Friday 12 October 2012

KONTROVERSI PRESIDEN SEBAGAI PIMPINAN PARTAI DALAM MEMERANGI KORUPSI



  1. Latar Belakang dan Permasalahan
 Dalam Undang-undang Dasar 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945  tertera tujuan negara Indonesia yaitu  “….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Terdapat  empat pokok pikiran yang penting dalam pembukaan UUD 1945 tersebut :
1.      Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara Persatuan, Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan.
2.      Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
3.      Pokok yang ketiga yang terkandung dalam "pembukaan" ialah negara yang berkedaulatan Rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. 
4.      Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam "pembukaan" ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.


Tugas mewujudkan keadilan sosial merupakan isu yang paling disoroti belakangan ini mengingat  kemerdekaan sudah dijalani selama 67 tahun, namun kehidupan masyarakat masih banyak yang tertinggal. Kemerdekaan seolah-olah  menjadi milik kelompok atau orang-orang tertentu. Salah satu yang menjadi  faktor masalah  dalam mewujudkan keadilan sosial adalah penyalahgunaan wewenang  dan  implikasi  penyalahgunaan anggaran (baca : korupsi). Barangkali  tepatlah yang dikatakan Lord Acton “ power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung untuk korup dan  kekuasaan mutlak  korup secara  mutlak).
Indonesia merupakan  negara kesatuan  yang berbentuk  republik. Kedaulatan berada di tangan rakyat  dan  Negara Indonesia adalah negara hukum.
Berdasarkan  hal tersebut,  kekuasaan  bukan milik satu orang atau golongan, melainkan milik rakyat yang dikontrol melalui  hukum.
Negara Indonesia dilaksanakan dengan menganut  pemisahaan kekuasaan antara  Legislatif, Eksekutif dan Judikatif. Legislatif memegang kekuasaan dalam pembentuk undang-undang dan mengawasi eksekutif. Eksekutif memegang kekuasaan dalam melaksanakan  pemerintahan. Judikatif  memegang kekuasaan dalam hukum.
Pemisahan kekuasaan tersebut untuk menghindari penyalah gunaan kekuasaan (abuse of power) yang merugikan negara.
DPR dan Presiden  sebagai  representasi dari Legislatif dan Eksekutif diharapkan bersinergi untuk mewujudkan keadilan sosial terutama dalam hal memberantas  korupsi. Apabila pemberantasan korupsi menyebabkan  turunnya tingkat korupsi, maka tingkat kesejahteraan akan meningkat. DPR  diharapkan menerbitkan perundang-undangan dan pengawasan yang intensif terhadap pelaksanaan  Presiden dalam  memberantas korupsi melalui lembaga-lembaga dijajaran  pelaksana pemerintahan. Presiden dengan legitimasi dan mandat langsung dari rakyat  diharapkan secara dinamis melakukan reformasi terhadap  birokrasi dan elemen-elemen yang turut serta  dalam korupsi. Presiden memiliki kekuasaan yang besar untuk melakukan apapun demi kesejahteraan rakyat.
Faktanya bahwa  anggaran belanja negara yang seharusnya  untuk pembiayaan pembangunan dengan kualitas terbaik menjadi  ajang rebutan (korupsi) bagi orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu. Sementara itu, tingkat kesejahteraan rakyat  semakin rendah.
Ironisnya, DPR sendiri merupakan lembaga yang paling sering diterpa  isu korupsi. Beberapa anggota DPR telah menjadi  terpidana terkait dengan kasus korupsi.


Permasalahan

Kekuasaan Presiden dalam menjalankan pemerintahan relatif besar  terutama karena Presiden mendapat mandat  dari rakyat secara langsung. Namun kekuasaan yang besar tersebut belum dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk mewujudkan keadilan sosial.
·         Apakah yang menjadi penghambat  Presiden dalam  memerangi korupsi sebagai wujud mencapai keadilan sosial?
·         Bagaimana peranan  DPR sebagai perwakilan rakyat dalam mengawasi Presiden menjalankan  negara dan pemerintahan?
Tulisan ini akan mencoba mencari  jawaban terhadap  permasalahan tersebut dan memberikan usulan solusi.

  1. Landasan Teori

Pembagian kekuasaan dalam negara hukum

Sebagaimana telah dibahas terdahulu. bahwa kekuasaan cenderung semena-mena atau ketidakadilan oleh kekuasaan (abuse of power) maka dalam negara hukum, kekuasaan akan dibatasi oleh hukum baik secara materiil atau pemisahaan kekuasaan (separataion of power) maupun secara formal atau pembagian kekuasaan (division of power). Terdapat berbagai macam bentuk pemisahan kekuasaan di dalam suatu negara diantaranya menurut Montesquieu yang membagi kekuasaan menjadi :
1.      Kekuasaan membuat peraturan perundang-undangan (legislative power)
2.      Kekuasaan melaksanakana peraturan perundang-undangan (executive power)
3.      Kekuasaan penyelesaian permasalahan hukum (judicial power).

Van Vollenhoven membagi kekuasaan ke dalam empat golongan, yaitu :
1.      kekuasaan pemerintahan (bestuur)
2.      Kekuasaan membuat undang-undang (regeling)
3.      Kekuasaan kepolisian (politie)
4.      Kekuasaan mengadili (rechtsspraak)
Pendapat Van Vollenhoven dikembangkan lebih lanjut oleh Wiryono Prodjodikuro dengan mengusulkan penambahan dua jenis kekuasaan lagi yaitu kekuasaan  kejaksaan dan kekuasaan untuk memeriksa keuangan negara. Dengan demikian, pembagian kekuasaan berdasarkan paparan tersebut dapat dikelompokkan menjadi :
1.      Kekuasaan membuat undang-undang
2.      Kekuasaan melaksanakan undang-undang
3.      Kekuasaan kehakiman
4.      Kekuasaan kejaksaan
5.      Kekuasaan kepolisian
6.      Kekuasaan memeriksa keuangan negara
Pemisahaan dan pembagian kekuasaan di dalam Undang-undang Dasar 1945 serta lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan tersebut diatur sebagai berikut :
1.      Kekuasaan pemerintahan atau kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden. Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif, juga memegang kekuasaan legislatif, kekuasaan kepolisian, dan kekuasaan kejaksaan.
2.      Kekuasaan legislatif  dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang secara bersama-sama  menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3.      Kekuasaan judikatif dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
4.      Kekuasaan memeriksa keuangan  dipegang oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Meskipun dalam UUD 1945  kekuasaan telah  dipisahkan, namun pemisahan tersebut adalah tidak benar-benar  terpisah seperti pada Presiden yang selain memegang kekuasaan eksekutif  juga memegang kekuasaan legislatif.[1]
Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa perkembangan lembaga-lembaga yang timbul di berbagai negara dapat dikatakan bahwa untuk memahami konsepsi dan pengertian lembaga negara secara tepat, kita memang tidak dapat lagi menggunakan kacamata Montesquieu. Banyak sekali hal-hal yang sudah berubah sehingga fungsi-fungsi kekuasaan negara tidak lagi bersifat trikotomis antara fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif semata. Ragam struktur organisasi kekuasaan negara dewasa ini sudah berekembang  sangat bervariasi, sehingga yang dinamakan organ negara atau lembaga negara tidak lagi hanya terbatas pada tiga fungsi menurut doktrin  klasik yang dikembangkan sejak abad ke -18. Lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran[2].

Menurut MariaFarida Indrati[3], Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 Perubahan yang menetapkan bahwa, Presiden Republik Indonesia  memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar. 
Selain itu, dalam menjalankan  pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President), hal ini  berhubungan erat dengan rumusan Pasal 6A UUD 1945 Perubahan yang menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden  dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada  DPR. Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD Perubahan, Presiden berhak mengajukan rancangan  undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan  Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang, namun dalam membentuk Undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat harus membahas bersama Presiden dan mendapat persetujuan dari Presiden, sesuai Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3)  UUD 1945 Perubahan.
Menurut Pasal 20A UUD 1945 Perubahan, Dewan Perwakilan Rakyat juga memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, memiliki hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat juga mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
Dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, maka Presiden seharusnya bekerja bersama-sama  dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung kepada Dewan.
Sistem presidential kita, dalam kekuasaan pemerintahannya, presiden hanya membutuhkan  persetujuan langsung DPR  dalam hal kebijakan  luar negeri berupa menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan  akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan  perubahan atau pembentukan  undang-undang harus dengan persetujuan DPR (Pasal 11 UUD 1945).
Beberapa kelebihan sistem presidential kita, di antaranya  bahwa dalam sebuah proses pembentukan  undang-undang jikalau presiden  tidak setuju, maka meski DPR  adalah pemegang  kekuasaan pembentukan  undang-undang maka rancangan undang-undang tersebut tetap tidak  dapat terbentuk menjadi undang-undang untuk diundangkan keberlakuannya.
Hampir semua kebijakan dalam negeri menjadi domain libido penuh Presiden. Jadi, siapapun  menjadi Presiden tidak perlu ragu untuk bersikap tegas, bisa untuk tidak perlu berlama-lama berdiskusi dan tetap dapat memutuskan  dan menghitung cepat langkah keputusannya. Presiden bahkan  dengan hak subjektifnya masih bisa mengeluarkan  Perpu sebagai pemadam kebakaran dalam  hal kegentingan  memaksa, bahkan bisa “memveto” RUU DPR[4].

Partai dan Lembaga Demokrasi

Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak pendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider, “Political  parties created democracy”. Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula,” Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.
Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat  dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan check and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstrimlah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.
Oleh karena itu sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan  berdasarkan prinsip checks and balance dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip checks and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu  berkatian erat  dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demoktratis yang bersangkutan.
Organisasi yang berkembang  dan semakin melembaga cenderung pula mengalami proses depersonalisasi. Orang dalam maupun orang luar sama-sama menyadari  dan memperlakukan  organisasi yang bersangkutan sebagai institusi dan tidak dicampuradukkanya dengan persoalan personal atau pribadi para indivdiu yang kebetulan menjadi pengurusnya. Banyak organisasi, meskipun usianya sudah sangat tua, tetapi tidak terbangun suatu tradisi di mana urusan-urusan pribadi pengurusnya sama sekali terpisah dan dipisahkan dari urusan keorganisasian. Dalam hal demikian, berarti derajat pelembagaan organisasi tersebut sebagai institusi, masih belum kuat atau lebih tegasnya belum terlembagakan sebagai organisasi yang kuat.
Gejala personalisasi  juga terlihat tatkala suatu organisasi  mengalami kesulitan dalam melakukan suksesi  atau pergantian kepemimpinan[5].

Fungsi Partai Politik

Pada umumnya para ilmuwan  politik biasanya menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiarjo, sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie, meliputi sarana :
1.      Komunikasi Politik
2.      Sosialisasi  politik
3.      Rektruitmen politik
4.      Pengatur konflik
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana  komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interest articulation) atau politicial  interest yang terdapat dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political soscialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan  kepada konstituen untuk mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partailah yang menjadi struktur antara atau intermediate structure yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
Fungsi ketiga partai politik  adalah sarana rekruitmen politik. Partai  dibentuk  memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader  pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi  tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih  melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh Dwan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya. Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan profesional di bidang-bidang kepegawainegerian dan lain-lain yang tidak bersifat politik tidak boleh melibatkan peranan partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu memerlukan pengangkatan pejabatnya melalui prosedur politik pula. Untuk menghindarkan  terjadinya  pencampuradukan, perlu dimengerti benar perbedaan antara jabatan-jabatan yang  bersifat politik itu dengan jabatan-jabatan yang bersifat  teknis-administratif dan profesional.
Fungsi keempat  adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat. Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan alternatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain[6]

  1. Pembahasan

Sebagaimana dijelaskan sebelumya bahwa negara berdiri mempunyai tujuan. Tujua negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam konstitusi antara lain mewujudkan kesejahateraan sosial. Peran lembaga negara yang dominan untuk mencapai ini adalah pemerintah yang dipimpin Presiden (Eksekutif). Kekuasaan Presiden dalam menjalankan pemerintahan dan negara  relatif  luas meskipun dibatasi oleh  perangkat  hukum yang ditetapkan. Hukum dalam rupa perundang-undangan, diajukan  oleh DPR (Legislatif) dan bersama-sama Presiden menetapkan Undang-undang.
Presiden menyusun program pembangunan untuk mewujudkan tujuan negara. Program tersebut tercermin dari  alokasi anggaran yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Selain  menetapkan undang-undang, DPR berperan sebagai pengawas pemerintah. Dalam fungsi pengawasan, parlemen dapat melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut[7] :
1.      Penentuan dan pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Publik
2.      Pengawasan terhadap Pelaksanaan Undang-undang Daar dan Undang-undang
3.      Penentuan dan Pengawasan Anggaran dan Keuangan Negara
4.      Perlindungan Hak Milik dan Kekayaan Warga Negara dari Pembebanan oleh Negara
5.      Penyelenggaraan Debat Publik mengenai  Kebijakan  Pemerintahan.
6.      Menyetujui  rencana-rencana pemerintah dan meratifikasi pelaksanaannya.
7.      Penyelenggaraan  Kegiatan Dengar Pendapat (Hearings)
8.      Menetapkan soal-soal perang dan damai
9.      Menyetujui amnesti umum
10.  Penyelenggaraan Pemerintahan  Bersama (Co-Administration)
11.  Penyelenggaraan Tugas-tugas yang bersifat Semi Legislatif dan Semi Judisial.
12.  Permintaan pertanggungjawaban terhadap Kepala Pemerintahan.
Berdasarkan  kekuasaan yang dimiliki DPR sebagaimana tersebut di atas, DPR  memiliki tugas yang penting dalam rangka mengawal  pencapaian pembangunan guna mencapai tujuan negara. Namun fakta yang terjadi bukan DPR yang mengawasi Pemerintah, namun DPR sendiri terjerumus kedalam praktek-praktek yang  berlawanan dengan Undang-undang yang mereka sendiri terbitkan.
Dalam setiap kasus tindak pidana yang diekspose akhir-akhir ini, hampir semua melibatkan anggota DPR. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Pengamat Parlemen dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Sebastian Salang mengungkapkan bahwa partai politik secara tidak sengaja bisa saja mendorong anggota DPR korupsi. Sebab, kebutuhan dana partai politik sebagian besar dibebankan kepada anggota DPR. "Ada 'kreativitas-kreativitas' tambahan oleh anggota DPR untuk menyetor ke partai politik". Sebastian mengatakan bahwa semakin besar setoran anggota DPR kepada  partai politik, makin besar pula pengaruhnya terhadap partai politik itu. "Paling tidak, menduduki posisi strategis," ujarnya.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Taslim Chaniago, menegaskan bahwa korupsi di DPR terjadi, karena lemahnya sistem perencanaan. "Biasanya dalam perencanaan anggaran ini ada kompromi. Kompromi ini yang menjadi korupsi di setiap pembahasan anggaran," katanya.
Sedangkan anggota DPR dari Fraksi PDIP, Dewi Aryani mengatakan bahwa korupsi terjadi di DPR karena ada beberapa faktor, yaitu karena adanya niat, sistem, dan kebutuhan. "Masalah kebutuhan ini bisa dibahas, apakah ada kebutuhan pribadi atau partai, dan ada tekanan tertentu," ujarnya.
Ari Nurcahyono, peneliti Sugeng Sarjadi Syndicate mengungkap bahwa dari survei, masyarakat berpandangan bahwa banyak anggota DPR hanya mencari nafkah dibandingkan menjadi wakil rakyat[8].
Dari beberapa sinyalemen tersebut, dapat diketahui bahwa  DPR yang sejatinya mewakili rakyat (konstituennya) mengawasi  jalannya  pemerintahan tidak dijalankan. DPR tidak berfungsi sebagaimana tanggungjawab di atas, melainkan hanya menjalankan aktifitas untuk memenuhi kepentingan partainya. Politik di Indonesia memerlukan ongkos (cost) yang relatif tinggi, sehingga baik partai maupun para kadernya, dituntut untuk memberikan kontribusi bagi kelangsungan partai terutama pendanaan partai.
Selain itu, peranan  DPR kurang efektif  ada relasi dengan kompetensi  anggota DPR. DPR dipilih dari anggota partai. Dalam sistem kepartaian di Indonesia, belum ada kriteria yang  dijadikan acuan dalam menetapkan seorang calon anggota legislatif. Siapa saja bisa menjadi anggota legislatif. Sementara itu,  dari sisi tugas dan tanggung jawab, anggota legislatif   dituntut untuk mempunyai kompetensi yang lebih dari sekedar mewakili partai.  Sebagai pengawas dan pembuat regulasi, kompetensi DPR harus bisa mengimbangi kompetensi eksekutif. Proses rekruitmen anggota legislatif perlu dirumuskan dengan kriteria yang mencerminkan kompetensi  anggota dewan memenuhi tugas dan tanggungjawabnya.
Suhandy Cahaya mengemukakan bahwa tingkat korupsi  yang begitu tinggi  dalam pengelolaan anggaran terjadi secara berkesinambungan tanpa dapat dicegah oleh para pengendali dan pengawas keuangan negara dikarenakan  adanya beberapa penyebab yang mendasar dan komprehensip, yaitu[9]   :
1.      Korupsi telah direncanakan sejak awal proses perencanaan anggaran oleh masing-masing unit kerja pengelola kegiatan bekerjasama  dan melalui unit kerja perencanaan dan keuangan yang kemudian dilegalisir oleh pimpinan instansi dengan sadar dituangkan dalam Daftar Isian  Pelaksanaan Anggaran (DIPA), baik untuk anggaran belanja maupun anggaran pendapatan. Teknik korupsi dilakukan dengan mark up untuk anggaran belanja dan low target untuk pendapatan.
2.      Dilakukan kerjasama dengan lembaga terkait yaitu Bappenas, Kementerian Keuangan. Penggalangan dilakukan melalui pendekatan calon-calon rekanan yang akan mendapatkan pekerjaan atau personil-personil yang terlibat dalam perencanaan untuk berkompromi dengan oknum-oknum  Kementerian Keuangan agar menyetujui kegiatan dan anggaran yang diusulkan, begitu pula pada waktu pembahasan dengan pihak legislatif. Pada saat kompromi dilakukan, saat itu pula terjadi negosiasi  mengenai jatah  atau bagian dari masing-masing pihak akan diperoleh dari anggaran yang disetujui (pay back)
3.      Untuk sisi pendapatan tekniknya adalah dengan cara meminimalkan target dibandingan dengan potensi yang ada, kadang kala menihilkan sama sekali target penerimaan, sehingga apabila dalam pelaksanaan realisasi melampaui target dapat dikatakan kinerja unit kerja atau instansi baik, maka penyelewengan-penyelewengan yang terjadi bisa ditutupi, atau akan dijadikan tameng untuk menolak atau mencegah pemeriksaan dengan alasan penerimaan sudah di atas target atau kinerja sudah baik, buat apa diperiksa lagi.
4.      Untuk memperlancar perencanaan yang dikemukakan pada bagian pertama, kedua dan ketiga di atas, perekrutan pejabat dan personil-personil yang memegang unit kerja yang merencanakan korupsi, unit kerja keuangan dan perencanaan adalah orang-orang  atau personil yang sudah teruji loyalitasnya untuk mau melakukan korupsi. Apabila kurang loyal dan tidak mau kerjsa sama dalam perencanaan dan pelaksanaan korupsi, dalam waktu yang tidak begitu lama akan dimutasi kembali. Di sinilah terlihat bahwa perencanaan korupsi tersebut harus komprehensif dan mendapatkan legitimasi dari pimpinan instansi yaitu juga harus  melibatkan pejabat-pejabat penentu di bidang mutasi dan promosi, serta pimpinan instansi.
5.      Untuk lancarnya perencanaan korupsi lintas instansi, akhir-akhir ini tren yang dilakukan adalah merekrut oknum-oknum dari Kementerian Keuangan untuk dipromosikan ke instansi perencana korupsi dengan memegang jabatan sebagai kepala bagian keuangan atau kepala biro  keuangan atau sekretaris jenderal dengan harapan agar menguasai dan mempermudah  mengurus proses anggaran ke Kementerian Keuangan tanpa adanya kendala berarti. Apabila rekrutmen ini berhasil, maka semakin matang  perencanaan korupsi secara mendasar dan komprehensif.

Praktek korupsi di kalangan lembaga Eksekutif sebagaimana tercermin tersebut, menggambarkan bahwa  eksekutif dari berbagai lapisan juga tidak berfungsi sebagaimana tanggungjawab konstitusionalnya, melainkan hanya  melakukan aktifitas yang menguntungkan kelompok atau personalisasinya. Praktek korupsi di kalangan eksekutif tidak terlepas juga dari mahalnya jabatan publik yang ada dalam lembaga-lembaga negara. Hal ini terkait dengan  tingginya ongkos  (cost)  politik di Indonesia.
Persoalan ini  lebih langgeng terjadi karena  antara lembaga yang diawasi (Eksekutif) dan lembaga yang mengawasi  (Legislatif)  berada dalam  lembaga  (Partai) yang sama. Sebagaimana dijelaskan terdahulu, bahwa partai politik lebih cenderung sebagai lembaga yang personalisasi. Keberadaan partai tergantung pada  figur  tokoh sentral dalam organisasi tersebut.
Perkembangan terakhir pasca reformasi, partai-partai berusaha untuk mengusung atau mencalonkan  petinggi partai untuk menjadi Presiden. Tujuannya hanya satu, agar melalui lembaga Eksekutif, partai dapat memperbesar kekuasaan (abuse of power).  Presiden yang berasal dari partai pemenang pemilu, akan tersandera dengan kedudukan sebagai petinggi partai. Sebagai pemimpin Eksekutif, Presiden berada dibawah pengawasan DPR. DPR merupakan anggota partai pemenang pemilu (mayoritas). Kedudukan DPR tergantung kepada Partai. Partai  tergantung kepada kebijakan dan arahan Petinggi. Dengan demikian, secara fakta  DPR akan tidak bisa berfungsi mengawasi pemerintahan karena sebagian anggota DPR  yang sekaligus  anggota Partai yang berkuasa, maka DPR demi loyalitas kepada Partai  akan mengikuti  arahan Petinggi Partai yang menjabat  sebagai Presiden.
Sumber  petaka yang sesungguhnya datang dari posisi Presiden yang notabene masih berkedudukan sebagai  Pimpinan  Partai. Tentu saja, sebagai Presiden yang dipilih langsung, Presiden bukan hanya milik dan representasi dari Partai. Presiden adalah milik rakyat  tanpa dibatasi oleh kepentingan kelompok atau individu. Oleh karena itu, bagi seorang Presiden hendaknya melepaskan jabatan publik lain termasuk dari Partai sehingga lebih mencerminkan  pimpinan dan pengayom bagi kepentingan rakyat Indonesia.





  1. Kesimpulan  dan Saran

1.      Presiden sebagai lembaga negara, memiliki kekuasaan yang relatif besar terlebih karena  Presiden mendapat  mandat secara langsung dari rakyat. Kekuasaan itu sangat mumpuni  untuk memperjuangkan dan mewujudkan  tujuan negara yang diamanatkan dalam konstitusi.
2.      Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga negara yang merupakan wakil rakyat dan  yang berfungsi mengawasi pemerintah  (Eksekutif), menjadi lembaga yang sangat strategis mengingat  DPR memiliki kekuasaan untuk membuat dan menetapkan perundang-undangan sebagai  arah bagi pelaksanaan roda pemerintahan dan juga menetapkan anggaran dan pejabat pelaksana undang-undang.
3.      Sejalan dengan perkembangan dinamika negara, maka konsep trias politika  yang dikembangkan Montesqieu sudah tidak relevan lagi sebagai dasar untuk mengambilkan kebijakan lembaga negara, karena sesungguhnya telah muncul lembaga-lembaga negara baik yang konstitusional maupun yang non konstitusional.
4.      Peranan dan tugas Eksekutif dan Legislatif yang seharusnya merupakan sinergi yang berdaya kuat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, justeru kedua lembaga tidak menunjukkan eksistensinya melainkan hanya menjalankan aktifitas untuk kepentingan masing-masing individu, kelompok dan partai.
5.      Masalah  ketidak efektifan  Presiden dan DPR dalam menjalankan fungsinya  selain karena  faktor personalisasi, juga karena kedudukan Presiden yang menjabat sebagai  Pimpinan suatu Partai terlebih  pemenang pemilu yang memiliki  suara mayoritas dalam DPR. Hal ini menyebabkan  kaburnya peranan Presiden dan DPR, siapa yang mengawasi  siapa.
6.      Presiden diharapkan fokus kepada pencapaian tujuan negara, sehingga perlu melepaskan hal-hal yang menjadi penghambat pencapaian tujuan itu antara lain jabatan rangkap dalam Partai atau kedudukan lainnya.
7.      DPR agar lebih berorientasi kepada rakyat sebagai  pemberi mandat, tidak terbatas hanya kepada  konstituen pendukung partainya. Proses rekruitmen calon anggota legislatif perlu dirumuskan sehingga  anggota dewan yang kompeten diharapkan mampu memberikan pengawasan yang efektif.
Daftar  Pustaka


Andi Irman Putra Sidin : Dalam Satya Arinanto & Nunik Triyanti, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009

Boy Nurdin, Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni, 2012

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sekjen Kepaniteraan MK, 2006

-----------------------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,  Jakarta, Sekjen Kepaniteraan MK, 2006

-----------------------, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, KONPres, 2004

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Jilid 1, Jakarta, Kanisius, 2007


Suhandy Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika,2011



[1] Boy Nurdin, Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni, 2012, hlm.46-48
[2] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sekjen Kepaniteraan MK, 2006, hlm 27-28
[3] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Jilid 1, Jakarta, Kanisius, 2007, hlm 126-127
[4] Andi Irman Putra Sidin : Dalam Satya Arinanto & Nunik Triyanti, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009, hlm 246
[5] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,  Jakarta, Sekjen Kepaniteraan MK, 2006,hlm 86-89
[6] Ibid, hlm 90-91
[7] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, KONPres, 2004, hlm 24-25
[8] http://batam.tribunnews.com/2012/06/09/ini-penyebab-anggota-dpr-korupsi
[9]Suhandy Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika,2011, hlm 39-40

No comments:

Post a Comment