- Latar Belakang dan Permasalahan
Dalam Undang-undang Dasar 1945, khususnya Pembukaan
UUD 1945 tertera tujuan negara Indonesia
yaitu “….melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Terdapat empat pokok pikiran yang
penting dalam pembukaan UUD 1945 tersebut :
1. Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara Persatuan, Negara
yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi
segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan.
2. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
3. Pokok yang ketiga yang terkandung dalam "pembukaan" ialah
negara yang berkedaulatan Rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan
perwakilan. Oleh karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang
Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan
perwakilan.
4. Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam "pembukaan"
ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Tugas mewujudkan keadilan sosial merupakan isu yang paling disoroti belakangan ini mengingat kemerdekaan sudah dijalani selama 67 tahun, namun kehidupan masyarakat masih banyak yang tertinggal. Kemerdekaan seolah-olah menjadi milik kelompok atau orang-orang tertentu. Salah satu yang menjadi faktor masalah dalam mewujudkan keadilan sosial adalah penyalahgunaan wewenang dan implikasi penyalahgunaan anggaran (baca : korupsi). Barangkali tepatlah yang dikatakan Lord Acton “ power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak).
Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik. Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan Negara Indonesia adalah negara hukum.
Berdasarkan hal tersebut, kekuasaan
bukan milik satu orang atau golongan, melainkan milik rakyat yang
dikontrol melalui hukum.
Negara Indonesia dilaksanakan dengan menganut pemisahaan kekuasaan antara Legislatif, Eksekutif dan Judikatif. Legislatif
memegang kekuasaan dalam pembentuk undang-undang dan mengawasi eksekutif.
Eksekutif memegang kekuasaan dalam melaksanakan
pemerintahan. Judikatif memegang
kekuasaan dalam hukum.
Pemisahan kekuasaan tersebut untuk menghindari penyalah gunaan kekuasaan
(abuse of power) yang merugikan negara.
DPR dan Presiden
sebagai representasi dari
Legislatif dan Eksekutif diharapkan bersinergi untuk mewujudkan keadilan sosial
terutama dalam hal memberantas korupsi.
Apabila pemberantasan korupsi menyebabkan
turunnya tingkat korupsi, maka tingkat kesejahteraan akan meningkat. DPR diharapkan menerbitkan perundang-undangan dan
pengawasan yang intensif terhadap pelaksanaan
Presiden dalam memberantas
korupsi melalui lembaga-lembaga dijajaran
pelaksana pemerintahan. Presiden dengan legitimasi dan mandat langsung dari rakyat diharapkan secara dinamis melakukan reformasi
terhadap birokrasi dan elemen-elemen
yang turut serta dalam korupsi. Presiden memiliki kekuasaan yang besar untuk
melakukan apapun demi kesejahteraan rakyat.
Faktanya bahwa anggaran belanja
negara yang seharusnya untuk pembiayaan
pembangunan dengan kualitas terbaik menjadi
ajang rebutan (korupsi) bagi orang-orang atau kelompok-kelompok
tertentu. Sementara itu, tingkat kesejahteraan rakyat semakin rendah.
Ironisnya, DPR sendiri merupakan lembaga yang paling sering diterpa isu korupsi. Beberapa anggota DPR telah
menjadi terpidana terkait dengan kasus
korupsi.
Permasalahan
Kekuasaan Presiden dalam menjalankan pemerintahan
relatif besar terutama karena Presiden
mendapat mandat dari rakyat secara
langsung. Namun kekuasaan yang besar tersebut belum dapat dijadikan sebagai
kekuatan untuk mewujudkan keadilan sosial.
·
Apakah yang menjadi penghambat Presiden dalam memerangi korupsi sebagai wujud mencapai
keadilan sosial?
·
Bagaimana peranan
DPR sebagai perwakilan rakyat dalam mengawasi Presiden menjalankan negara dan pemerintahan?
Tulisan ini akan mencoba mencari jawaban
terhadap permasalahan tersebut dan
memberikan usulan solusi.
- Landasan Teori
Pembagian kekuasaan dalam negara hukum
Sebagaimana telah dibahas terdahulu. bahwa kekuasaan cenderung
semena-mena atau ketidakadilan oleh kekuasaan (abuse of power) maka dalam negara hukum, kekuasaan akan dibatasi
oleh hukum baik secara materiil atau pemisahaan kekuasaan (separataion of power) maupun secara formal atau pembagian kekuasaan
(division of power). Terdapat
berbagai macam bentuk pemisahan kekuasaan di dalam suatu negara diantaranya
menurut Montesquieu yang membagi kekuasaan menjadi :
1. Kekuasaan membuat peraturan perundang-undangan (legislative power)
2. Kekuasaan melaksanakana peraturan perundang-undangan (executive power)
3. Kekuasaan penyelesaian permasalahan hukum (judicial power).
Van Vollenhoven
membagi kekuasaan ke dalam empat golongan, yaitu :
1. kekuasaan pemerintahan (bestuur)
2. Kekuasaan membuat undang-undang (regeling)
3. Kekuasaan kepolisian (politie)
4. Kekuasaan mengadili (rechtsspraak)
Pendapat Van Vollenhoven dikembangkan lebih lanjut
oleh Wiryono Prodjodikuro dengan mengusulkan penambahan dua jenis kekuasaan
lagi yaitu kekuasaan kejaksaan dan kekuasaan
untuk memeriksa keuangan negara. Dengan demikian, pembagian kekuasaan
berdasarkan paparan tersebut dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kekuasaan membuat undang-undang
2. Kekuasaan melaksanakan undang-undang
3. Kekuasaan kehakiman
4. Kekuasaan kejaksaan
5. Kekuasaan kepolisian
6. Kekuasaan memeriksa keuangan negara
Pemisahaan dan pembagian kekuasaan di dalam
Undang-undang Dasar 1945 serta lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan
tersebut diatur sebagai berikut :
1. Kekuasaan pemerintahan atau kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden.
Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif, juga memegang kekuasaan
legislatif, kekuasaan kepolisian, dan kekuasaan kejaksaan.
2. Kekuasaan legislatif dipegang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang secara
bersama-sama menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
3. Kekuasaan judikatif dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
4. Kekuasaan memeriksa keuangan
dipegang oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Meskipun dalam
UUD 1945 kekuasaan telah dipisahkan, namun pemisahan tersebut adalah
tidak benar-benar terpisah seperti pada
Presiden yang selain memegang kekuasaan eksekutif juga memegang kekuasaan legislatif.[1]
Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa perkembangan
lembaga-lembaga yang timbul di berbagai negara dapat dikatakan bahwa untuk
memahami konsepsi dan pengertian lembaga negara secara tepat, kita memang tidak
dapat lagi menggunakan kacamata Montesquieu. Banyak sekali hal-hal yang sudah
berubah sehingga fungsi-fungsi kekuasaan negara tidak lagi bersifat trikotomis
antara fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif semata. Ragam
struktur organisasi kekuasaan negara dewasa ini sudah berekembang sangat bervariasi, sehingga yang dinamakan
organ negara atau lembaga negara tidak lagi hanya terbatas pada tiga fungsi
menurut doktrin klasik yang dikembangkan
sejak abad ke -18. Lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif,
eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran[2].
Menurut MariaFarida Indrati[3], Presiden ialah
penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi di Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 Perubahan yang menetapkan bahwa,
Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.
Selain itu, dalam menjalankan
pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan
Presiden (concentration of power and
responsibility upon the President), hal ini
berhubungan erat dengan rumusan Pasal 6A UUD 1945 Perubahan yang menetapkan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD Perubahan,
Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang, namun dalam
membentuk Undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat harus membahas bersama
Presiden dan mendapat persetujuan dari Presiden, sesuai Pasal 20 ayat (2) dan
ayat (3) UUD 1945 Perubahan.
Menurut Pasal 20A UUD 1945 Perubahan, Dewan Perwakilan
Rakyat juga memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan,
memiliki hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, sedangkan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat juga mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
Dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal-pasal
tersebut, maka Presiden seharusnya bekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak
bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung
kepada Dewan.
Sistem presidential kita, dalam kekuasaan
pemerintahannya, presiden hanya membutuhkan
persetujuan langsung DPR dalam
hal kebijakan luar negeri berupa
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain,
membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR
(Pasal 11 UUD 1945).
Beberapa kelebihan sistem presidential kita, di
antaranya bahwa dalam sebuah proses
pembentukan undang-undang jikalau
presiden tidak setuju, maka meski
DPR adalah pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang maka rancangan undang-undang
tersebut tetap tidak dapat terbentuk
menjadi undang-undang untuk diundangkan keberlakuannya.
Hampir semua kebijakan dalam negeri menjadi domain
libido penuh Presiden. Jadi, siapapun
menjadi Presiden tidak perlu ragu untuk bersikap tegas, bisa untuk tidak
perlu berlama-lama berdiskusi dan tetap dapat memutuskan dan menghitung cepat langkah keputusannya.
Presiden bahkan dengan hak subjektifnya
masih bisa mengeluarkan Perpu sebagai
pemadam kebakaran dalam hal
kegentingan memaksa, bahkan bisa “memveto” RUU DPR[4].
Partai dan Lembaga Demokrasi
Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role)
yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung
yang sangat strategis antara proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan
banyak pendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi,
seperti dikatakan oleh Schattscheider, “Political parties created democracy”. Oleh karena
itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat
pelembagaannya (the degree of
institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan,
oleh Schattscheider dikatakan pula,” Modern
democracy is unthinkable save in terms of the parties”.
Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan
setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat
dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan check and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga negara tersebut
tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif atau lemah wibawanya
dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah
partai-partai politik yang rakus atau ekstrimlah yang merajalela menguasai dan
mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.
Oleh karena itu sistem kepartaian yang baik sangat
menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan
berdasarkan prinsip checks and
balance dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi
kelembagaan negara itu sesuai prinsip checks
and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem
kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini
tentu berkatian erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan
kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau
kebebasan berpikir itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya
prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan
masyarakat demoktratis yang bersangkutan.
Organisasi yang berkembang dan semakin melembaga cenderung pula
mengalami proses depersonalisasi. Orang dalam maupun orang luar sama-sama
menyadari dan memperlakukan organisasi yang bersangkutan sebagai institusi
dan tidak dicampuradukkanya dengan persoalan personal atau pribadi para
indivdiu yang kebetulan menjadi pengurusnya. Banyak organisasi, meskipun
usianya sudah sangat tua, tetapi tidak terbangun suatu tradisi di mana
urusan-urusan pribadi pengurusnya sama sekali terpisah dan dipisahkan dari
urusan keorganisasian. Dalam hal demikian, berarti derajat pelembagaan
organisasi tersebut sebagai institusi, masih belum kuat atau lebih tegasnya
belum terlembagakan sebagai organisasi yang kuat.
Gejala personalisasi
juga terlihat tatkala suatu organisasi
mengalami kesulitan dalam melakukan suksesi atau pergantian kepemimpinan[5].
Fungsi Partai Politik
Pada umumnya para ilmuwan politik biasanya menggambarkan adanya 4
(empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam
Budiarjo, sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie, meliputi sarana :
1. Komunikasi Politik
2. Sosialisasi politik
3. Rektruitmen politik
4. Pengatur konflik
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan
yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi
politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan
kepentingan (interest articulation)
atau politicial interest yang terdapat dalam masyarakat.
Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi
ide-ide, visi dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah
itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan menjadi materi
kebijakan kenegaraan yang resmi.
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik
juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political soscialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi
pilihan partai politik dimasyarakatkan
kepada konstituen untuk mendapatkan feedback berupa dukungan dari
masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan
sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partailah yang menjadi struktur
antara atau intermediate structure
yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam
kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen politik. Partai dibentuk
memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi
kader-kader pemimpin negara pada
jenjang-jenjang dan posisi-posisi
tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti
oleh Dwan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung
lainnya. Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh peranan partai politik
sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan profesional di bidang-bidang
kepegawainegerian dan lain-lain yang tidak bersifat politik tidak boleh
melibatkan peranan partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian
jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu memerlukan pengangkatan
pejabatnya melalui prosedur politik pula. Untuk menghindarkan terjadinya
pencampuradukan, perlu dimengerti benar perbedaan antara jabatan-jabatan
yang bersifat politik itu dengan
jabatan-jabatan yang bersifat
teknis-administratif dan profesional.
Fungsi keempat
adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang
tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit dan cenderung
saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak,
berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui
polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan
alternatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain[6]
- Pembahasan
Sebagaimana
dijelaskan sebelumya bahwa negara berdiri mempunyai tujuan. Tujua negara
Indonesia sebagaimana tercantum dalam konstitusi antara lain mewujudkan
kesejahateraan sosial. Peran lembaga negara yang dominan untuk mencapai ini
adalah pemerintah yang dipimpin Presiden (Eksekutif). Kekuasaan Presiden dalam
menjalankan pemerintahan dan negara
relatif luas meskipun dibatasi
oleh perangkat hukum yang ditetapkan. Hukum dalam rupa
perundang-undangan, diajukan oleh DPR
(Legislatif) dan bersama-sama Presiden menetapkan Undang-undang.
Presiden
menyusun program pembangunan untuk mewujudkan tujuan negara. Program tersebut
tercermin dari alokasi anggaran yang ditetapkan
dalam APBN dan APBD. Selain menetapkan
undang-undang, DPR berperan sebagai pengawas pemerintah. Dalam fungsi
pengawasan, parlemen dapat melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut[7] :
1.
Penentuan
dan pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Publik
2.
Pengawasan
terhadap Pelaksanaan Undang-undang Daar dan Undang-undang
3.
Penentuan
dan Pengawasan Anggaran dan Keuangan Negara
4.
Perlindungan
Hak Milik dan Kekayaan Warga Negara dari Pembebanan oleh Negara
5.
Penyelenggaraan
Debat Publik mengenai Kebijakan Pemerintahan.
6.
Menyetujui rencana-rencana pemerintah dan meratifikasi
pelaksanaannya.
7.
Penyelenggaraan Kegiatan Dengar Pendapat (Hearings)
8.
Menetapkan
soal-soal perang dan damai
9.
Menyetujui
amnesti umum
10. Penyelenggaraan Pemerintahan Bersama (Co-Administration)
11. Penyelenggaraan Tugas-tugas yang bersifat Semi
Legislatif dan Semi Judisial.
12. Permintaan pertanggungjawaban terhadap Kepala
Pemerintahan.
Berdasarkan kekuasaan yang dimiliki DPR sebagaimana
tersebut di atas, DPR memiliki tugas
yang penting dalam rangka mengawal
pencapaian pembangunan guna mencapai tujuan negara. Namun fakta yang
terjadi bukan DPR yang mengawasi Pemerintah, namun DPR sendiri terjerumus
kedalam praktek-praktek yang berlawanan
dengan Undang-undang yang mereka sendiri terbitkan.
Dalam setiap kasus tindak
pidana yang diekspose akhir-akhir ini, hampir semua melibatkan anggota DPR.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Pengamat Parlemen dari Forum
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Sebastian Salang mengungkapkan bahwa
partai politik secara tidak sengaja bisa saja mendorong anggota DPR korupsi. Sebab,
kebutuhan dana partai politik sebagian besar dibebankan kepada anggota DPR.
"Ada 'kreativitas-kreativitas' tambahan oleh anggota DPR untuk menyetor ke
partai politik". Sebastian mengatakan bahwa semakin besar setoran anggota
DPR kepada partai politik, makin besar
pula pengaruhnya terhadap partai politik itu. "Paling tidak, menduduki
posisi strategis," ujarnya.
Anggota DPR dari Fraksi
Partai Amanat Nasional, Taslim Chaniago, menegaskan bahwa korupsi di DPR
terjadi, karena lemahnya sistem perencanaan. "Biasanya dalam perencanaan
anggaran ini ada kompromi. Kompromi ini yang menjadi korupsi di setiap
pembahasan anggaran," katanya.
Sedangkan anggota DPR dari
Fraksi PDIP, Dewi Aryani mengatakan bahwa korupsi terjadi di DPR karena ada
beberapa faktor, yaitu karena adanya niat, sistem, dan kebutuhan. "Masalah
kebutuhan ini bisa dibahas, apakah ada kebutuhan pribadi atau partai, dan ada
tekanan tertentu," ujarnya.
Ari Nurcahyono, peneliti Sugeng Sarjadi Syndicate
mengungkap bahwa dari survei, masyarakat berpandangan bahwa banyak anggota DPR
hanya mencari nafkah dibandingkan menjadi wakil rakyat[8].
Dari beberapa
sinyalemen tersebut, dapat diketahui bahwa
DPR yang sejatinya mewakili rakyat (konstituennya) mengawasi jalannya
pemerintahan tidak dijalankan. DPR tidak berfungsi sebagaimana
tanggungjawab di atas, melainkan hanya menjalankan aktifitas untuk memenuhi
kepentingan partainya. Politik di Indonesia memerlukan ongkos (cost) yang
relatif tinggi, sehingga baik partai maupun para kadernya, dituntut untuk
memberikan kontribusi bagi kelangsungan partai terutama pendanaan partai.
Selain itu,
peranan DPR kurang efektif ada relasi dengan kompetensi anggota DPR. DPR dipilih dari anggota partai.
Dalam sistem kepartaian di Indonesia, belum ada kriteria yang dijadikan acuan dalam menetapkan seorang
calon anggota legislatif. Siapa saja bisa menjadi anggota legislatif. Sementara
itu, dari sisi tugas dan tanggung jawab,
anggota legislatif dituntut untuk
mempunyai kompetensi yang lebih dari sekedar mewakili partai. Sebagai pengawas dan pembuat regulasi,
kompetensi DPR harus bisa mengimbangi kompetensi eksekutif. Proses rekruitmen
anggota legislatif perlu dirumuskan dengan kriteria yang mencerminkan
kompetensi anggota dewan memenuhi tugas
dan tanggungjawabnya.
Suhandy Cahaya
mengemukakan bahwa tingkat korupsi yang
begitu tinggi dalam pengelolaan anggaran
terjadi secara berkesinambungan tanpa dapat dicegah oleh para pengendali dan
pengawas keuangan negara dikarenakan adanya
beberapa penyebab yang mendasar dan komprehensip, yaitu[9] :
1.
Korupsi
telah direncanakan sejak awal proses perencanaan anggaran oleh masing-masing
unit kerja pengelola kegiatan bekerjasama
dan melalui unit kerja perencanaan dan keuangan yang kemudian dilegalisir
oleh pimpinan instansi dengan sadar dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), baik untuk
anggaran belanja maupun anggaran pendapatan. Teknik korupsi dilakukan dengan mark up untuk anggaran belanja dan low target untuk pendapatan.
2.
Dilakukan
kerjasama dengan lembaga terkait yaitu Bappenas, Kementerian Keuangan.
Penggalangan dilakukan melalui pendekatan calon-calon rekanan yang akan
mendapatkan pekerjaan atau personil-personil yang terlibat dalam perencanaan
untuk berkompromi dengan oknum-oknum
Kementerian Keuangan agar menyetujui kegiatan dan anggaran yang
diusulkan, begitu pula pada waktu pembahasan dengan pihak legislatif. Pada saat
kompromi dilakukan, saat itu pula terjadi negosiasi mengenai jatah atau bagian dari masing-masing pihak akan
diperoleh dari anggaran yang disetujui (pay
back)
3.
Untuk
sisi pendapatan tekniknya adalah dengan cara meminimalkan target dibandingan
dengan potensi yang ada, kadang kala menihilkan sama sekali target penerimaan,
sehingga apabila dalam pelaksanaan realisasi melampaui target dapat dikatakan
kinerja unit kerja atau instansi baik, maka penyelewengan-penyelewengan yang terjadi
bisa ditutupi, atau akan dijadikan tameng untuk menolak atau mencegah
pemeriksaan dengan alasan penerimaan sudah di atas target atau kinerja sudah
baik, buat apa diperiksa lagi.
4.
Untuk
memperlancar perencanaan yang dikemukakan pada bagian pertama, kedua dan ketiga
di atas, perekrutan pejabat dan personil-personil yang memegang unit kerja yang
merencanakan korupsi, unit kerja keuangan dan perencanaan adalah
orang-orang atau personil yang sudah
teruji loyalitasnya untuk mau melakukan korupsi. Apabila kurang loyal dan tidak
mau kerjsa sama dalam perencanaan dan pelaksanaan korupsi, dalam waktu yang
tidak begitu lama akan dimutasi kembali. Di sinilah terlihat bahwa perencanaan
korupsi tersebut harus komprehensif dan mendapatkan legitimasi dari pimpinan
instansi yaitu juga harus melibatkan
pejabat-pejabat penentu di bidang mutasi dan promosi, serta pimpinan instansi.
5.
Untuk
lancarnya perencanaan korupsi lintas instansi, akhir-akhir ini tren yang
dilakukan adalah merekrut oknum-oknum dari Kementerian Keuangan untuk
dipromosikan ke instansi perencana korupsi dengan memegang jabatan sebagai
kepala bagian keuangan atau kepala biro
keuangan atau sekretaris jenderal dengan harapan agar menguasai dan
mempermudah mengurus proses anggaran ke
Kementerian Keuangan tanpa adanya kendala berarti. Apabila rekrutmen ini
berhasil, maka semakin matang
perencanaan korupsi secara mendasar dan komprehensif.
Praktek korupsi di kalangan
lembaga Eksekutif sebagaimana tercermin tersebut, menggambarkan bahwa eksekutif dari berbagai lapisan juga tidak
berfungsi sebagaimana tanggungjawab konstitusionalnya, melainkan hanya melakukan aktifitas yang menguntungkan
kelompok atau personalisasinya. Praktek korupsi di kalangan eksekutif tidak
terlepas juga dari mahalnya jabatan publik yang ada dalam lembaga-lembaga
negara. Hal ini terkait dengan tingginya
ongkos (cost) politik di Indonesia.
Persoalan ini lebih langgeng terjadi karena antara lembaga yang diawasi (Eksekutif) dan
lembaga yang mengawasi (Legislatif) berada dalam
lembaga (Partai) yang sama.
Sebagaimana dijelaskan terdahulu, bahwa partai politik lebih cenderung sebagai
lembaga yang personalisasi. Keberadaan partai tergantung pada figur
tokoh sentral dalam organisasi tersebut.
Perkembangan terakhir pasca
reformasi, partai-partai berusaha untuk mengusung atau mencalonkan petinggi partai untuk menjadi Presiden.
Tujuannya hanya satu, agar melalui lembaga Eksekutif, partai dapat memperbesar
kekuasaan (abuse of power). Presiden yang berasal dari partai pemenang
pemilu, akan tersandera dengan kedudukan sebagai petinggi partai. Sebagai
pemimpin Eksekutif, Presiden berada dibawah pengawasan DPR. DPR merupakan
anggota partai pemenang pemilu (mayoritas). Kedudukan DPR tergantung kepada
Partai. Partai tergantung kepada
kebijakan dan arahan Petinggi. Dengan demikian, secara fakta DPR akan tidak bisa berfungsi mengawasi
pemerintahan karena sebagian anggota DPR
yang sekaligus anggota Partai
yang berkuasa, maka DPR demi loyalitas kepada Partai akan mengikuti arahan Petinggi Partai yang menjabat sebagai Presiden.
Sumber petaka yang sesungguhnya datang dari posisi
Presiden yang notabene masih berkedudukan sebagai Pimpinan
Partai. Tentu saja, sebagai Presiden yang dipilih langsung, Presiden
bukan hanya milik dan representasi dari Partai. Presiden adalah milik rakyat tanpa dibatasi oleh kepentingan kelompok atau
individu. Oleh karena itu, bagi seorang Presiden hendaknya melepaskan jabatan
publik lain termasuk dari Partai sehingga lebih mencerminkan pimpinan dan pengayom bagi kepentingan rakyat
Indonesia.
- Kesimpulan
dan Saran
1. Presiden sebagai lembaga negara, memiliki kekuasaan yang relatif besar
terlebih karena Presiden mendapat mandat secara langsung dari rakyat. Kekuasaan
itu sangat mumpuni untuk memperjuangkan
dan mewujudkan tujuan negara yang
diamanatkan dalam konstitusi.
2. Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga negara yang merupakan wakil
rakyat dan yang berfungsi mengawasi
pemerintah (Eksekutif), menjadi lembaga
yang sangat strategis mengingat DPR
memiliki kekuasaan untuk membuat dan menetapkan perundang-undangan sebagai arah bagi pelaksanaan roda pemerintahan dan
juga menetapkan anggaran dan pejabat pelaksana undang-undang.
3. Sejalan dengan perkembangan dinamika negara, maka konsep trias
politika yang dikembangkan Montesqieu
sudah tidak relevan lagi sebagai dasar untuk mengambilkan kebijakan lembaga
negara, karena sesungguhnya telah muncul lembaga-lembaga negara baik yang
konstitusional maupun yang non konstitusional.
4. Peranan dan tugas Eksekutif dan Legislatif yang seharusnya merupakan
sinergi yang berdaya kuat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, justeru kedua
lembaga tidak menunjukkan eksistensinya melainkan hanya menjalankan aktifitas
untuk kepentingan masing-masing individu, kelompok dan partai.
5. Masalah ketidak efektifan Presiden dan DPR dalam menjalankan
fungsinya selain karena faktor personalisasi, juga karena kedudukan
Presiden yang menjabat sebagai Pimpinan
suatu Partai terlebih pemenang pemilu
yang memiliki suara mayoritas dalam DPR.
Hal ini menyebabkan kaburnya peranan
Presiden dan DPR, siapa yang mengawasi
siapa.
6. Presiden diharapkan fokus kepada pencapaian tujuan negara, sehingga
perlu melepaskan hal-hal yang menjadi penghambat pencapaian tujuan itu antara
lain jabatan rangkap dalam Partai atau kedudukan lainnya.
7. DPR agar lebih berorientasi kepada rakyat sebagai pemberi mandat, tidak terbatas hanya
kepada konstituen pendukung partainya. Proses
rekruitmen calon anggota legislatif perlu dirumuskan sehingga anggota dewan yang kompeten diharapkan mampu
memberikan pengawasan yang efektif.
Daftar Pustaka
Andi Irman Putra Sidin : Dalam Satya Arinanto &
Nunik Triyanti, Memahami Hukum Dari
Konstruksi Sampai Implementasi, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009
Boy Nurdin, Kedudukan
dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni, 2012
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta, Sekjen Kepaniteraan MK, 2006
-----------------------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta, Sekjen Kepaniteraan MK, 2006
-----------------------, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, KONPres, 2004
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Jilid 1, Jakarta, Kanisius, 2007
Suhandy Cahaya, Strategi
dan Teknik Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika,2011
[1] Boy Nurdin, Kedudukan dan
Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni, 2012,
hlm.46-48
[2] Jimly Asshiddiqie,
Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sekjen
Kepaniteraan MK, 2006, hlm 27-28
[4] Andi Irman Putra Sidin :
Dalam Satya Arinanto & Nunik Triyanti, Memahami Hukum Dari Konstruksi
Sampai Implementasi, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009, hlm 246
[5] Jimly Asshiddiqie,
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta, Sekjen Kepaniteraan MK, 2006,hlm
86-89
[7] Jimly Asshiddiqie, Hukum
Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, KONPres, 2004, hlm 24-25
[9]Suhandy Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi,
Jakarta, Sinar Grafika,2011, hlm 39-40
No comments:
Post a Comment