TANTANGAN PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan bagian dari negara-negara di dunia (international) yang memiliki kedaulatan.
Tujuan Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dari tujuan tersebut bahwa Indonesia turut serta memelihara perdamaian
dunia. Hal ini menunjukkan bahwa perdamaian adalah suatu kondisi ideal bagi
suatu negara untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, segala hal yang
menghalangi Indonesia untuk mencapai
tujuannya harus diberantas dan jika perlu diperangi dengan segala daya upaya.
Terorisme merupakan suatu ancaman bagi kelangsungan sebuah negara.
Tindakan terorisme sangat bertentangan
dengan ideologi dan tujuan Indonesia.
Apabila terorisme semakin marak, maka upaya
memberantas terorisme juga harus ditingkatkan. Memerangi terorisme dengan senjata tidak cukup. Salah satu yang menjadi sasaran pencegahan terorisme adalah
melemahkan pendanaan terorisme (financing
terrorism).
Terrorisme akan semakin berkembang apabila organisasinya mendapat
dukungan dana yang cukup. Oleh karena itu, perang terhadap pendanaan terorisme
merupakan langkah yang penting dalam memerangi terorisme itu sendiri.
Tindakan terorisme di Indonesia relatif berkembang. Beberapa peristiwa
yang menggemparkan antara lain :
1. Bom
Bali 1 dan 2
2. Bom
Natal
3. Bom
Gereja KatholiK
4. Bom
Kuningan
5. Bom
JW Mariot
Dampak negative dari tindakan
terorisme itu tidak saja
menimbulkan korban, tapi berdampak pula pada instrument pasar uang dan pasar
modal. Nilai tukar dan indeks harga saham mengalami fluktuasi.
B. PERMASALAHAN
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Financing of Terrorism) masuk dalam
konvensi internasional yang relative baru. Indonesia sendiri baru mengatur kejahatan pendanaan terrorisme tahun 2002. Meskipun ketentuan
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme namun kejahatan terrorisme
seperti pemboman masih marak terjadi. Sehubungan dengan hal itu, penulis
berminat untuk membahas Tantangan Pemberantasan Pendanaan Terorisme dengan masalah :
-
Bagaimana terorisme mendapat dukungan dana dalam
tindakan-tindakannya?
-
Apakah upaya
Indonesia dalam memerangai terorisme lewat kebijakan menghambat dana terrorisme sudah
mencukupi?
C. TINJAUAN
TEORI TERORISME DAN PENDANAAN TERORIS
1.
Terorisme
: Kejahatan Internasional
Menurut pendapat para
ahli, bahwa definisi kejahatan international belum mempunyai
kesamaan pandangan.
Menurut Bassiouni , memberi definisi kejahatan international sebagai setiap
tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi multilateral dan diikuti oleh
sejumlah Negara dan di dalamnya terdapat
salah satu dari kesepuluh
karakteristik pidana.
Bryan A Garner,
memberi pengertian kejahtan internasional sebagai kejahatan terhadap hokum internasional.
Pertama, suatu
tindakan sbagai kejahatan berdasarkan
perjanjian (treaty crime) di bawah hokum international atau hokum kebiasaan
internasional dan mengikat indiidu secara langsung tanpa di atur dalam hokum
nasional.
Kedua, ketentuan dalam
hokum internasional yang mengharuskan penuntuta terhadap tindakan-tindakan yang
dapat dipidana berdasarkan prinsip yurisdiksi universal.
Hiarej
berpendapat bahwa kejahatan internasional dapat didefiniskan sebagai tindakan yang oleh konvensi
internasional atau hukum kebiasaan internasional dinyatakan sebagai kejahatan di bawah hukum
internasional atau kejahatan terhadap masyarakat internasional yang penuntutan
dan penghukumannya berdasarkan prinsip universal. Prinsip universal di sini
berarti bahwa setiap Negara berhak dan wajib
untuk melakkan penuntutan dan penghukuman
terhadap pelak kejahatan internasional diman pun dia berada. Hal ini
dimaksudkan agar tidak ada pelaku kejahatan internasional yang lolos dari hukuman. Akan tetapi, jika seorang pelak
kejahtan internasional telah dituntut
dan dihukum oleh suatu pengadilan atas kejahatan tersebut, maka pengadilan atau
Negara lain tidak boleh melakukan penuntutan dan penghukuman karena melanggar
asas ne bis in idem ( principal of jeopardy adalah prinsip yang menyatakan
bahwa seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan
pengadilan atas perkara yang sama.
Berdasarkan Pasal 20
Statuta Roma, pada dasarnya Statuta Roma tersebut menetapkan asas ne bis in
idem namun terdapat pengecualian. Secara lengkap ketetentuan Pasal 20 Statuta
Roma adalah sebagai berikut :
(1) Tidak seorangpun diadili di depan mahkamah berkenaan dengan perbuatan
yang merupakan dasar kejahatan tersebut di mana orang tesebut telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh mahkamah
(2) Tidak seorangpun boleh diadili di depan suatu
pengadilan lain untuk kejahatan yang
disebutkan dalam pasal 5 dimana orang tersebut telah diadili atau dibebaskan
oleh mahkamah.
(3) Tidak seorangpun yang telah diadili di depan
suatu pengadilan lain untuk perbuatan yang
juga dilarang berdasarkan pasal 6, 7 atau 8 boleh diadili oleh
mahkamah berkenan dengan perbuatan yang sama kecuali kalau proses perkara dalam pengadilan lain itu.
1. Adalah
dengan tujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari tanggungjawab
pidana untuk kejahatan yang berada di dalam jurisdiksi mahkamah,
2. Sebaliknya
tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak sesuai dengan norma-norma
mengenai proses yang diakui oleh hokum internasional dan dilaukan dengan cara
yang dalam keadaan itu tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang
bersangkutan ke depan pengadilan.
Dilihat dari perkembangan dan asal usul tindak
pidana internasional maka
eksistensi tindak pidana internasional
dapat dibedakan dalam :
1. Tindak
pidana internasional yang berasal dari kebiasaan yang berkembang di dalam
praktik hukum internasional.
• Tindak pidana pembajakan atau piracy
• Kejahatan perang atau war crime
• Tindak pidana perbudakan atau slavery
2. Tindak
pidana internasional yang berasal dari
konvensi-konvensi internasional
3. Tindak
pidana internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia. (Genocide).
Berdasarkan
internasionalisasi kejahatan dan karakteristik kejahatan internasional, dalam
konteks hukum pidana internasional, kejahatan
internasional memiliki hirarki atau tingkatan. Sampai dengan tahun
2003 atas dasar 281 konvensi
internasional sejak tahun 1812,
ada 28 kategori kejahatan
internasional [1],
yakni :
1. Aggression
2. Genocide
3. Crimes
against humanity
4. War
crimes
5. Unlawful
possession or use or emplacement of
weapons
6. Theft
of nuclear materials
7. Mercenarism
8. Apartheid
9. Slavery
and salve relatied practices
10. Torture
and other forms of cruel, inhuman, or degrading treatment
11. Unlawful
human experimentation
12. Piracy
13. Aircraft
hijacking and unlawful acts against international air safety
14. Unlawful
acts against the safety of maritime navigation and the safety of platforms on the high seas
15. The rat
and use of force against internationally protected persons
16. Crimes
against United Nations and associated personnel
17. Taking
of civilian hostages
18. Unlawful
use of the mail
19. Attacks
with explosives
20. Financing
of Terrorism
21. Unlawful
use traffic in drugs and related drug offenses
22. Organized
crime
23. Destruction
and or theft of national treasures
24. Unlawful
acts against certain internationally protected elements of the environment
25. International
traffic in obscene materials
26. Falsification
and counterfeiting
27. Unlawful
interference with submarine cables and
28. Bribery
of foreign public officials.
2.
Tindak
Pidana Terorisme
Tindak Pidana
terorisme diatur dalam UU No.15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme.
Dalam UU tersebut terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan
peradaban serta merupakan salah satu
ancaman serius terhadap kedaulatn setiap Negara
karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersiaft international
yang menimbulkan bahya terhadap
keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyakarat sehingga
perlu dilakukan pemberantasan secara berencana
dan berkesinambungan sehingga hak asassi orang banyak dilindungi dan dijunjung tinggi.[2]
Pada dasarnya setiap
tindak pidana akan menyebabkan rasa tidak aman, merupkan kepnetingan perorang,
masyarakata dan atau kerguian Negara, keresahan, rasa was=was dan daapt membuat
tidak adanya perdamamian diantara orang yang bertenaga antara suku, etnis, kampong, desa atau
kelurahan. Tetapi akibat yang ditimbulkan suatu kejahatan pada umumnya tidaklah
sedahsyat akibat kejahatan yang disebabkan
kejahatan terorisme. Dengan pengertian
tersebut maka suatu kegiatan terorisme
setidaknya meliputi keadaan berikut[3] :
1. Ditujukan
untuk menimbulkan bahaya terhadap
keamanan, perdamaian dunia serta
merugikan kesejahteraan masyarakat secara luas
2. Ancaman
serius terhadapa kedaulatan setiap Negara
3. Mempunyai
jaringan nasional dan atau international
4. Diperkirakan
mempunyai dana yang tidak kecil yang bersumber dari dalam dan luar
5. Tujuan
lain yang hendak dicapai berdimensi
ideologis hokum dan konstitusi atau praktis.
Apabila diliat dari jaringan organsiasinya maka suatu
kejahtan terorisme setidaknya memiliki hal-hal berikut :
1. Mempunyai
jaringan yang luas dan menggunakan system sel
2. Merupakan
kejahtan yang bersakala internasional dan kegiatan maupun struktur
organisasinya tertata dalam suatu system yang baik
3. Memiliki
sumber dana yang cukup besar
4. Dampak
ketigatan atau akibat yang ditimbulkannya mengancanm keamanan dan perdamaian
nasional, eregional dan internasional.
Ciri-ciri umum terorisme di gambarkan UU No. 15 Tahun 2003
sebagai berikut :
1. terorisme
telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan
masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan serta kerugian harta benda
2. terorisme
mempunyai jaringan yang luas sehingganeryoajab abcanab terhadap perdamaian dan
keamanan nasional maupun internasional.
Dampak tindakan terorisme dikatakan menimbulkan bahaya yang
cukup bear disebabkan aksi-aksi dari terorisme dilakukan dengan cara-cara [4]:
·
Pengeboman,
·
Pembunuhan
·
Penculikan dengan tebusan
·
Penyanderaan
·
Pembajakan
·
Penyerangan dengan senjata
·
Melukai anggota bagian tubuh sehingga orang
tersebut cacat permanen
·
Pembakaran
·
Perampokan.
3.
Pendanaan
Terorisme
Menurut David Leppan,
tedapat beberapa cara digunakan dalam
pendanaan terorisme, yaitu [5]:
1. Traditional
Banking Transfers
2. Charity
·
Targeting charities is a sensitive challenge, especially in Muslim countries
·
Determining which organization is legitimate,
which is unknowingly assisting terrorists and which is proactively supporting
terrorism – is not easy
·
Just like
any organized criminal group, legitimate organisations can be
‘hijacked’,
·
Pyramid structure
3. Hawala.
·
Hawal is extremely useful for money laundering
and hiding ntircate financial operation
·
The najority of Hawala transfers are from
legitimate sources
·
The Hawaa organizatioons are numberous and
powerful
·
Goervemnts have neither the measn nor the will
to monitor
·
Banning the networks would drive them underground
4. Gold
and Diamonds
·
Used to generate funds and hide its assets
·
Gold is a global currency. It can be melted or
deposit easily
·
Gold is exempt from international reporting
requirements
·
Gold is also the fuel Hawala runs on – dealers balamce
therir books
·
Greater control and regulation on preciuosu
metals and stones needed.
5. Narcotics
·
One of the oldest and most dependable sources
·
Extremely high value
·
Countries have in the past tried 2 tactis to
control narcotic trade; either ban it
(goes underground) or legalizing it (regulate it)
6. Extortion
7. Counterfeiting
D.
PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME
Menurut beberapa ahli
sebagaimana dikemukakan dalam pertemuan Financial Action Task Force (FATF) on
Money Laundering di Welingtong tahun 2001, ada dua metode pembiayaan bagi
kegiatan para teroris.
Pertama, adalah melibatkan perolehan dukungan keuangan dari Negara
dan selanjutnya menyalurkan dana
tersebut kepada organisasi teroris. Diyakini bahwa terorisme yang didukung oleh Negara
(state-sponsored terrorism) telah menurun beberapa tahun terakhir ini.
Perolehan dana dapat didapatkan dari perorangan yang memiliki kekayaan berupa
dana yang besar. Sebagai contoh adalah peristiwa penyerangan teroris tanggal 11
September 2001. Osama bin Laden yang
dipercaya sebagai dalang di belakang penyerangan tersebut, dituduh telah
memberikan kontribusi dana dari kekayaan pribadinya untuk mendirikan dan
mendukung jaringan teroris Al-Qaeda bersama-sama dengan rezim Taliban yang dahulu memerintah
Afganistan.
Kedua, adalah
memperoleh langsung dari berbagai kegiatan
yang menghasilkan uang. Kegiatan-kegiatan tersebut termasuk melakukan berbagai tindak
pidana. Cara ini tidak berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh
organisasi-organsiasi kejahatan pada umumnya. Namun berbeda dengan
organisasi-organisasi kejahatan pada umumnya, kelompok-kelompok teroris
memperoleh dana sebagian dari pendapatan yang halal (tidak terkait dengan
kejahatan)[6].
Menurut Komisar dalam
pernyataannya, jaringan para teroris di seluruh dunia bergantung pada system
kerahasiaan bank dan korporasi internasional untuk menembunyikan dan
mengalihkan uang mereka. Struktur ini dimungkinkan karena adanya kesepakatan di antara bank-bank
di dunia dank arena kekuatan-kekuatan keuangan dunia. Banyak orang memperoleh
uang dari hal itu, termasuk pemilik dan para manajer bank-bank yang
menyembunyikan simpanan nasbah mereka
dari otoritas perpajakan. Tetapi konsekuensi
tidak diinginkan yang timbul
adalah bahwa hal itu membantu jaringan dunia para teroris.
The Sunday Times
London melaporkan bahwa Khalid al-Fawwaz, yang dicurigai sebagai orangnya Osama
bin Laden telah menggunakan suatu rekening yang dibuka pada cabang Barclsys
Bank di London untuk membiayai sirkulasi
perintah-perintah dan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh bin Laden dengan
bagian-bagian lain dari jaringan global organisasi mereka.
Al Taqwa Management Organization
AG, sebuah perusahaan yang bergerak di
bidang jasa-jasa keuangan yang berkedudukan di Lugano di bagian Swiss, memiliki
huungan dengan Osama bin Laden. Lugano dikenal sebagai tempat bagi
perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yang fungsinya secara
rahasia mengalihkan uang, dan terkenal pula karena tempat tersebut adalah
tempat untuk mendirikan
perusahaan-perusahaan gadungan (bohong-bohongan) dan untuk membuka
rekening-rekening bank secara rahasia.
Sistem tersebut
sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang mengherankan bagi permerintah Amerika
Serikat karena pemerintah Amerika
Serikat dan para sekutunya pernah juga
menggunakan system tersebut. Bank of Credit and Commerce Internationa
(BCC), pernah menggunakan
rekening-rekening lepas pantia yang dirahasiakan (secret offshore accounts) untuk melakukan
pencucian uang secara global sampai bernilai
US $8 miliar. Sebelum ditutup pada tahun 1991, BCCI telah digunakan oleh
pemerintah Amerika Serikat untuk membiayai Mujahidin dan kemudian memerangi pemerintah Afganistan yang didukung
oleh Soviet. Uang tersebut berasal dari pihak intel Amerika Serikat dan Saudi[7].
Suatu clearinghouse
di Luxemburg yang disebut Clearstream, melakukan kegiatan mentranfer dana untuk
bank-bank internasional dan perusahaan-perusahaan besar. Para nasabah
Clearstream terdiri atas para banker , para manajer investasi
perusahaan-perusahaan lepas pantai, para pengelak pajak, para pejabat yang
kegiatannya memberikan jasa-jasa rahasia (secret services), para CEO dari perusahaan-perusahaan
multinasional atau para teroris. Clearstream digunakan pula untuk melakukan
kegiatan yang terkait pendanaan teroris. Misalanya, terdapat satu rekening di Clearstream yang dimiliki oleh Bahrain Internasional Bank
yang dicurigai digunakan untuk mengalirkan dana Osama bin Laden.
Clearstream lainnya
yaitu Euroclear yang berkedudukan di Brussel mentransfer sebanyak 150 juta
transaksi setiap tahun yang
melibatkan jumlah aset lebih dari US
$7miliar. Merupakan kebijakan dari Clearstream untuk memungkinkan bagi nasabanyan membuka non published account
(rekening-rekening yang tidak dipublikasikan) yang tidak muncul di setiap dokumen atau dalam catatan
transaksi-transkasi keuangan internasional. Apabil para penegak hokum meminta
untuk melihat catatan-catatan tersebut, rekening tersebut tidak dijumpai. Separuh dari 15 ribu rekening
di Clearstream merupakan rekening yang
tidak dipublikasikan.
Terdapat 2000
perusahaan investasi (investment companies) bank-bank dan perusahaan-perusahaan
anak dari bank-bank, terutama yang merupakan perusahaan-perusahaan British,
German, American, Italian, French atau Swiss yang memiliki unpublished account pada Clearstream yang
berkedudukan di Negara-negara yang merupakan tax havens seperti Caymand
Islands, yang menawarkan juga rekening rahasia. Dengan demikian terciptalah
lapisan kerahasiaan ganda (double layer of secrecy).[8]
Apabila dunia
internasional bermaksud menghentikan atau sekurang-sekurangnya menyulitkan
mengalirnya dana yang dimaksudkan untuk
membiaya kegiatan terorisme, harus ada upaya berama secara internasional untuk
memotong aliran dana tersebut. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan cara pemerintah masing-masing Negara,
termasuk Indonesia tentu saja, di samping membuat peraturan-peraturan yang
dapat dijadikan landasan hokum untuk melarang pembiayaan terorisme oleh
siapapun, juga melakukan penindakan yang
nyata dan sungguh-sungguh untuk menegakkan peraturan perundang-undangan
tersebut. Keberhasilan pemberantasan
terorisme dengan antara lain melakukan tindakan pencegahan maupun tindakan
represif terhadap kegiatan pembiayaan kepada para teroris hanya akan efektif
apabila upaya-upaya tersebut dilakukan dengan bekerja sama secara
internasional, baik antar pemerintah, antar perbankan dan antar system keuangan
di seluruh dunia[9].
Sebagai tanggapan
terhadap tekanan internasional itu, yang semakin meningkat setelah terjadinya
peristiwa pemboman di Bali yang dituding dilakukan oleh kelompok Jamaah
Islamiyah. Pemerintah Indonesia telah membuat Peraturan Pengganti Undang-Undang
Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Kedua
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut kemudian telah disahkan oleh
DPR sebagai Undang-Undang dengan UU No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali
Tanggal 12 Oktober 2002, Menjadi Undang-Undang.
Semula, Undang-Undang
No.15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu
sebelum diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, belum bicara apa-apa mengenai financing of terrorism atau terrorist financing. Namun, UU tersebut
telah memberikan kepedulian terhadap pengkriminalisasian terorisme. Hal ini
dapat diketahui dari Pasal 2 UU tersebut yang telah memasukkan terorisme
sebagai salah satu predicate crime atau
underlaying crime yang menjadi sumber
harta kekayaan hasil tindak pidana dan merupakan objek pencucian uang. Tetapi
kemudian dengan UU No. 25 Tahun 2003, yaitu undang-undang yang mengubah dan
menambah UU No. 15 Tahun 2002 tersebut, ditambahkan satu pasal baru ke dalam
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu Pasal 2 ayat (2) yang
menyangkut pembiayaan terorisme.
Pada waktu UU No. 15
Tahun 2002 tersebut diundangkan pada tanggal 17 April 2002, Indonesia belum
memiliki Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (PERPU No. 1/2002) yang baru dibuat pada
tanggal 18 Oktober 2002. Artinya, pada waktu itu terorisme belum
dikriminalisasi sebagai tindak pidana.
E. KESIMPULAN
DAN SARAN
1. Pendanaan
Terorisme (Financial Terrorism) termasuk dalam kejahatan Hukum Internasional.
2. Pendanaan
Terorisme melibatkan individu dan organisasi serta system dan
jaringan yang sangat luas melewati batas wilayah suatu Negara
3. Pendanaan
Terorisme dilakukan melalui
dua sumber .
Pertama, melalui sumber dana yang
berasal dari tindak pidana kejahatan
seperti Narkotika, Penjualan
Senjata, Bisnsi Gelap, Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua bersumber dari dana
yang halal seperti pendanaan kegiatan
social, hasil usaha yang dipertanggunjawabkan sebagai donasi, atau penghasilan seseorang.
4. Adanya
factor yang halal dalam sumber dana
terorisme menyebabkan sulita memberantas tindak pidana pendanaan terorisme.
Keterbatasan sistem pengiriman
uang menyebabkan pengiriman uang dilakukan dengan cara-cara tradisional yang
sulit dideteksi sistem Hukum Pidana
Internasional
Kelemahan aparat di perbatasan
menyebabkan pendanaan terorisme
lewat penyelundupan dan pengiriman fisik uang tunai antar Negara.
5. Meskipun
Indonesia telah menerbitkan berbagai ketentuan untuk memberantas Pendanaan Terorisme, namun hal itu belum
ampuh terbukti dengan maraknya aksi terorisme di Indonesia.
Usulan
1. Perlu
dilakukan peningkatan kerjasama antar
Negara untuk bersama-sama memberantas Pendanaan Teroris khususnya Negara-negara tetangga dan membuat perjanjian
untuk menerapakan hokum yang sama sehingga
tercapai efektifitas penegakan hukum
2. Peningkatan
tanggungjawab aparat yang bertanggung jawab
terhadap migrasi antar Negara khususnya di daerah-daerah
perbatasan.
3. Pemberian
insentif bagi warga Negara yang akan
melakukan pengiriman dana ke Indonesia melalui transaksi perbankan yang modern.
Hal ini untuk menghindari penggunaan
pengiriman uang secara manual dan tradisional yang sulit dilacak secara hokum.
DAFTAR PUSTAKA
Hiarej, Eddy O.S.,
Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009
Leppen, David, Anti Money Laundering
Training Manual, Hotel Borobudur Jakarta, 2003
Sahdeni, Sutan Remy, Seluk Beluk Tindak
Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,
2007
Siahaan , R.O, Tindak Pidana Khusus, Cibubur,, Rao Press,
2011
Widnyana, I Made, Hukum Pidana Internasional, Ubhara Jaya
Press, Jakarta, 2011
[1]
Eddy O.S. Hiarej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 2009, hlm 55.
Bandingkan I Made Widnyana, Hukum
Pidana Internasional, hlm 72,
[2]
R.O Siahaan, Tindak Pidana Khusus, Cibubur,, Rao Press, 2011, hlm 145
[3]
Ibid, hlm 146
[4]
Ibid, hlm 148
[5]
David Leppen, Anti Money Laundering Training Manual, Hotel Borobudur Jakarta,
2003
[6]
Sutan Remy Sahdeni, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2007, hlm.287
[7]
Sutan Remy Sahdeni, loc.cit
[8]
Sutan Remy Sahdeni, loc.op
[9]
Sutan Remy Sahdeni, Loc cit.
No comments:
Post a Comment