia
barang dan jasa sebagai pihak pelapor baru. Berdasarkan revised 40+9 FATF Recommendations, hanya satu jenis laporan yang
diwajibkan, yaitu laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM/STR). Sedangkan
pengaturan mengenai penyampaian laporan transaksi keuangan tunai (LTKT)
bersifat melengkapi atau memperkaya sumber informasi dalam rangka deteksi
pencucian uang, sekaligus sebagai upaya untuk mencegah terjadinya instabilitas
sistem keuangan.
Berdasarkan
rekomendasi No. 16 dan 12 FATF di atas, transaksi yang harus laporkan oleh
profesi seperti advokat, notaris, akuntan publik, kurator kepailitan, Pejabat
Pembuat Akta Tanah dan konsultan bidang keuangan adalah:
a)
Transaksi yang
dilakukan menyangkut kegiatan tertentu, yaitu:
i.
Jual beli real estate dan properti
ii.
Pengelolaan
uang, surat berharga, atau harta kekayaan lainnya dari klien
iii.
Pengelolaan
rekening bank dan perusahaan efek
iv.
Keikutsertaan di
dalam pembentukan, dan/atau pengelolaan perusahaan atau badan hukum
v.
Jual beli
perusahaan
b)
Khusus untuk
advokat, konsultan keuangan, dan Kurator Kepailitan, kegiatan tertentu tersebut
di atas dilakukan “untuk dan atas nama klien”.
Agar
laporan transaksi keuangan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif, perlu
juga pengaturan dalam UU TPPU nanti dapat memberikan batasan transaksi (threshold).
Sesuai
dengan rekomendasi FATF di atas, transaksi yang harus dilaporkan oleh penyedia
barang dan jasa adalah transaksi keuangan tunai dalam jumlah tertentu (threshold) yang dilakukan oleh pengguna
jasa, sesuai lingkup kegiatan dari penyedia barang dan jasa antara lain:
a)
Perusahaan properti/agen properti apabila melakukan transaksi jual beli
real estate.
b)
Dealer mobil apabila melakukan jual beli mobil.
c)
Pedagang permata dan perhiasan/logam mulia apabila melakukan jual beli
permata dan perhiasan/logam mulia.
d)
Pedagang barang seni dan antik apabila melakukan jual beli barang seni
dan antik; atau
e)
Balai lelang apabila melaksanakan pelelangan umum.
Agar
cakupannya lebih luas, perlu juga lembaga profesi dan penyedia barang/jasa menyampaikan
laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK, seperti yang dilakukan
oleh pengguna jasa yang bersangkutan, atau transaksi yang dilakukan atau batal
dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil
tindak pidana, serta memenuhi pelaporan transaksi yang diminta oleh PPATK
karena diduga melibatkan harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana.
4. Penambahan Jenis Laporan PJK ke PPATK yaitu International Fund Transfer Instruction
guna memantau Transaksi Keuangan Internasional
Dalam
praktek, perpindahan dana antar yurisdiksi yang berbeda, sudah sedemikian mudah
dan cepat yang dapat melibatkan dana yang jumlahnya tidak terbatas, baik
transfer dari maupun ke luar negeri (incoming
and outgoing transfer). Fasilitas transfer dana internasional ini
memungkinkan pelaku kejahatan untuk secepat mungkin memindahkan hasil
kejahatannya ke negara lain.
Pada saat
ini beberapa negara seperti Australia dan Kanada telah mengatur pelaporan
transfer dana tersebut. Beberapa negara lain seperti Amerika Serikat tengah
melakukan kajian untuk menerapkan pelaporan transfer dana ke luar negeri.
Pelaporan
transfer dana dari dan ke luar negeri sangat bermanfaat di dalam mendeteksi
aliran dana dari dan ke luar negeri, mengingat berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh FATF, transfer dana dari dan ke luar negeri menggunakan sarana wire transfer merupakan modus operasi
yang dominan dilakukan oleh para pelaku pencucian uang. Di samping itu,
pelaporan transfer dana dari dan ke luar negeri akan sangat membantu proses asset tracing dan asset recovery karena langkah-langkah lanjutan penegak hukum akan
semakin cepat yang pada akhirnya tujuan dari pendekatan rezim anti pencucian
uang dapat tercapai yaitu mengejar hasil kejahatan.
Sebagaimana
telah diuraikan di atas, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini
mewajibkan PJK menyampaikan dua jenis laporan ke PPATK, yaitu Laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai. Setelah
mempertimbangkan kebutuhan PPATK dalam memperkaya database dan pemantauan transaksi keuangan internasional, serta
memperhatikan praktek dan kegunaan di negara yang telah menerapkannya, perlu
ditetapkan penambahan jenis laporan dari PJK mengenai transaksi transfer dana
elektronis internasional (International
Fund Transfer Instruction).
5. Pemberian Kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk
Menunda Mutasi atau Pengalihan Aset
Kedudukan
Pihak Pelapor sangat dalam melakukan deteksi awal atas transaksi keuangan
mencurigakan melalui penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle). Peran penting ini sekaligus
menempatkan Pihak Pelapor sebagai mitra strategis di dalam penerapan peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini
memungkinkan terjadinya pengalihan dana yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana ketika PJK menemukan adanya transaksi mencurigakan dan melaporkannya ke
PPATK, dan PPATK melakukan analisis terhadap transaksi keuangan mencurigakan.
Proses tersebut menimbulkan jeda waktu (time
lag) yang panjang, sekaligus memberi peluang terbuka kepada pemilik dana
untuk mengalihkan harta kekayaan.
Kelemahan
tersebut hanya akan bisa diatasi apabila kepada PJK dalam UU TPPU nanti
diberikan kewenangan untuk menunda mutasi atau pengalihan aset apabila
transaksi patut diduga menggunakan harta kekayaan hasil tindak pidana,
dilakukan tidak sesuai dengan pembukaan rekening, atau diketahui menggunakan
dokumen palsu. Di samping kriteria tersebut, penetapan jangka waktu selama 5
(lima) hari bagi Pihak Pelapor untuk menunda transaksi dimaksudkan untuk
memberi kesempatan kepada Pihak Pelapor melakukan koordinasi dengan PPATK.
Tanggung jawab yuridis penundaan transaksi akan beralih kepada PPATK seketika
PJK menyampaikan LTKM.
Pengaturan
penundaan transaksi telah dilakukan oleh Swiss yang memberi kewenangan PJK
untuk menunda transaksi selambat-lambatnya selama 5 (lima) hari.
6. Penyempurnaan Mekanisme Pengawasan Kepatuhan
Efektifitas
pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewajiban pelaporan
kepada PPATK seperti STR, CTR, Transfer Dana Elektronis, laporan oleh profesi
dan laporan oleh penyedia barang dan jasa, merupakan salah satu prasyarat
terbangunnya rezim anti pencucian uang yang handal, karena dari laporan itulah
PPATK melakukan analisis untuk mengetahui adanya dugaan pencucian uang. Di
samping itu, laporan-laporan tersebut juga akan memperkaya database PPATK yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hasil analisis. Oleh karena itu,
dalam menunjang efektifitas pelaporan perlu adanya pengaturan yang menegaskan
tugas dan kewenangan pengawasan kepatuhan pihak pelapor atas kewajiban
pelaporan yang dilakukan oleh lembaga yang berkepentingan langsung terhadap
kewajiban pelaporan dimaksud.
Apabila
mencermati tugas dan kewenangan yang dimiliki, maka PPATK seyogyanya juga
melaksanakan tugas pengawasan kepatuhan pihak pelapor atas amanat
Undang-Undang. Namun demikian lembaga pengawas dan lembaga pengatur tetap
memiliki kewajiban untuk mengawasi kepatuhan dari lembaga yang diawasinya terkait
dengan peraturan yang dikeluarkannya, seperti penerapan prinsip mengenali
nasabah. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan umum terhadap lembaga yang
diawasi, perlu juga lembaga pengawas dan pengatur menyampaikan informasi kepada
PPATK terhadap temuannya mengenai transaksi yang diketahuinya atau patut
diduganya dilakukan baik langsung atau tidak langsung dengan tujuan pencucian
uang.
7. Pengaturan mengenai Penjatuhan Sanksi Administrasi
Peraturan
perundang-undangan yang berlaku sekarang ini telah mengatur penjatuhan sanksi
pidana bagi PJK yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan. Sanksi ini,
disamping tidak efektif dalam pelaksanaannya juga dinilai terlalu memberatkan
PJK.
Oleh karena
itu, perlu dirumuskan suatu bentuk sanksi sesuai klasifikasi pelanggaran yang
dilakukan oleh PJK atau pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan.
Mengingat pelanggaran tersebut lebih bersifat administratif ini diperlukan
dalam upaya mendorong pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan
melaksanakan kewajibannya dengan baik. Bentuk sanksi administratif karena
pelanggaran kewajiban pelaporan antara lain berupa peringatan, teguran
tertulis, pengumuman kepada publik, denda administratif, rekomendasi pembatasan
kegiatan usaha hingga rekomendasi pencabutan izin usaha. Untuk itu, UU TPPU
nanti juga perlu menegaskan pihak mana yang berwenang menjatuhkan sanksi.
D.
Pengaturan Pembawaan Uang Tunai ke Dalam atau ke Luar
Wilayah Pabean Indonesia
1. Penyempurnaan ketentuan mengenai pembawaan uang tunai
ke dalam atau luar wilayah pabean Indonesia
Perjalanan 4 (empat) tahun pelaksanaan rezim anti
pencucian uang telah memberi pelajaran betapa pentingnya kontrol terhadap
pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah pabean Indonesia, bukan
hanya dalam konteks menjaga stabilitas nilai tukar mata uang rupiah dan
mencegah internasionalisasi mata uang rupiah, tetapi juga sangat penting dalam
konteks pencegahan dan pemberantasan TPPU serta pendanaan terorisme.
Pengaturan mengenai pembawaan uang tunai dalam
undang-undang yang berlaku sekarang ini masuk dalam Bab Pelaporan dan tidak dipisahkan dari pengaturan kewajiban
pelaporan PJK kepada PPATK. Walaupun keduanya mengatur mengenai kewajiban
pelaporan tetapi substansi dan materi serta subyek berbeda. Pelaporan STR dan
CTR adalah dari PJK ke PPATK, sedangkan terhadap pembawaan uang tunai
laporannya adalah dari setiap orang kepada Ditjen Bea Cukai.
Mengenai pengaturan sanksi atas pelanggaran ketentuan
pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah pabean Republik Indonesia,
UU TPPU yang berlaku sekarang ini telah mengaturnya. Namun demikian, secara
teknis penerapannya mengalami kendala, antara lain karena:
a.
Adanya
penafsiran yang berbeda dalam membaca ketentuan pasal 16 UU TPPU yaitu kalimat
“Rp 100 juta atau lebih atau dalam mata uang asing yang setara dengan itu”. Di
satu pihak, menafsirkan bahwa jumlah Rp 100 juta adalah penggabungan
(kombinasi) uang, baik dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing
sehingga secara keseluruhan jumlahnya setara Rp 100 juta atau lebih (bersifat
kumulatif). Pihak ini berpendirian bahwa esensi dari pengaturan di atas
dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang sama (equal treatment) bagi setiap orang yang membawa harta kekayaan
dalam bentuk uang baik keluar maupun masuk wilayah Negara Republik Indonesia,
untuk dilaporkan kepada Ditjen Bea dan Cukai. Sementara pihak lain berpendapat
bahwa jumlah Rp 100 juta dihitung dari setiap mata uang dan bukan kumulatif.
Hal ini untuk memudahkan dalam pelaksanaannya khususnya dalam menghitung
sejumlah uang yang dibawa dengan berbagai mata uang yang berbeda.
b.
Dalam praktek di
lapangan, baik bagi masyarakat sebagai pelapor maupun pejabat Ditjen Bea dan
Cukai, pengaturan tersebut menjadi beban tambahan karena harus menghitung
dengan cara mengkonversi jenis mata uang asing ke dalam mata uang rupiah
sehingga diperoleh angka Rp 100 juta atau lebih yang menjadi obyek pelaporan.
Di samping itu, untuk menghitung kurs mata uang asing tersebut diperlukan
ketetapan nilai kurs tertentu yang dapat dijadikan pedoman standar dalam
perhitungan. Ketegasan ini sangat diperlukan bukan hanya untuk mempermudah baik
aparat maupun pelapor, tetapi juga kejelasan dalam pengenaan sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU TPPU.
c.
Sanksi terhadap
pembawaan uang tunai rupiah, disamping diatur dalam UU TPPU juga diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia, namun jenis sanksinya adalah sanksi administratif.
Hal ini sangat memberatkan bagi orang yang melanggar peraturan pembawaan uang
tunai dimaksud karena dapat dibebani dua sanksi secara sekaligus, yaitu sanksi
pidana denda dan sanksi administratif berupa benda.
d.
Prosedur pidana
denda sebagaimana dimaksud Pasal 9 UU TPPU, pengenaannya harus melalui
keputusan pengadilan dengan menggunakan hukum acara pidana yang berlaku. Proses
ini akan memakan waktu cukup lama, sementara si pelanggar harus sudah
meneruskan perjalanannya. Sehingga secara teknis akan menyulitkan, bukan hanya
bagi si pelanggar juga bagi bea cukai dan aparat penegak hukum itu sendiri.
Sebagaimana
diketahui, peraturan perundang-undangan yang ada sekarang menyatakan hal
tersebut sebagai suatu perbuatan pidana yang sanksinya bersifat pidana yang
dalam prakteknya, ketentuan tersebut sulit dilaksanakan secara efektif.
Menyikapi permasalahan ini, maka dalam UU TPPU nanti perlu dirumuskan suatu
sanksi yang mudah dalam penerapannya, cepat dalam prosesnya dan final pengenaan
sanksinya.
Untuk itu
perlu dipertimbangkan penjatuhan sanksi administratif terhadap pelanggaran
kewajiban pelaporan pembawaan uang tunai yang langsung dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai – Departemen Keuangan sebagai instansi
pemerintah yang berkompeten mengawasi lalulintas barang.
Di samping
itu, dalam revisi UU ini perlu ditegaskan kewenangan dan tanggung jawab
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mengawasi pembawaan uang tunai dari dan
ke luar wilayah pabean Indonesia.
Dalam hal
terdapat kekhawatiran bahwa pembawaan uang tersebut sebenarnya adalah praktik
pencucian uang, maka Ditjen Bea dan Cukai selaku penyidik tindak pidana di
bidang kepabeanan maka dapat melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut.
E.
Penataan Kembali Kelembagaan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Momentum
revisi UU TPPU perlu dimanfaatkan untuk melakukan revitalisasi fungsi tugas dan
kewenangan PPATK sehingga keberadaan dan peranan PPATK selaku “focal point” dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucia uang dapat lebih berdaya guna dan berhasil
guna.
Format
kelembagaan yang dirancang harus tetap mengacu pada “international best practice” yang dalam masyarakat internasional
dikenal dengan sebutan “Financial
Intelligence Unit” (FIU). Adapun fungsi, tugas dan kewenangannya juga harus
memeuhi “standar minimum” yang telah ditentukan oleh 40+9 FATF recommendations. Pengembangan organisasi PPATK harus
disesuaikan dengan kebutuhan domestik dalam mencegah dan memberantas TPPU serta
membantu penegakan hukum lainnya.
Kebijakan
formulasi perundang-undangan yang baru harus dapat merumuskan secara jelas dan
tegas fungsi PPATK, yaitu melaksanakan upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan
TPPU. Sehubungan dengan hal tersebut perlu pula dirumuskan dengan jelas
tugas-tugas yang diemban PPATK dalam pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga
intelijen di bidang keuangan.
Pada
hakikatnya, ada 5 (lima) tugas utama PPATK yang terkait dengan fungsinya,
yaitu:
1.
Melakukan upaya
pencegahan TPPU.
2.
Melakukan
pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK.
3.
Melakukan
pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor.
4.
Melakukan
analisis laporan dan informasi serta menyampaikan hasil analisis transaksi
keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan atau tindak pidana
lainnya kepada penyelidik; dan
5.
Melakukan
penyelidikan TPPU dan meneruskannya kepada penyidik tindak pidana asal.
Dalam
rangka pelaksanaan tugas sebagaimana tersebut diatas, perlu dirumuskan
kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh PPATK sehingga tugas-tugas tersebut
dapat dilaksanakan secara efektif, diantaranya:
1.
Untuk melaksanakan
tugas pencegahan TPPU, PPATK perlu diberikan kewenangan antara lain untuk:
a)
Mengoordinasikan
upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU dengan instansi terkait.
b)
Memberikan
rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan
TPPU.
c)
Mewakili
pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang
berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan TPPU.
d)
Menyelenggarakan
program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang; dan
e)
Menyelenggarakan
sosialisasi pencegahan dan pemberantasan TPPU.
2.
Untuk
melaksanakan tugas pengelolaan data dan informasi, PPATK perlu diberi
kewenangan untuk menyelenggarakan sistem informasi yang antara lain meliputi:
a)
Membangun,
mengembangkan dan memelihara sistem aplikasi.
b) Membangun, mengembangkan dan memelihara infrastruktur
jaringan komputer dan basis data.
c)
Mengumpulkan,
mengevaluasi data dan informasi yang diterima oleh PPATK secara manual dan
elektronik.
d) Menyimpan, memelihara data dan informasi ke dalam
basis data.
e)
Menyajikan
informasi untuk kebutuhan analisis.
f)
Memfasilitasi
pertukaran informasi dengan instansi terkait baik dalam negeri atau luar
negeri; dan
g)
Melakukan
sosialisasi penggunaan sistem aplikasi kepada Pihak Pelapor.
3.
Untuk
melaksanakan tugas pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor PPATK perlu
diberi kewenangan untuk antara lain:
a)
Menetapkan
ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi Pihak Pelapor.
b) Menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi
melakukan tindak pidana pencucian uang.
c)
Melakukan audit
kepatuhan terhadap Pihak Pelapor.
d) Menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga
yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Pihak Pelapor.
e)
Memberikan
peringatan kepada Pihak Pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan.
f)
Merekomendasikan
kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha Pihak Pelapor; dan
g)
Menetapkan
ketentuan pelaksanaan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor yang
tidak memiliki lembaga pengawas dan pengatur.
4.
Untuk
melaksanakan tugas analisis laporan dan informasi, PPATK perlu diberi
kewenangan untuk antara lain:
a)
Meminta dan
menerima laporan dan informasi dari Pihak Pelapor.
b) Meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait.
c)
Meminta
informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK.
d) Meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan
permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri.
e)
Meneruskan
informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta baik di dalam atau
luar negeri; dan
f)
Memerintahkan
kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi.
5.
Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan TPPU, PPATK perlu diberi kewenangan untuk
antara lain:
a)
Menerima laporan
dan/atau informasi dari masyarakat tentang adanya dugaan tindak pidana
pencucian uang.
b)
Meminta
keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan
tindak pidana pencucian uang.
c)
Mencari
keterangan dan barang bukti.
d)
Melakukan
penyadapan terhadap komunikasi yang dilakukan dalam rangka melakukan analisis
terhadap transaksi keuangan yang diterima melalui berbagai media.
e)
Menghentikan
sementara seluruh atau sebagian kegiatan transaksi atas Harta Kekayaan yang
diketahui atau diduga merupakan Hasil Tindak Pidana.
f)
Menghentikan
sementara transaksi atas beban rekening yang diketahui atau diduga untuk
menampung hasil tindak pidana pencucian uang.
g)
Memblokir Harta
Kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.
h)
Meminta
informasi perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal.
i)
Meneruskan hasil
penyelidikan kepada penyelidik; dan
j)
Mengadakan
tindakan lain yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam
konteks penataan kelembagaan ini pula, perlu ditetapkan dasar dan arah
“restrukturisasi atau reorganisasi” kelembagaan PPATK sesuai dengan fungsi,
tugas, dan kewenangan yang akan berkembang. Sebagai lembaga yang melaksanakan
kegiatan intelijen di bidang keuangan, maka perlu diperjelas kedudukan dan
status Kepala sebagai penanggung jawab lembaga yang memimpin dan mengendalikan
pelaksanaan tugas dan wewenang PPATK. Sementara Wakil Kepala bertugas membantu
Kepala dan menjalankan tugas sebagai Kepala sebagai Kepala apabila Kepala
berhalangan. Oleh karena itu jumlah Wakil Kepala cukup 1 (satu) orang dengan
tugas utama membantu Kepala dalam mengkoordinasikan kegiatan seluruh deputi.
Revisi UU
TPPU juga diharapkan dapat mendorong penyelesaian berbagai persoalan di bidang
Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak kunjung tuntas karena adanya kendala
perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan tersebut seperti belum
ditetapkannya Kepala PPATK sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian yang berwenang
untuk mengangkat pegawai PPATK. Sementara itu, mengingat pelaksanaan tugas
PPATK yang bersifat khusus, perlu dikembangkan manajemen SDM yang berbasis
meritokrasi. Penjabaran lebih lanjut mengenai pengembangan manajemen SDM
tersebut perlu diamanatkan oleh UU dengan menyebutkan secara langsung jenis
peraturan perundang-undangannya. Begitupun dengan susunan organisasi dan tata
kerja PPATK perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan.
F.
Penanganan Aset
1. Pemblokiran, penyitaan, dan perampasan harta kekayaan
secara perdata
Penanganan
Harta Kekayaan yang dimaksud di bab ini merupakan upaya yang dapat dilakukan
oleh PPATK untuk mengambil langkah-langkah strategis yang bertujuan mengamankan
harta kekayaan yang diduga diperoleh, dikuasai atau dimiliki secara melawan
hukum. Upaya ini bersifat mencegah pihak yang menguasai harta kekayaan untuk
mengalihkan atau memindahkan kepemilikan secara tidak sah yang pada akhirnya
dapat menyulitkan proses penegakan hukum dan menghambat pengembalian hasil
kejahatan. Langkah-langkah strategis meliputi aktivitas-aktivitas yang terdiri
dari pemblokiran dan penyitaan serta perampasan asset, penyelesaian secara
administratif, serta pembalikan beban pembuktian (reverse of burden of proof).
Pada prinsipnya,
upaya ini merupakan “in rem forfeiture”
sebagaimana dikenal di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Australia.
Upaya ini merupakan gugatan negara terhadap harta kekayaan yang diduga
merupakan hasil tindak pidana, bukan terhadap orang yang disangka melakukan
tindak pidana. Upaya “in rem forfeiture”
ini dapat dilakukan bersamaan atau terpisah dari dengan proses pidana yang akan
dikenakan.
Di dalam 18 US Code Section 981 diatur hasil
kejahatan yang dapat dilakukan penyitaan secara perdata yaitu harta kekayaan
yang berasal dari tindak pidana terorisme, perdangan illegal narkotika dan obat
terlarang lainnya, money laundering, fraud (penipuan), korupsi, perampokan
dan lainnya. Dalam 18 US Code Sections
981 (a) (1) (C); 1956 (c) (7) (B) diatur juga proses penyitaan perdata
terhadap hasil kejahatan dari tindak pidana yang dilakukan di luar negeri (crimes committed overseas) seperti
perdagangan illegal narkotika dan obat terlarang lainnya, penyuapan, penipuan,
tindak pidana di bidang perbankan, pembunuhan, perdagangan manusia, atau extraditable offences. Tidak dikenal substitute assets sehingga yang dapat
diajukan penyitaannya adalah hanya harta kekayaan yang berasal atau terlibat di
dalam tindak pidana. Dalam hal harta kekayaan berada di luar negeri dan
pengadilan di luar negeri telah melakukan pemeriksaan atas harta kekayaan
tersebut atas pengadilan Amerika Serikat, maka pengadilan Amerika Serikat harus
melakukan kontrol terhadap harta kekayaan tersebut. Setiap harta kekayaan yang
akan dilakukan penyitaan dan perampasan secara perdata dapat diblokir dan harus
diumumkan kepada publik berdasarkan perintah pengadilan. Keuntungan dari
penyitaan secara perdata adalah tidak diharuskan adanya putusan pidana terlebih
dahulu. Mekanisme ini juga digunakan untuk menyita harta kekayaan dari orang
dalam status buronan dan telah meninggal dunia.
Pengaturan
materi ini di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (RUU) merupakan hal yang baru dan
langkah terobosan yang patut didukung mengingat rumitnya proses di dalam
pengembalian hasil kejahatan dan rendahnya tingkat pengembalian kerugian
tersebut.
Sistem
hukum Indonesia saat ini baru mengenal gugatan perdata untuk menyita hasil
kejahatan dari suatu tindak pidana yang telah terbukti sebagaimana diatur di
dalam Pasal 38 C UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999. Sistem hukum
Indonesia belum mengenal mekanisme/prosedur untuk melindungi harta kekayaan
yang diambil alih, melikuidasi atau mencairkan harta kekayaan yang disita, dan
mengamankan hasil yang diperoleh dari penyitaan itu untuk kepentingan
Pemerintah. Oleh karena itu beberapa ketentuan di dalam RUU baru ini
mengintrodusir penyitaan secara perdata termasuk aspek pembalikan beban
pembuktian dalam konteks ini.
Revisi UU
TPPU perlu mempertimbangkan pencantuman pemberian kewenangan kepada PPATK untuk
melakukan pemblokiran harta kekayaan yang tidak dapat diterangkan oleh pemilik
atau yang menguasainya, tidak terang siapa pemiliknya atau diduga diperoleh
secara tidak sah. Pemblokiran harta kekayaan tersebut dilakukan untuk jangka
waktu paling lama 90 hari. Namun demikian untuk memberikan kesempatan para
pihak yang merasa berhak atas harta kekayaan yang disita atau beritikad baik
mengajukan keberatan, PPATK mengumumkan harta kekayaan tersebut
sekurang-kurangnya di papan pengumuman resmi untuk penerangan umum atau media
elektronik atau internet. Pengumuman dilakukan 3 kali dalam waktu 15 hari. Selanjutnya
PPATK wajib meneliti dan menilai kebenaran dokumen atau bukti pendukung yang
dilampirkan oleh orang yang berhak atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan.
Dalam hal
berdasarkan penelitian dan penilaian atas dokumen dan bukti pendukung yang diberikan
oleh orang atau pihak yang mengajukan perlawanan diyakini kebenarannya, maka
PPATK wajib mencabut keputusan pemblokiran. Dalam hal sebaliknya, maka
melanjutkan keputusan pemblokiran.
Perlawanan
(verzet) atas keputusan pemblokiran
dapat diajukan kepada pengadilan negeri paling lambat 14 hari terhitung sejak
pengumuman berakhir. Pemeriksaan atas perlawanan ini dilakukan dengan
menggunakan proses acara perdata, dengan mewajibkan pihak yang mengajukan
perlawanan untuk membuktikan bahwa harta kekayaan tersebut adalah miliknya atau
sah dalam penguasaannya dan bukan berasal dari tindak pidana. Proses acara
perdata dilakukan secara cepat dan paling lambat 30 hari, hakim harus sudah
menjatuhkan putusannya.
Terkait
dengan putusan pengadilan, dalam hal hakim berpendapat harta kekayaan tersebut
adalah milik atau sah dalam kekuasaan pihak yang mengajukan perlawanan dan
tidak terkait dengan tindak pidana, hakim mengeluarkan putusan untuk mencabut
pemblokiran dan memerintahkan PPATK untuk mengembalikan harta kekayaan kepada
yang berhak. Dalam hal hakim berpendapat bahwa pihak yang mengajukan perlawanan
tidak dapat membuktikan harta kekayaan tersebut milik dan sah dalam
kekuasaannya dan tidak terkait dengan tindak pidana, maka hakim mengeluarkan
putusan harta kekayaan tersebut dirampas untuk negara. Putusan hakim tersebut
bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum
selanjutnya.
Dalam hal
tidak ada orang yang berhak dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan
terhadap harta kekayaan tersebut, maka perlu diatur mekanisme yang memungkinkan
PPATK mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menetapkan harta kekayaan
sebagai aset negara.
2. Penyelesaian administratif
Peraturan
perundang-undangan yang berlaku sekarang ini belum mengatur secara sistematis
masalah penjatuhan sanksi sebagai suatu instrumen penting dalam melaksanakan
dan menegakan UU TPPU. Pengaturan yang ada juga belum secara tegas menyebutkan
klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi dan bentuk-bentuk sanksinya.
Pengaturan masalah sanksi harus jelas dan efektif untuk dilaksanakan. Sebagai
contoh, penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran kewajiban pelaporan yang
sebaiknya berbentuk sanksi administratif yang dapat berupa peringatan, teguran
tertulis, pengumuman kepada publik, denda administratif, rekomendasi pembatasan
kegiatan usaha hingga rekomendasi pencabutan izin usaha. UU juga perlu
menegaskan pihak mana yang berwenang menjatuhkan sanksi.
Begitu juga
halnya mengenai sanksi terhadap pelanggaran kewajiban pelaporan pembawaan uang
tunai ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia. Peraturan
perundang-undangan yang ada sekarang menyatakan hal tersebut sebagai suatu
perbuatan pidana yang sanksinya bersifat pidana. Dalam prakteknya, ketentuan
tersebut sulit dilaksanakan secara efektif. Untuk itu perlu dipertimbangkan
penjatuhan sanksi administratif terhadap pelanggaran kewajiban pelaporan
pembawaan uang tunai yang langsung dilakukan oleh PPATK sebagai lembaga yang
bertugas menerima laporan dan mengawasi kepatuhan pihak pengatur.
3. Pembalikan beban pembuktian
Dalam penegakan hukum dan UU TPPU, yang selalu menjadi
pertanyaan banyak adalah apakah kejahatan asal (predicate crime) perlu dibuktikan terlebih dahulu sebelum dapat
dilakukannya penyidikan tindak pidana pencucian uang. Dalam hal ini perlu
dipahami bahwa pencucian uang merupakan independent crime, artinya kejahatan
yang berdiri sendiri. Pencucian uang memang merupakan kejahatan yang lahir dari
kejahatan asalnya, misalnya korupsi, namun rezim anti pencucian uang di hampir
seluruh negara menempatkan pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang tidak
tergantung pada kejahatan asalnya dalam hal akan dilakukannya proses penyidikan
pencucian uang.
Barda Namawi Arief dan Mardjono Reksodiputro
mencontohkan Pasal 480 KUHP tentang pidana penadahan sebagai analogi dari
tindak pidana pencucian uang. Dalam hal tindak penadahan terjadi maka proses
hukum atas tindak pidana penadahan tidak perlu menunggu putusan hukum yang
berkekuatan tetap (inkracht) dari
perkara pencuriannya. Penjelasan Pasal 3 UU TPPU menegaskan bahwa terhadap
harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan
terlebih dahulu tindak pidana asalnya untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak
pidana pencucian uang.
Pembuktian dalam proses perkara pidana berbeda dengan
proses perkara perdata. Biasanya pembuktian dalam perkara pidana “lebih ketat”
dibandingkan dengan pembuktian dalam perkara perdata. Dalam perkara pidana yang
mencari kebenaran materiil dianut pembuktian dengan stelsel negative, artinya
untuk menjatuhkan putusan dalam perkara pidana tidak cukup berdasarkan alat
bukti saja tetapi juga diperlukan adanya keyakinan hakim apakah terdakwa
bersalah atau tidak, dan pembuktian dilakukan oleh jaksa penuntut hukum.
Dalam sistem common
law standar pembuktian yang dipakai adalah “beyond reasonable doubt”, tidak ada keraguan atas kesalahan
terdakwa berdasarkan alat bukti yang ada. Dalam perkara perdata, yang dicari
adalah kebenaan formal berdasarkan alat bukti yang ada. Pihak yang harus
membuktikan adalah pihak yang menyatakan atau menuntut atau mengklaim suatu
hak. Beban pembuktian seperti itu berlaku negara dengan sistem civil law (continental), seperti Indonesia dan negara dengan sistem common law
seperti Inggris. Jadi jelas berbeda standar pembuktian dalam perkara pidana dan
perdata baik pada sistem civil law
dan common law.
Dalam Pasal 35 UU TPPU diatur pembuktian terbalik
dengan rumusan, bahwa dalam sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa
harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Namun, di sini tidak jelas
maksud pembuktian tersebut apakah dalam konteks pidana untuk menghukum orang
yang bersangkutan atau untuk menyita harta kekayaan yang bersangkutan. Hukum
acara yang mengatur pembuktian terbalik ini pun belum ada, sehingga dalam pelaksanaannya
bisa menimbulkan kesulitan dalam penanganan kasus TPPU.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pembuktian dakwaan jaksa tetap merupakan
beban penuntut umum (Pasal 37 A ayat 3). Walaupun demikian, untuk setiap orang
yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi wajib membuktikan, sebaliknya
terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan tetapi juga diduga berasal
dari tindak pidana korupsi. Dalam hal terdakwa tidak dapat memutuskan seluruh
atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. Pembuktian dilakukan
terdakwa pada waktu membacakan pembelaannya dan dapat diulangi yang khusus
untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa. Apabila terdakwa dibebaskan
atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka
tuntutan perampasan harta benda harus ditolak oleh hakim (Pasal 37 B).
Walaupun demikian, menurut Pasal 32 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat, satu atau
lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terbukti, sedangkan secara nyata telah
ada kerugian negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas hasil penyidikan
kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Demikian juga halnya
apabila tersangka dan terdakwa meninggal di dalam proses peradilan pidana,
dapat dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris terdakwa (Pasal 33 dan 34).
Dalam Undang-Undang tersebut di atas, jelas terlihat
bahwa pembuktian terbalik oleh terdakwa dilakukan dalam proses perkara pidana
dan dikaitkan dengan proses pidana itu sendiri. Dalam perkara pidana pidana
setelah terdakwa dihukum barulah harta kekayaannya. Di sinilah kelemahan
undang-undang korupsi ini yang selalu mengaitkan proses penyitaan harta
kekayaan hasil korupsi dengan proses pidana terhadap yang bersangkutan. Jika
perbuatan korupsi terdakwa tidak dapat dibuktikan, dalam perkara pidana, maka
hampir tidak ada alasan untuk melakukan gugatan perdata. Untuk mempercepat
penyitaan harta kekayaan hasil korupsi hendaknya dilakukan pendekatan perdata
yang terpisah dari pendekatan pidana. Dengan demikian walaupun terpidananya
sakit, hilang atau meninggalkan proses perdata untuk menyita harta kekayaan
hasil korupsi tetap dapat dilakukan karena yang berperkara adala negara dengan
harta kekayaan hasil korupsi , bukan dengan koruptornya. Inilah yang dikenal
dengan in rem for feitiure atau civil forfeiture di beberapa negara yang
menganut terdakwa, tetapi untuk menyita harta kekayaan hasil korupsi.
Jika pembuktian terbalik dilakukan untuk menghukum
terdakwa, maka akan bertentangan dengan beberapa asas hukum pidana yaitu asas
praduga tak bersalah (presumption of
innocence) dan non-self incrimination.
Asas praduga tak bersalah telah lama dikenal dalam hukum Indonesia dan sekarang
diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Asas praduga tak bersalah berbunyi, bahwa “setiap orang yang
ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak
dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam sidang
pengadilan”. Sementara itu asas non- self
incrimination ditemui dalam raktik dan dalam peraturan tertulis di
Indonesia, seperti dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Dalam sistem common law, asas non-self incrimination dikenal dengan istilah the previlege againsts self-incrimination, yaitu seseorang tidak
dapat dituntut secara pidana atas dasar keterangan yang diberikannya atau
dokumen yang ditunjukkannya. Sebagai konsekuensinya tersangka atau terdakwa
dapat diam dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan. Oleh karena hal
dianggap tidak baik oleh hakim, sehingga terdapat kecenderungan seorang
terdakwa dapat diam dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan. Oleh karena
hal dianggap tidak baik oleh hakim, sehingga terdapat kecenderungan seorang
terdakwa untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya yang pada akhirnya
dapat merugikan dirinya. Untuk mengejar hasil-hasil kejahatan pencucian uang
seperti aset hasil korupsi perlu diperkenalkan suatu aturan yang mengatur penyitaan
aset secara perdata atau pidana dengan hukum acara khusus atau luar biasa,
misalnya dengan memberikan beban pembuktian mengenai harta kekayaan yang
berasal dari tindak pidana korupsi atau pencucian uang kepada terdakwa. Hukum
acara luar biasa (extraordinary) ini
diperlukan karena tindak pidana yang dihadapi juga bersifat luar biasa.
Pembuktian terbalik jelas bukan untuk memberikan
hukuman badan kepada pelaku tindak pidananya. Secara khusus dalam perkara
pencucian uang, jika penyelesaian dilakukan secara perdata, maka
penyelesaiannya harus dilakukan terpisah dari penyelesaian pidana. Hal ini
memang masalah baru, sehingga yang diperlukan bukan saja undang-undang baru
tetapi juga mindset pemikiran yang
juga baru yang berbeda dengan yang lama.
G.
Penataan Kembali Hukum Acara Pemeriksaan TPPU
Untuk lebih meningkatkan efektifitas dan keberhasilan
penegakan hukum TPPU, maka ketentuan yang mengatur mengenai hukum acara TPPU
atau pemeriksaan dalam setiap tingkatan perlu lebih diperjelas dan diperkuat.
Kedudukan dan hubungan antara UU TPPU dengan peraturan perundang-undangan
terkait lainnya harus jelas dan harmonis. Dengan demikian, setiap tindakan
pemeriksaan TPPU termasuk tindakan untuk melakukan pemblokiran dan/atau
penundaan transaksi memiliki landasan hukum yang kuat. Prosedur atau mekanisme
untuk melakukan pemblokiran dan/atau penundaan transaksi perlu diatur secara
lebih jelas dan lengkap agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda
sehingga timbul keragu-raguan dari para aparat penegakan hukum dalam mengambil
tindakan.
1.
Pemberian
Kewenangan kepada Penyidik Tindak Pidana asal untuk Menyidik Dugaan TPPU (Multi Investigator)
Peraturan
perundang-undangan yang saat ini berlaku menetapkan penyidik Polri sebagai
penyidik satu-satunya yang berwenang melakukan penyidikan TPPU. Meningkatkan
intensitas pelaporan PJK ke PPATK dan penyampaian laporan hasil analisis
transaksi keuangan mencurigakan oleh PPATK ke penyidik Polri. Sementara itu,
Polri memiliki keterbatasan jumlah penyidik TPPU dan anggaran operasional.
Masalah
lain, laporan analisis transaksi keuangan yang mencurigakan tidak hanya dibuat
oleh PPATK berdasarkan LTKM dari PJK atau pihak pelapor melainkan juga
berdasarkan permintaan (inquiry) dari
penyidik tindak pidana asal. Permasalahan mulai timbul jika kemudian dari
laporan hasil analisis transaksi keuangan oleh PPATK ditemukan adanya indikasi
perbuatan pencucian uang, sedangkan penyidik tindak pidana asal ternata tidak
memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan TPPU. Jika berdasarkan dugaan
terjadinya TPPU tersebut kemudian laporan analisis transaksi keuangan
diserahkan juga kepada POLRI untuk melakukan penyidikan TPPU, sementara untuk
penyidikan tindak pidana asal dilanjutnya oleh penyidik sebelumnya, maka hal
ini tentu saja bertentangan dengan prinsip penanganan perkara yang harus
dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Kedua
permasalahan tersebut di atas menjadi salah satu pertimbangan mengapa perlunya
diberi wewenangan untuk melakukan penyidikan TPPU kepada penyidik tindak pidana
asal. Pertimbangan lain adalah beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan
adanya perluasan kewenangan penyidik tindak pidana asal untuk melakukan
penyidikan TPPU.
Secara
teknis, penyidikan TPPU oleh penyidik tindak pidana asal akan mempercepat penanganan
dugaan TPPU sekaligus tindak pidana asalnya. Penyidik dapat memanfaatkan
kelebihan yang tercantum di dalam UU TPPU seperti penerobosan prinsip
kerahasiaan transaksi keuangan, sistem pembuktian terbalik dan skim
perlindungan saksi dan pihak pelapor. Di sisi lain, pemberian kewenangan
penyidikan TPPU kepada penyidik tindak pidana asal akan menciptakan multi investigators system yang
diharapkan menumbuhkan semangat kompetisi yang positif diantara institusi
penyidik yang akan bermanfaat untuk penegakan hukum. Multi Investigators System diterapkan di Amerika Serikat dengan
adanya beberapa lembaga penyidik TPPU seperti DEA (Drugs Enforcement Administration), IRS (Internal Revenue Services), Customs, Immigration, dan FBI (Federal Bureau Investigation).
2. Penyelidikan TPPU oleh PPATK
Perjalanan 4 tahun menunjukkan bahwa sekalipun dalam
beberapa kasus laporan hasil analisis transaksi keuangan PPATK telah sangat
membantu Penyidik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang, ternyata masih
banyak Laporan Hasil Analisis (LHA) yang belum dapat digunakan secara maksimal
oleh Penyidik. Keinginan Penyidik agar laporan hasil analisis tersebut
diperkaya dengan analisis hukum disamping analisis transaksi keuangan perlu
dicermati dan direspon secara positif. Hal itu menjadi salah satu pertimbangan
mengapa PPATK perlu diberi tambahan kewenangan untuk melakukan penyelidikan
TPPU di samping pertimbangan kemampuan teknis dan sumber informasi keuangan
yang cukup luas yang dimiliki oleh PPATK. Namun demikian, PPATK tetap tidak
perlu diberi wewenang melakukan penyidikan. Sebab, apabila kewenangan
menyidikan juga diberikan kepada PPATK, maka mekanisme “check and balances” menjadi lemah akibat hampir seluruh proses,
mulai dari menerima laporan, melakukan audit kepatuhan, menganalisa, menyelidik
dan menyidik TPPU dilakukan oleh PPATK.
Sebagaimana telah diungkapkan di muka, wewenang
melakukan penyidikan TPPU diberikan kepada penyidik tindak pidana asal. Peran
PPATK adalah mencari bukti permulaan yang cukup tentang telah terjadinya TPPU
berdasarkan adanya laporan transaksi keuangan yang mencurigakan, dan
selanjutnya berdasarkan bukti permulaan yang cukup tersebut PPATK menyerahkan
kasus tersebut kepada penyidik tindak pidana asal untuk ditindaklanjuti dengan
melakukan penyidikan.
Dalam rangka pelaksanaan tugas PPATK untuk melakukan
penyelidikan TPPU dan meneruskannya kepada penyidik tindak pidana asal, PPATK
perlu diberi kewenangan untuk antara lain:
a)
Menerima laporan
dan/atau informasi dari masyarakat tentang adanya dugaan tindak pidana
pencucian uang.
b)
Meminta
keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan
tindak pidana pencucian uang.
c)
Mencari
keterangan dan barang bukti.
d)
Melakukan
penyadapan terhadap komunikasi yang dilakukan dalam rangka melakukan analisis
terhadap Transaksi Keuangan yang diterima melalu berbagai media.
e)
Menghentikan
sementara seluruh atau sebagian kegiatan Transaksi atas Harta Kekayaan yang
diketahui atau diduga merupakan Hasil Tindak Pidana.
f)
Menghentikan
sementara Transaksi atas beban rekening yang diketahui atau diduga untuk
menampung hasil tindak pidana pencucian uang.
g)
Memblokir Harta
Kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.
h)
Meminta
informasi perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal.
i)
Meneruskan hasil
penyelidikan kepada penyidik; dan
j)
Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
3. Pembentukan Satuan Tugas Gabungan Penyidikan TPPU
Prof. Romli
Atmasasmita, SH, LLM mengutarakan bahwa salah satu masalah penataan kelembagaan
aparatur hukum yang masih belum dibentuk secara komprehensif, sehingga
melahirkan berbagai ekses. Antara lain, egoisme sektoral dan menurunnya
kerjasama antara aparatur hukum secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh
karena miskinnya visi dan misi aparatur hukum antara lain tentang pengertian due process of law, impartial trial, transparency,
accountability, the right to counsel.
Upaya
meningkatkan kerjasama antara aparatur hukum sekaligus menekan sikap egoisme
sektoral antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas komunikasi
dan menjalin kerjasama yang lebih sering antara para penegak hukum. Salah satu
alternatif usaha tersebut adalah dengan membentuk satuan tugas gabungan
sebagaimana telah terbukti dalam penanganan kasus-kasus tindak pidana Pemilu
yang lalu.
Mengingat
TPPU merupakan kejahatan yang berdimensi lintas sektoral, multi disipliner,
berlapis, dan seringkali terjalin dalam suatu jaringan yang rumit, sehingga
seringkali menyulitkan bagi penyidik untuk melakukan tugas-tugasnya tanpa
meminta bantuan dari lembaga atau badan lain yang lebih berkompeten dalam
bidangnya, maka pembentukan Satuan Tugas Gabungan Penyidikan TPPU dirasakan
sebagai suatu kebutuhan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan TPPU secara
efektif dan efisien.
4. Pengaturan Asset
Sharing
Dalam upaya
untuk lebih mengefektifkan penegakan hukum TPPU diperlukan dukungan financial yang cukup memadai, antara
lain untuk peningkatan capacity building
dan biaya operasional aparat. Oleh karena itu, dalam revisi UU TPPU ini perlu
pengaturan mengenai pembagian aset hasil perampasan untuk lembaga penegak hukum
dan instansi terkait lainnya yang memiliki andil dalam pengungkapan kasus,
pemblokiran, penyitaan dan perampasan aset hasil rampasan. Sebesar 75% aset
dari hasil perampasan diserahkan kepada negara, sedangkan sisanya sebesar 25%
dibagikan kepada lembaga penegak hukum dan instansi terkait lainnya yang
besarnya tergantung dari andil atau peranan masing-masing pihak dalam proses
perampasan aset dimaksud.
H.
Perlindungan bagi Pelapor dan Saksi
Salah satu
akibat dari lemahnya penegakan hukum dan kurang komprehensifnya mengenai
perlindungan saksi dan pelapor, adalah keengganan saksi dan pelapor untuk
melaksanakan kewajibannya. Saksi akan enggan untuk memberikan kesaksian
mengenai segala sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri.
Demikian pula halnya dengan Pelapor, juga akan enggan untuk melaporkan mengenai
apa yang diketahui terkait dugaan terjadinya tindak pidana meskipun
Undang-Undang mewajibkan untuk melaporkannya kepada instansi yang berwenang.
Kekhawatiran
di atas dapat dimaklumi ketika saksi dan pelapor telah nyata-nyata melaksanakan
kewajibannya namun yang didapat bukanlah suatu prestasi melainkan sebuah
ancaman baik ancaman karena sanksi hukum maupun fisik dan mental. Terlebih lagi
apabila kasus yang sedang diproses merupakan kejahatan terorganisir, sudah
tentu ancaman yang mungkin muncul akan semakin besar bukan hanya terhadap saksi
dan pelapor saja tetapi juga bisa melebar terhadap harta dan keluarganya, yang
kesemuanya bisa dalam wujud ancaman fisik maupun teror mental.
Di sisi
lain, ancaman sanksi hukum berupa tuntutan pidana atas kesaksian atau
laporannya yang diberikannya, tidak tertutup kemungkinan saksi dan pelapor ini,
yang menjadi pokok persoalan adalah banyaknya saksi dan pelapor yang tidak
bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang
sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang memadai terutama jaminan atas
perlindungan ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi dan melaporkan tindak
kejahatan.
Oleh karena
itu, walaupun UU TPPU yang berlaku telah mengatur mengenai perlindungan khusus
terhadap Pelapor dan Saksi, namun dalam penyempurnaan UU TPPU nanti pengaturan
mengenai perlindungan khusus ini tetap harus diatur lagi. Pengaturan tersebut
paling tidak adanya pernyataan bahwa terhadap saksi dan pelapor diberikan
perlindungan khusus oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa
dan/atau hartanya termasuk keluarganya dari pihak manapun. Karena dengan
pengaturan ini, paling tidak dapat menjadi dasar dalam menyusun peraturan
pelaksanaan pemberian perlindungan khusus ini. Lebih lanjut pengaturan mengenai
perlindungan yang sudah diatur dan tetap dipertahankan dengan perluasan
cakupan, dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
1. Perlindungan karena jaminan Undang-Undang
Perlindungan
karena jaminan undang-undang mengandung arti bahwa perlindungan yang berikan
telah secara tegas diatur dalam UU TPPU berupa pelepasan dari tuntutan pidana
maupun perdata terhadap pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan, saksi
dan pelapor sebagai berikut:
a)
Lembaga atau
pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan, pejabat, serta pegawainya tidak
dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atau pelaksanaan kewajiban
pelaporan (seperti Pasal 15 UU TPPU).
b)
Pelapor dan/atau
saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atau pelaporan
dan/atau kesaksian yang diberikan (seperti Pasal 43 UU TPPU). Pelapor yang
dimaksudkan dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang melaporkan terjadinya
dugaan tindak pidana pencucian uang, sedangkan saksi adalah setiap orang yang
memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.
Dengan
demikian, pihak-pihak yang memperoleh perlindungan secara hukum dalam UU TPPU
adalah:
·
Lembaga yang
memiliki kewajiban pelaporan (PJK, profesi, serta penyedia barang dan jasa).
·
Pejabat PJK
·
Pegawai PJK
·
Pelapor dugaan
TPPU
·
Saksi TPPU
Kekebalan
hukum dari gugatan secara perdata atau tuntutan secara pidana terhadap
pihak-pihak tersebut di atas dapat diberikan sepanjang yang bersangkutan dalam
melaksanakan pelaporan dan memberikan kesaksian dilakukan dengan iktikad baik
atau yang bersangkutan tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri.
2. Perlindungan karena pelaksanaan UU TPPU
Munculnya
perlindungan apabila pelaksanaan kewajiban oleh pelapor dan pihak lain
diterapkan secara konsisten. Dalam beberapa Pasal UU TPPU, diatur mengenai
kewajiban untuk tidak mengungkap identitas pelapor atau hal-hal lain yang
memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor dengan ancaman pidana bagi yang
melanggarnya. Pengertian pelapor di sini adalah pihak pelapor karena
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur UU TPPU. Perlindungan yang
diberikan karena pelaksanaan UU TPPU sebagai berikut:
a)
Direksi,
pejabat, atau pegawai pihak pelapor dilarang memberitahukan kepada pengguna
jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung atau tidak langsung dengan
cara apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang
disusun atau telah disampaikan kepada PPATK (seperti Pasal 17 Ayat 1 UU TPPU).
b)
Pejabat atau
pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang
memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya, wajib
merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban
menurut undang-undang (seperti Pasal 17A Ayat 2 UU TPPU).
c)
Pejabat atau
pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang
memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya, wajib
merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi
kewajiban menurut undang-undang (seperti Pasal 10A UU TPPU). Selanjutnya diatur
pula bahwa sumber keterangan dan laporan transaksi keuangan mencurigakan wajib
dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.
d)
PPATK, penyidik,
penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor (seperti Pasal
39).
e)
PPATK, penyidik,
saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara
tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa wajib merahasiakan identitas
pelapor (seperti Pasal 10).
f)
Di sidang
pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan
dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang
menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat
terungkapnya identitas pelapor (seperti Pasal 41). Lebih lanjut ditegaskan
bahwa dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib
mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan
pemeriksaan perkara tersebut.
3. Perlindungan khusus
Setiap
orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang dan setiap
orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang,
wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang
membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Selanjutnya
dalam ayat berikutnya mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam sebuah
peraturan pemerintah mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus dimaksud.
Pengaturan
mengenai hal tersebut dalam UU TPPU telah diatur dalam Pasal 40 dan 42 UU TPPU
dan peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003
tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana
Pencucian Uang. Disadari bahwa terbatasnya cakupan pihak-pihak yang akan
memperoleh perlindungan khusus yang hanya pelapor dugaan tindak pidana
pencucian uang, dalam PP No. 57 tersebut telah memperluas cakupan pelapor
sehingga menjadi:
a)
Pelapor karena
kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan
kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan yang Dilakukan secara Tunai sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang.
b)
Pelapor karena
secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak
pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam undang-undang.
Sedangkan
pengertian saksi adalah setiap orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana
pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri.
Lebih
lanjut mengenai teknis pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan KAPOLRI No.
17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi
dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam peraturan ini diuraikan mengenai
beberapa hal.
Pertama, perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman
fisik dan mental. Kedua, perlindungan
terhadap harta. Ketiga, perlindungan
berupa kerahasiaan dan penyamaran identitas. Keempat, pemberian keterangan tanpa bertatap muka (konfrontasi)
dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan terbuka.
Adapun
bentuk-bentuk perlindungan khusus yang dapat diberikan bagi saksi dan pelapor
adalah perlindungan atas keamanan pribadi, dan/atau keluarga Pelapor dan Saksi
dari ancaman fisik atau mental. Perlindungan Khusus terhadap Pelapor, Saksi,
dan Keluarganya menjadi:
a)
Perlindungan
atas keamanan pribadi dari ancaman fisik atau mental terhadap:
·
Orang yaitu
pribadi pelapor, saksi, dan keluarganya.
·
Tempat/lokasi,
yaitu: rumah/penginapan/tempat tinggal; tempat kerja/kantor/tempat persidangan;
rute dan sarana transportasi; dan tempat-tempat kegiatan lainnya.
·
Kegiatan,
meliputi : sebelum, pada saat, dan sesudah proses pemeriksaan perkara.
Perlindungan Khusus ini diberikan terhadap kegiatan yang diperkirakan mendapat
gangguan dan/atau ancaman:
i.
Fisik, antara
lain: unjuk rasa, demonstrasi dan kerusuhan massa, penghadangan, perampokan,
penculikan, penganiayaan dan pembunuhan; gangguan kendaraan,
tempat/rumah/kantor dan tempat kegiatan lainnya; dan sabotase.
ii.
Mental, antara
lain: teror; dan intimidasi/ancaman terhadap keselamatan jiwa dan harta benda.
selamat sore, boleh tahu dapat naskah akademi uu TPPU ini dari mana ?
ReplyDeleteterima kasih.