Friday 12 October 2012

TANTANGAN PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME


TANTANGAN PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME

A.    PENDAHULUAN
Indonesia merupakan bagian dari negara-negara di dunia (international) yang memiliki kedaulatan. Tujuan Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dari tujuan tersebut bahwa Indonesia turut serta memelihara perdamaian dunia. Hal ini menunjukkan bahwa perdamaian adalah suatu kondisi ideal bagi suatu negara untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, segala hal yang menghalangi  Indonesia untuk mencapai tujuannya harus diberantas dan jika perlu diperangi dengan segala daya upaya.
Terorisme merupakan suatu ancaman bagi kelangsungan sebuah negara. Tindakan terorisme  sangat bertentangan dengan ideologi dan tujuan  Indonesia. Apabila terorisme semakin marak, maka upaya  memberantas terorisme juga harus ditingkatkan. Memerangi terorisme  dengan senjata  tidak cukup. Salah satu yang menjadi  sasaran pencegahan terorisme adalah melemahkan pendanaan terorisme (financing terrorism).
Terrorisme akan semakin berkembang apabila organisasinya mendapat dukungan dana yang cukup. Oleh karena itu, perang terhadap pendanaan terorisme merupakan langkah yang penting dalam memerangi terorisme  itu sendiri.
Tindakan terorisme di Indonesia relatif berkembang. Beberapa peristiwa yang menggemparkan antara lain :
1.      Bom Bali 1 dan  2
2.      Bom Natal
3.      Bom Gereja KatholiK
4.      Bom Kuningan
5.      Bom JW Mariot
Dampak negative dari tindakan  terorisme itu  tidak saja menimbulkan korban, tapi berdampak pula pada instrument pasar uang dan pasar modal.  Nilai tukar  dan indeks harga saham mengalami  fluktuasi.


B.     PERMASALAHAN

Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Financing of Terrorism) masuk dalam konvensi internasional yang relative baru. Indonesia sendiri baru mengatur  kejahatan pendanaan  terrorisme tahun 2002. Meskipun ketentuan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme namun kejahatan  terrorisme  seperti pemboman masih marak terjadi. Sehubungan dengan hal itu, penulis berminat untuk membahas Tantangan Pemberantasan  Pendanaan Terorisme dengan masalah :
-          Bagaimana terorisme mendapat dukungan dana dalam tindakan-tindakannya?
-          Apakah upaya  Indonesia dalam memerangai terorisme lewat   kebijakan menghambat dana terrorisme sudah mencukupi?

  
C.     TINJAUAN TEORI TERORISME DAN PENDANAAN TERORIS
1.      Terorisme : Kejahatan Internasional

Menurut pendapat para ahli, bahwa  definisi  kejahatan international belum mempunyai kesamaan pandangan.
Menurut  Bassiouni , memberi definisi  kejahatan international sebagai setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi multilateral dan diikuti oleh sejumlah Negara dan di dalamnya  terdapat salah satu  dari kesepuluh karakteristik  pidana.
Bryan A Garner, memberi pengertian kejahtan internasional sebagai kejahatan terhadap  hokum internasional.
Pertama, suatu tindakan  sbagai kejahatan berdasarkan perjanjian (treaty crime) di bawah hokum international atau hokum kebiasaan internasional dan mengikat indiidu secara langsung tanpa di atur dalam hokum nasional.
Kedua, ketentuan dalam hokum internasional yang mengharuskan penuntuta terhadap tindakan-tindakan yang dapat dipidana berdasarkan prinsip yurisdiksi universal.
 Hiarej  berpendapat bahwa kejahatan internasional  dapat didefiniskan  sebagai tindakan yang oleh konvensi internasional atau hukum kebiasaan internasional  dinyatakan sebagai kejahatan di bawah hukum internasional atau kejahatan terhadap masyarakat internasional yang penuntutan dan penghukumannya berdasarkan prinsip universal. Prinsip universal di sini berarti  bahwa setiap Negara berhak dan wajib untuk melakkan penuntutan dan  penghukuman terhadap pelak kejahatan internasional diman pun dia berada. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada pelaku kejahatan internasional yang lolos  dari hukuman. Akan tetapi, jika seorang pelak kejahtan internasional  telah dituntut dan dihukum oleh suatu pengadilan atas kejahatan tersebut, maka pengadilan atau Negara lain tidak boleh melakukan penuntutan dan penghukuman karena melanggar asas ne bis in idem ( principal of jeopardy adalah prinsip yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan  atas perkara yang sama.
Berdasarkan Pasal 20 Statuta Roma, pada dasarnya Statuta Roma tersebut menetapkan asas ne bis in idem namun terdapat pengecualian. Secara lengkap ketetentuan Pasal 20 Statuta Roma  adalah sebagai berikut  :
(1)  Tidak seorangpun diadili di  depan mahkamah berkenaan dengan perbuatan yang merupakan dasar kejahatan tersebut di mana orang tesebut telah dinyatakan  bersalah atau dibebaskan oleh mahkamah
(2)  Tidak seorangpun boleh diadili di depan suatu pengadilan lain untuk kejahatan  yang disebutkan dalam pasal 5 dimana orang tersebut telah diadili atau dibebaskan oleh mahkamah.
(3)  Tidak seorangpun yang telah diadili di depan suatu pengadilan lain untuk perbuatan yang  juga dilarang berdasarkan pasal 6, 7 atau 8 boleh diadili oleh mahkamah  berkenan dengan perbuatan  yang sama kecuali kalau proses  perkara dalam pengadilan lain itu.
1.      Adalah dengan tujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari tanggungjawab pidana untuk kejahatan yang berada di dalam jurisdiksi mahkamah,
2.      Sebaliknya tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak sesuai dengan norma-norma mengenai proses yang diakui oleh hokum internasional dan dilaukan dengan cara yang dalam keadaan itu tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan pengadilan.

 Dilihat dari perkembangan dan asal usul tindak pidana internasional  maka eksistensi  tindak pidana  internasional  dapat dibedakan  dalam  :
1.     Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan yang berkembang di dalam praktik hukum internasional.
•     Tindak pidana pembajakan atau piracy
•     Kejahatan perang atau war crime
•     Tindak pidana perbudakan atau slavery
2.     Tindak pidana internasional yang berasal  dari konvensi-konvensi internasional
3.     Tindak pidana internasional  yang lahir  dari sejarah perkembangan konvensi  mengenai hak asasi manusia. (Genocide).

Berdasarkan internasionalisasi kejahatan dan karakteristik kejahatan internasional, dalam konteks hukum pidana internasional, kejahatan  internasional  memiliki  hirarki atau tingkatan. Sampai dengan tahun 2003 atas dasar 281 konvensi  internasional  sejak tahun 1812, ada 28  kategori  kejahatan  internasional [1], yakni   :
1.      Aggression
2.      Genocide
3.      Crimes against humanity
4.      War crimes
5.      Unlawful possession or  use or emplacement of weapons
6.      Theft of nuclear materials
7.      Mercenarism
8.      Apartheid
9.      Slavery and salve relatied practices
10.  Torture and other forms of cruel, inhuman, or degrading treatment
11.  Unlawful human experimentation
12.  Piracy
13.  Aircraft hijacking and unlawful acts against international air safety
14.  Unlawful acts against the safety of maritime navigation and the safety  of platforms on the high seas
15.  The rat and use of force against internationally protected persons
16.  Crimes against United Nations and associated personnel
17.  Taking of civilian hostages
18.  Unlawful use of the mail
19.  Attacks with explosives
20.  Financing of Terrorism
21.  Unlawful use traffic in drugs and related drug offenses
22.  Organized crime
23.  Destruction and or theft of national treasures
24.  Unlawful acts against certain internationally protected elements of the environment
25.  International traffic  in obscene materials
26.  Falsification and counterfeiting
27.  Unlawful interference with submarine cables and
28.  Bribery of foreign public officials.

2.      Tindak Pidana Terorisme

Tindak Pidana terorisme diatur dalam UU No.15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme. Dalam UU tersebut terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban  serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatn setiap Negara  karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersiaft international yang menimbulkan  bahya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyakarat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana  dan berkesinambungan sehingga hak asassi orang banyak dilindungi  dan dijunjung tinggi.[2]
Pada dasarnya setiap tindak pidana akan menyebabkan rasa tidak aman, merupkan kepnetingan perorang, masyarakata dan atau kerguian Negara, keresahan, rasa was=was dan daapt membuat tidak adanya perdamamian diantara orang yang bertenaga  antara suku, etnis, kampong, desa atau kelurahan. Tetapi akibat yang ditimbulkan suatu kejahatan pada umumnya tidaklah sedahsyat akibat kejahatan yang disebabkan  kejahatan terorisme. Dengan pengertian  tersebut maka suatu kegiatan terorisme  setidaknya meliputi keadaan berikut[3] :
1.      Ditujukan untuk menimbulkan bahaya  terhadap keamanan, perdamaian dunia serta  merugikan kesejahteraan  masyarakat secara luas
2.      Ancaman serius terhadapa kedaulatan setiap Negara
3.      Mempunyai jaringan nasional dan atau international
4.      Diperkirakan mempunyai dana yang tidak kecil yang bersumber dari dalam dan luar
5.      Tujuan lain yang hendak dicapai  berdimensi ideologis hokum dan konstitusi atau praktis.

Apabila diliat dari jaringan organsiasinya maka suatu kejahtan terorisme setidaknya memiliki hal-hal berikut :
1.      Mempunyai jaringan yang luas dan menggunakan system sel
2.      Merupakan kejahtan yang bersakala internasional dan kegiatan maupun struktur organisasinya tertata dalam suatu system yang baik
3.      Memiliki sumber dana yang cukup besar
4.      Dampak ketigatan atau akibat yang ditimbulkannya mengancanm keamanan dan perdamaian nasional, eregional dan internasional.

Ciri-ciri umum terorisme di gambarkan UU No. 15 Tahun 2003 sebagai berikut :
1.      terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan serta kerugian  harta benda
2.      terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingganeryoajab abcanab terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.

Dampak tindakan terorisme dikatakan menimbulkan bahaya yang cukup bear disebabkan aksi-aksi dari terorisme dilakukan dengan cara-cara [4]:
·         Pengeboman,
·         Pembunuhan
·         Penculikan dengan tebusan
·         Penyanderaan
·         Pembajakan
·         Penyerangan dengan senjata
·         Melukai anggota bagian tubuh sehingga orang tersebut cacat permanen
·         Pembakaran
·         Perampokan.

3.      Pendanaan Terorisme

Menurut David Leppan, tedapat beberapa cara  digunakan dalam pendanaan terorisme, yaitu [5]:
1.      Traditional Banking Transfers
2.      Charity
·         Targeting charities is a sensitive  challenge, especially in Muslim countries
·         Determining which organization is legitimate, which is unknowingly assisting terrorists and which is proactively supporting terrorism – is not easy
·         Just like  any organized criminal group, legitimate organisations can be ‘hijacked’,
·         Pyramid structure
3.      Hawala.
·         Hawal is extremely useful for money laundering and hiding ntircate financial operation
·         The najority of Hawala transfers are from legitimate sources
·         The Hawaa organizatioons are numberous and powerful
·         Goervemnts have neither the measn nor the will to monitor
·         Banning the networks  would drive them underground
4.      Gold and Diamonds
·         Used to generate funds and hide its assets
·         Gold is a global currency. It can be melted or deposit easily
·         Gold is exempt from international reporting requirements
·         Gold is also the fuel Hawala runs on – dealers balamce therir books
·         Greater control and regulation on preciuosu metals and stones needed.
5.      Narcotics
·         One of the oldest and most dependable sources
·         Extremely high value
·         Countries have in the past tried 2 tactis to control  narcotic trade; either ban it (goes underground) or legalizing it (regulate it)
6.      Extortion
7.      Counterfeiting


D.    PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

Menurut beberapa ahli sebagaimana dikemukakan dalam pertemuan Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering di Welingtong tahun 2001, ada dua metode pembiayaan bagi kegiatan para teroris.
Pertama, adalah melibatkan perolehan dukungan keuangan dari Negara dan selanjutnya menyalurkan dana  tersebut kepada organisasi teroris. Diyakini bahwa  terorisme yang didukung oleh Negara (state-sponsored terrorism) telah menurun beberapa tahun terakhir ini. Perolehan dana dapat didapatkan dari perorangan yang memiliki kekayaan berupa dana yang besar. Sebagai contoh adalah peristiwa penyerangan teroris tanggal 11 September 2001. Osama bin Laden  yang dipercaya sebagai  dalang di belakang  penyerangan tersebut, dituduh telah memberikan kontribusi dana dari kekayaan pribadinya untuk mendirikan dan mendukung jaringan teroris Al-Qaeda bersama-sama  dengan rezim Taliban yang dahulu memerintah Afganistan.
Kedua, adalah memperoleh langsung dari berbagai kegiatan  yang menghasilkan uang. Kegiatan-kegiatan  tersebut termasuk melakukan berbagai tindak pidana. Cara ini tidak berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organsiasi kejahatan pada umumnya. Namun berbeda dengan organisasi-organisasi kejahatan pada umumnya, kelompok-kelompok teroris memperoleh dana sebagian dari pendapatan yang halal (tidak terkait dengan kejahatan)[6].
Menurut Komisar dalam pernyataannya, jaringan para teroris di seluruh dunia bergantung pada system kerahasiaan bank dan korporasi internasional untuk menembunyikan dan mengalihkan uang mereka. Struktur ini dimungkinkan  karena adanya kesepakatan di antara bank-bank di dunia dank arena kekuatan-kekuatan keuangan dunia. Banyak orang memperoleh uang dari hal itu, termasuk pemilik dan para manajer bank-bank yang menyembunyikan  simpanan nasbah mereka dari otoritas perpajakan. Tetapi konsekuensi  tidak diinginkan yang timbul  adalah bahwa hal itu membantu jaringan dunia para teroris.
The Sunday Times London melaporkan bahwa Khalid al-Fawwaz, yang dicurigai sebagai orangnya Osama bin Laden telah menggunakan suatu rekening yang dibuka pada cabang Barclsys Bank di London untuk membiayai  sirkulasi perintah-perintah dan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh bin Laden dengan bagian-bagian lain dari jaringan global organisasi mereka.
Al Taqwa Management Organization AG, sebuah perusahaan  yang bergerak di bidang jasa-jasa keuangan yang berkedudukan di Lugano di bagian Swiss, memiliki huungan dengan Osama bin Laden. Lugano dikenal sebagai tempat bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yang fungsinya secara rahasia mengalihkan uang, dan terkenal pula karena tempat tersebut adalah tempat untuk mendirikan  perusahaan-perusahaan gadungan (bohong-bohongan) dan untuk membuka rekening-rekening bank secara rahasia.
Sistem tersebut sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang mengherankan bagi permerintah Amerika Serikat karena pemerintah  Amerika Serikat dan para sekutunya pernah juga  menggunakan system tersebut. Bank of Credit and Commerce Internationa (BCC), pernah menggunakan  rekening-rekening lepas pantia yang dirahasiakan  (secret offshore accounts) untuk melakukan pencucian uang secara global sampai bernilai  US $8 miliar. Sebelum ditutup pada tahun 1991, BCCI telah digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk membiayai Mujahidin dan kemudian  memerangi pemerintah Afganistan yang didukung oleh Soviet. Uang tersebut berasal dari pihak intel Amerika Serikat dan Saudi[7].
Suatu clearinghouse di Luxemburg yang disebut Clearstream, melakukan kegiatan mentranfer dana untuk bank-bank internasional dan perusahaan-perusahaan besar. Para nasabah Clearstream terdiri atas para banker , para manajer investasi perusahaan-perusahaan lepas pantai, para pengelak pajak, para pejabat yang kegiatannya memberikan jasa-jasa rahasia (secret services), para CEO dari perusahaan-perusahaan multinasional atau para teroris. Clearstream digunakan pula untuk melakukan kegiatan yang terkait pendanaan teroris. Misalanya, terdapat satu rekening  di Clearstream  yang dimiliki oleh Bahrain Internasional Bank yang dicurigai digunakan untuk mengalirkan dana Osama bin Laden.
Clearstream lainnya yaitu Euroclear yang berkedudukan di Brussel mentransfer sebanyak 150 juta transaksi setiap tahun  yang melibatkan  jumlah aset lebih dari US $7miliar. Merupakan kebijakan dari Clearstream untuk memungkinkan  bagi nasabanyan membuka non published account (rekening-rekening yang tidak dipublikasikan) yang tidak muncul  di setiap dokumen atau dalam catatan transaksi-transkasi keuangan internasional. Apabil para penegak hokum meminta untuk melihat catatan-catatan tersebut, rekening tersebut  tidak dijumpai. Separuh dari 15 ribu rekening di Clearstream merupakan  rekening yang tidak dipublikasikan.
Terdapat 2000 perusahaan investasi (investment companies) bank-bank dan perusahaan-perusahaan anak dari bank-bank, terutama yang merupakan perusahaan-perusahaan British, German, American, Italian, French atau Swiss yang memiliki  unpublished account pada Clearstream yang berkedudukan di Negara-negara yang merupakan tax havens seperti Caymand Islands, yang menawarkan juga rekening rahasia. Dengan demikian terciptalah lapisan kerahasiaan ganda (double layer of secrecy).[8]
Apabila dunia internasional bermaksud menghentikan atau sekurang-sekurangnya menyulitkan mengalirnya dana yang dimaksudkan  untuk membiaya kegiatan terorisme, harus ada upaya berama secara internasional untuk memotong  aliran dana tersebut.  Hal ini antara lain dapat dilakukan  dengan cara pemerintah masing-masing Negara, termasuk Indonesia tentu saja, di samping membuat peraturan-peraturan yang dapat dijadikan landasan hokum untuk melarang pembiayaan terorisme oleh siapapun, juga melakukan  penindakan yang nyata dan sungguh-sungguh untuk menegakkan peraturan perundang-undangan tersebut. Keberhasilan  pemberantasan terorisme dengan antara lain melakukan tindakan pencegahan maupun tindakan represif terhadap kegiatan pembiayaan kepada para teroris hanya akan efektif apabila upaya-upaya tersebut dilakukan dengan bekerja sama secara internasional, baik antar pemerintah, antar perbankan dan antar system keuangan di seluruh dunia[9].

Sebagai tanggapan terhadap tekanan internasional itu, yang semakin meningkat setelah terjadinya peristiwa pemboman di Bali yang dituding dilakukan oleh kelompok Jamaah Islamiyah. Pemerintah Indonesia telah membuat Peraturan Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Kedua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut kemudian telah disahkan oleh DPR sebagai Undang-Undang dengan UU No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Menjadi Undang-Undang.
Semula, Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu sebelum diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, belum bicara apa-apa mengenai financing of terrorism atau terrorist financing. Namun, UU tersebut telah memberikan kepedulian terhadap pengkriminalisasian terorisme. Hal ini dapat diketahui dari Pasal 2 UU tersebut yang telah memasukkan terorisme sebagai salah satu predicate crime atau underlaying crime yang menjadi sumber harta kekayaan hasil tindak pidana dan merupakan objek pencucian uang. Tetapi kemudian dengan UU No. 25 Tahun 2003, yaitu undang-undang yang mengubah dan menambah UU No. 15 Tahun 2002 tersebut, ditambahkan satu pasal baru ke dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu Pasal 2 ayat (2) yang menyangkut pembiayaan terorisme.
Pada waktu UU No. 15 Tahun 2002 tersebut diundangkan pada tanggal 17 April 2002, Indonesia belum memiliki Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (PERPU No. 1/2002) yang baru dibuat pada tanggal 18 Oktober 2002. Artinya, pada waktu itu terorisme belum dikriminalisasi sebagai tindak pidana.

E.     KESIMPULAN DAN SARAN
1.      Pendanaan Terorisme (Financial Terrorism) termasuk dalam kejahatan Hukum Internasional.
2.      Pendanaan Terorisme  melibatkan  individu dan organisasi serta system dan jaringan yang sangat luas melewati batas wilayah suatu Negara
3.      Pendanaan Terorisme  dilakukan  melalui  dua  sumber .
Pertama, melalui sumber dana yang berasal dari tindak pidana kejahatan  seperti  Narkotika, Penjualan Senjata, Bisnsi Gelap, Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua bersumber dari dana yang halal seperti  pendanaan kegiatan social, hasil usaha yang dipertanggunjawabkan sebagai donasi, atau  penghasilan seseorang.
4.      Adanya factor  yang halal dalam sumber dana terorisme menyebabkan sulita memberantas tindak pidana pendanaan terorisme.
Keterbatasan sistem pengiriman uang menyebabkan pengiriman uang dilakukan dengan cara-cara tradisional yang sulit dideteksi  sistem Hukum Pidana Internasional
Kelemahan aparat  di perbatasan  menyebabkan  pendanaan terorisme lewat penyelundupan dan pengiriman fisik uang tunai antar Negara.
5.      Meskipun Indonesia telah menerbitkan berbagai ketentuan untuk memberantas  Pendanaan Terorisme, namun hal itu belum ampuh terbukti dengan maraknya aksi terorisme di Indonesia.
Usulan
1.      Perlu dilakukan peningkatan kerjasama  antar Negara untuk bersama-sama memberantas Pendanaan Teroris khususnya  Negara-negara tetangga dan membuat perjanjian untuk menerapakan hokum yang sama sehingga  tercapai efektifitas penegakan hukum
2.      Peningkatan tanggungjawab aparat yang bertanggung jawab  terhadap  migrasi  antar Negara khususnya di daerah-daerah perbatasan.
3.      Pemberian insentif bagi  warga Negara yang akan melakukan pengiriman dana ke Indonesia melalui transaksi perbankan yang modern. Hal ini untuk menghindari  penggunaan pengiriman uang secara manual dan tradisional yang sulit dilacak secara hokum.
DAFTAR PUSTAKA

Hiarej,  Eddy O.S., Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009
Leppen, David, Anti Money Laundering Training Manual, Hotel Borobudur Jakarta, 2003
Sahdeni, Sutan Remy, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2007
Siahaan , R.O, Tindak Pidana Khusus, Cibubur,, Rao Press, 2011
Widnyana, I Made, Hukum Pidana Internasional, Ubhara Jaya Press, Jakarta, 2011






[1] Eddy O.S. Hiarej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009, hlm 55.
   Bandingkan  I Made Widnyana, Hukum Pidana Internasional, hlm 72,
[2] R.O Siahaan, Tindak Pidana Khusus, Cibubur,, Rao Press, 2011, hlm 145
[3] Ibid, hlm 146
[4] Ibid, hlm 148
[5] David Leppen, Anti Money Laundering Training Manual, Hotel Borobudur Jakarta, 2003
[6] Sutan Remy Sahdeni, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2007, hlm.287
[7] Sutan Remy Sahdeni, loc.cit
[8] Sutan Remy Sahdeni, loc.op
[9] Sutan Remy Sahdeni, Loc cit.

No comments:

Post a Comment