Bab
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dengan
sangat terang menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia
antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia. Pembukaan (Preambule) UUD 1945 tersebut mengandung banyak dimensi antara
lain meliputi kemanusiaan, sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan
internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional.
Walaupun
bangsa Indonesia sudah berdaulat sejak 67 (enam puluh tujuh ) tahun lalu, namun
fakta menunjukkan bahwa dalam perkembangannya masih menghadapi berbagai
permasalahan mendasar, antara lain tingginya angka kemiskinan dan pengangguran
yang menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi, mengakibatkan banyak terjadi
kejahatan terutama dalam era globalisasi yang cenderung perekonomian mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya, serta
lemahnya penegakan hukum. Dalam kondisi seperti ini, apabila praktik pencucian
uang tidak segera dicegah dan diberantas maka hampir dapat dipastikan bahwa
perekonomian nasional di masa mendatang akan semakin terpuruk.
Beberapa
tahun belakangan ini, kecenderungan perkembangan ekonomi makro Indonesia
menunjukkan perkembangan ke arah perbaikan khususnya di bidang moneter yang
ditandai dengan stabilnya nilai tukar dan penurunan tingkat bunga. Namun
demikian dari sisi ekonomi mikro, kebijakan ini belum sepenuhnya bisa
dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku pasar khususnya perbankan sebagai
lembaga intermediasi. Hal ini diperparah dengan lambannya pertumbuhan di bidang
investasi baik domestik maupun internasional. Kondisi seperti ini mengakibatkan
sektor rill belum bergerak sesuai yang diharapkan. Implikasi selanjutnya adalah
rendahnya penyerapan tenaga kerja dan turunnya pendapatan perkapita masyarakat,
yang berimplikasi pula pada permasalahan sosial-kemasyarakatan seperti
meningkatnya tindak pidana.
Dalam
bidang penegakan hukum, banyak pihak mengakui bahwa upaya penegakan hukum di
negara kita masih belum memenuhi harapan, bukan hanya karena profesionalisme
aparat penegak hukum yang masih perlu dipertanyakan tetapi juga, apakah
perangkat peraturan perUndang-Undangan yang ada telah memadai serta tersedianya
sarana dan prasarana pendukung.
Beberapa
jenis tindak pidana yang saat ini masih menjadi perhatian utama Pemerintah
adalah tindak pidana korupsi, illegal logging, dan terorisme serta narkoba. Hal
ini tidak terlepas dari dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut
antara lain dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana tersebut bukan hanya menjadi
dominasi aparat penegak hukum tetapi sudah memerlukan peran aktif semua unsur
seperti sektor swasta dan pemerintah yang lingkupnya bukan hanya domestik
tetapi sudah mengglobal. Kendati berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah
baik sendiri maupun bersama-sama dengan negara lain, namun hasilnya masih belum
memuaskan.
Sebagian
besar tindak pidana yang terjadi khususnya korupsi, illegal logging, dan
narkoba pada dasarnya bermotifkan ekonomi. Tanpa ada kepentingan ekonomi,
tindak pidana tersebut tidak akan terjadi. Demikian pula halnya terorisme,
aksi-aksi terorisme tidak mungkin dilakukan apabila tidak terdapat pendanaan
untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Oleh karena itu, menjadi hal yang cukup
penting dalam konteks memupus motivasi seseorang melakukan tindak pidana
melalui pendekatan pelacakan, pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset hasil
tindak pidana. Seseorang ataupun kejahatan terorganisir dengan sendirinya akan
menjadi enggan atau tidak memiliki motivasi untuk melakukan suatu perbuatan
pidana apabila hasil perbuatan pidana tersebut dikejar dan dirampas untuk
negara. Pendekatan inilah yang sering disebut dengan “strategi pencegahan dan
pemberantasan pencucian uang” (anti-money
laundering strategy).
Di
satu sisi, pelaksanaan rezim anti pencucian uang secara efektif dapat membantu
menciptakan stabilitas sistem keuangan karena lembaga keuangan dapat terhindar
dari berbagai risiko seperti risiko hukum, reputasi, terkonsentrasinya
transaksi dan likuiditas sehingga mampu melaksanakan fungsinya secara efektif
pula. Di sisi lain, pelaksanaan rezim anti pencucian uang tersebut juga
diyakini dapat menurunkan angka kriminalitas karena pelaku tindak pidana tidak
lagi memiliki motivasi untuk mengulangi perbuatannya dan hasil perampasan
tindak pidana dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh
karena itu, pendekatan rezim anti pencucian uang yang dilaksanakan secara
efektif, bukanlah suatu hal yang mustahil dilakukan. Sebaliknya, kegagalan dalam
mencegah dan memberantas pencucian uang akan berdampak sangat buruk pada sektor
keuangan dan penegakan hukum.
Sebagaimana
diketahui, bahwa melalui aktifitas pencucian uang, para pelaku kejahatan dapat
menyembunyikan asal-usul uang atau harta kekayaan dari hasil kejahatan secara
bebas karena uang haram tersebut seolah-olah tampak berasal dari suatu kegiatan
yang sah atau “halal”. Dalam perkembangannya, modus pencucian uang semakin hari
semakin kompleks dan canggih seiring dengan kemajuan teknologi informasi,
khususnya di bidang perbankan dan keuangan. Pelaku pencucian uang selalu
berusaha untuk menghindari pelacakan harta hasil kejahatannya oleh aparat
penegak hukum dengan memanfaatkan kelemahan peraturan perUndang-Undangan yang
ada.
Beberapa
dampak negatif dari aktifitas pencucian uang seperti tersebut di atas menjadi alasan mengapa praktik pencucian uang
perlu dikriminalisasi. Bahkan tindak pidana pencucian uang dewasa ini secara
universal telah digolongkan sebagai suatu tindak pidana yang biasa disebut kejahatan
“kerah putih” (white collar crime)
dan juga merupakan kejahatan lintas batas negara (transnational crime).
Sesuai UN Convention Against Transnational Organized Crime pada tahun 2000 (Palermo Convention), cakupan beberapa
bentuk kejahatan dalam kaitan dengan
transnational crimes untuk masing-masing Negara yurisdiksi ataupun
lembaga-lembaga kerjasama multilateral adalah sebagai berikut
:
a.
Kejahatan dengan hukman 4 tahun atau
lebih (Pasal 2-b)
b.
Keterlibatan dalam segala bentuk
kejahatan transnasional (Pasal 5)
c.
Money
Laundering (Pasal 6)
d.
Korupsi (Pasal 8)
e.
Kejahatan Peradilan (Pasal 23)
Di
kawasan Asia Tenggara, Negara-negara anggota ASEAN menyepakati tindak pidana yang
harus diberantas melalui kerjasama antar
negara yang mencakup
:
a.
Terorisme (terrorism)
b.
Pencucian uang (money laundering)
c.
Penyelundupan narkoba (drug trafficking)
d.
Penyelundupan senjata (arms smuggling)
e.
Pembajakan di laut (sea piracy)
f.
Kejahatan melalui internet ( cyber crime)
g.
Penyelundupan manusia (trafficking in person especially women and children)
h.
Kejahatan ekonomi internasional ( international economic crime).
“Money Laundering” sebagai sebutan
sebenarnya belum lama dipakai. Penggunaan pertama kali di surat kabar dikaitkan
dengan pemberitaan mengenai skandal Watergate di Amerika Serikat pada Tahun 1973;
sedangkan penggunaan sebutan tersebut dalam konteks pengadilan atau hukum
muncul untuk pertama kalinya pada Tahun 1982 dalam perkara US v $4,255,625.39
(1982) 551 F Supp. 314. Sejak itulah, istilah tersebut telah diterima dan
digunakan secara luas di seluruh dunia.
Pemberantasan
tindak pidana pencucian uang di Indonesia telah dimulai dengan adanya Undang-Undang
No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang tersebut
telah menyatakan bahwa perbuatan pencucian uang merupakan suatu tindak pidana.
Hal baru dari Undang-Undang tersebut yaitu lahirnya lembaga baru yang bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK). Perjalanan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tersebut setahun
kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Selang 8 (delapan) tahun
kemudian, DPR mensahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) yang mencabut UU No. 15
Tahun 2001 dan UU No. 25 Tahun 2003.
Permasalahan
pencucian uang masih marak terjadi. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) menemukan ada sekitar Rp 100 triliun uang beredar yang diduga
berasal dari praktik penyimpangan selama tahun 2012. Jumlah itu berasal dari
108.145 transaksi mencurigakan yang diterima PPATK.
Hal itu mengindikasikan bahwa kebijakan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang dengan regulasi yang selama ini telah diterbitkan belum efektif.
Menurut
pendapat para ahli, bahwa pemberantasan
tindak pidana khususnya tindak pidana pencucian uang relatif mengalami
kesulitan karena beberapa faktor antara lain adanya keterkaitan kejahatan antar
negara (transnational) dan perubahan
globalisasi yang relatif cepat.
Dalam Resolusi
tentang “ Corruption in government”
yang dterima Kongres PBB ke-8 mengenai “ The
Prevention and the Treatment of Offender” di Havana (Cuba) tahun 1990,
sebagaimana dikutip Barda Nawawi, antara lain menyatakan bahwa
:
a.
Korupsi di kalangan pejabat publik (“corrupt activities of public official”)
:
·
Dapat menghancurkan efektivitas potensial
dari semua jenis program pemerintah (‘can
destroy the potensial effectiveness of all types of govermental programmes”)
·
Dapat mengganggu atau menghambat
pembangunan (‘hinder development”)
·
Menimbulkan korban individual maupun
kelompok masyarakat (‘victimize
individuals and groups”)
b.
Ada keterkaitan erat antara korupsi dan
berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi, dan pencucian uang
haram (‘money laundering”).
Menurut Chaikin and Sharman, terdapat hubungan
yang simbiosis antara
korupsi dan money laundering.
Corruption and money landering
are symbiotic: not only do they tend to co-occur, but more importantly the
presence of one tend to create and
reciprocally reinforce the incidende of the other.Corruption produce enormous
profits to laundered, estimated at more than $1 trilion of illicit fund
annually, funds that are increasingly
laundered in the international financial system. At the same time,
bribery, trading in influence, and embezzlement can compromise the working of
anti-money laundering (AML) systems.
Permasalahan
yang masih dihadapi dalam memberantas tindak pidana pencucian uang,
mengindikasikan bahwa belum
efektifnya hukum positif tindak
pidana pencucian uang. Penelitian terhadap factor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
Undang-Undang tindak pidana pencucian uang menjadi penting dan relevan.
Menurut
Yunus Husein mantan Kepala PPATK, hubungan korupsi dan pencucian uang sangat
erat, hal ini terlihat dari keuntungan
dalam sebuah tindak pidana korupsi kerap kali digunakan untuk kepentingan
pribadi. Keuntungan hasil korupsi digunakan untuk membeli rumah atau aset
sejenis ataupun disamarkan dari sebuah rekening ke rekening yang lain. Pelaku
yang membantu menyamarkan tersebut, bisa dijerat pasal tindak pidana pencucian
uang. Namun sayangnya, penerapan pasal pencucian uang dalam kasus-kasus tindak
pidana korupsi yang disidik KPK belum sepenuhnya maksimal. Karena, dari sederet
kasus yang ditangani lembaga antikorupsi tersebut, baru beberapa di antaranya
menggunakan pasal pencucian uang dalam satu berkas dakwaan.
Ada
keuntungan tersendiri jika dua perbuatan tindak pidana dimasukkan dalam satu
berkas, yakni, dikenakannya dua perbuatan tindak pidana dalam satu berkas
dakwaan bisa memperberat ancaman hukuman bahkan vonis yang akan dijatuhkan. Selain
itu, digabungkan dalam satu berkas dakwaan juga sejalan dengan prinsip
persidangan yang efektif dan efisien.
Selain
itu, penggunaan pasal tindak pidana pencucian uang dalam satu berkas dengan
tindak pidana korupsi bisa juga dilakukan sebagai bentuk pemiskinan terhadap
koruptor karena pengejaran aset yang akan disita negara tergolong tak sulit.
Sejalan dengan itu, dakwaan terhadap pelaku harus dikenakan dakwaan kumulatif.
Dengan hukuman akumulatif, penggabungan korupsi dengan pencucian uang akan
membuat hukuman lebih optimal.
B.
Rumusan
Masalah
Untuk
melihat efektifitas Undang-Undang terkini yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 2010
penulis akan melakukan pengamatan dan observasi dengan topik KEBIJAKAN
LEGISLATIF DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG dengan perumusan
masalah :
·
Bagaimanakah perumusan tindak pidana pencucian
uang yang praktis terhadap perubahan sosial masyarakat (globalisasi) yang
relatif cepat?
·
Apakah penerapan hukuman akumulatif
dapat diterapkan terhadap tindak pidana korupsi dan pencucian uang?
Persoalan tentang perubahan masyarakat dan
perubahan hukum atau sebaliknya pada intinya terdiri dari dua aspek penting, yaitu sebagai berikut :
1.
Sejauhmana perubahan masyarakat
harus mendapatkan penyesuaian oleh
hukum. Dengan kata lain, hukum yang
menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat ini menunjukkan sifat pasif dari
hukum.
2.
Sejauhmana hukum berperan untuk menggerakkan masyarkaat menuju suatu perubahan yang
terencana. Di sini hukum berperan aktif dan seiring disebut sebagai fungsi
hukum sebagai alat rekayasa masyarakat ( a
tool of social engineering).
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
Umum
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perumusan tindak pidana pencucian uang
dan pengujian dari teori-teori hukum pidana serta implementasi dalam
masyarakat. Kajian ini akan mecoba mencari
alternative perumusan tindak
pidana yang lebih efektif dalam penerapannya dalam masyarakat.
Tujuan
Khusus
Penelitian
akan me
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1.
Kerangka
Teori
Objek ilmu pengetahuan hukum pidana
terutama adalah mempelajarai asas-asas dan peraturan-peraturan hukum pidana
yang berlaku, menghubungkan
asas-asas/peraturan-peraturan yang satu dengan yang lainnya, mengatur
penempatan asas-asas/peraturan-eraturan tersebut dalam suatu sistematika agar dengan demikian
dapat difahami pengeritan yang objektif
dari peraturan-peraturan yang berlaku (hukum pidana positif) yang merupakan
tujuan dari ilmu pengetahuan hukum pidana.
Tugas utama dari ilmu pengetahuan
hukum pidana adalah untuk
mempelajari dan menjelaskan (interprestasi) hukum (tindak) pidana yang
berlaku pada suatu waktu dan Negara
(tempat) tertentu.
Selain mempelajari, ilmu
pengetahuan hukum pidana mempelajari norma-norma dalam hubungannya dengan
pemidanaan (konstruksi) dan kemudian menerapkan hukum pidana yang berlaku
secara teratur dan berurutan (sistematika). Dengan perkataan lain, ia mengolah suatu tindak pidana yang sudah
terjadi kemudian dihubungkan dengan penerapan hukum pidana yang berlaku.
Selanjutnya dalam perkembangannya ilmu pengetahuan hukum pidana tidak terbatas hanya mempelajari kenyataan-kenyataan tersebut, tetapi juga
hal-hal yang bersangkut paut dengan hukum pidana yang bersifat filosofis,
dogmatis dan historis.
Menurut S.Sianturi, beberapa
sarjana berpendapat bahwa ilmu pengetahuan hukum pidana supaya tidak dilihat
sebagai bersifat dogmatis saja, melainkan dari segi kepentingan
masyarakat,maupun dari segi perkembangan
hukum, mengingat hukum pidana yang telah ada, tidak selalu paralel dengan kebutuhan masyarakat. Dengan
perkataan lain dalam mempelajari hukum positif (ius constitutum), harus juga
mempelajari hukum yang diidam-idamkan (ius constituendum). Dampak terhadap mempelajari sebab-sebab dari
suatu tindakan dari suatu tindak pidana
dan cara memberantasnya melahirkan ilmu pengetahun tambahan bagi hukum pidana
yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan (kriminologi).
Menurut Herbert L. Packer,
sebagaimana dikutip Sjaiful Bakhri
menyatakan bahwa pemidanaan adalah suatu tindakan yang menyebabkan derita bagi
terpidana dan dianggab bila ternyata telah terbukti, bahwa kejahatan itu
menimbulkan akibat lebih baik daripada tidak dijatuhkan pidana
atau oleh Packer disebut pencegahan (deterrence). Teori dibagi dua, pertama, deterrence theory, dimana efek-efek pencegahannya timbul sebelum
pemidanaan dilakukan. Selanjutnya teori ini dibagi menjadi special deterrence, yakni pidana yang
dijatuhkan setelah pemidanaan dilakukan
dan general deterrence, yaitu pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi sebelum
pemidanaan dilakukan.
Kedua, intimidation theory, memandang pemidanaan merupakan sarana untuk mengintimidasi mental terpidana. Pandangan lain dari
pencegahan , mengenai pemindanaan yaitu
paham behavioral yang berpangkal tolak pada tingkah laku manusia. Teori ini
meliputi incapation theory, di dalam pidana penyekapan, dilihat sebagai suatu
keharusan supaya terpidana tidak lagi
dapat melakukan perbuatan pemidanaan dilakukan untuk memudahkan dilakakukan pemidanaan terhadap
terpidana.
Menurut Smith dan Hogan sebagaimana
dikutip I Made Widyana, tujuan hukum pidana dalam suatu sistem hukum modern adalah
:
1.
To
forbid and prevent conduct that unjustifiability and inexcusably inflicts or
threatens substanstial harm to individual or public interest
2.
To
subject to public control persons whose conduct indicates that they are
disposed to commit crimes
3.
To
safefuard conduct that is without fault from condemnation as criminal
4.
To
give fair warning of the nature of the conduct declrared to be an offense
5.
To
differentiate on reasonable grounds between serious and minor offenses.
Untuk mencapai tujuan pidana,
menurut Joshua Dressler sebagaimana
dikutip I Made Widnyana menyatakan bahwa
perlunya mendalami Teori Pemidanaan adalah
:
Pertama,
hukum pidana adalah “a blunt instrument”. Penegakan hukum pidana menurut sistem
peradilan pidana kita, memberikan inflikasi penderitaan pada
orang yang melakukan perbuatan pidana, dengan menghilangkan jiwanya,
kebebasannya, atau harta bendanya melalui penjatuhan pidana denda.
Setiap sistem selalu mempertimbangkan
suatu pembenaran dalam mencari sebab-sebab pendertaan pada pelaku kejahatan.
Kedua,
Para pembuat Undang-Undang (hukum) tidak hanya harus memperthatikan perbuatan apa yang salah,
tetapi mereka juga harus mempertimbangkan siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk tingkah laku yang keliru/salah, dan kapan
hukuman/pidana dipandang tepat, mereka harus memutuskan pidana apa yang cocok
untuk suatu perbuatan dan berapa lama pidana yang tepat untuk si pelaku.
Ketiga,
hukum pidana harus adil dan memperluas kemungkinan, deal coherently dengan orang-orang yang dipidana dengan
kejahatannya. Teori-teori mengenai pemidanaan mempertimbangkan unsur-unsur
intelektualitas sebagai dasar untuk mengevaluasi keadilan dan koherensi dari
hukum pidana kita.
Upaya atau kebijakan pencegahan dan
penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal
tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari
kebijakan untuk kesejahteraan sosial (social
welfare policy) dan kebijakan untuk perlindungan masyakarat (social defence policy).
Dengan demikian, apabila
penanggulangan kejahatan (politik criminal) dilakukan dengan menggunakan sarana
penal (hukum pidana) maka kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya pada
tahap kebijakan yudikatif harus
memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebjikana social itu
berupa social welfare dan social defence.
Skema 1
Dari skema tersebut dapat dijelaskan hal-hal pokok
:
1.
Pencegahakan dan penanggulangan
kejahatan harus menunjang tujuan (goal) kesejahteraan masyarakat dan
perlindungan masyarakat
2.
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan
harus dilakukan dengan pendekatan
integral ; ada keseimbangan sarana penal dan non penal. Dilihat dari sudut
politik criminal kebijakan paling strategis melalui sarana non penal karena
lebih bersifat preventif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan atau
kelemahan antara lain :
-
Bersifat fragmentaris, simplistic,tidak
structural funsional
-
Simptotik, tidak kausatif, tidak
eliminative
-
Individualistic atau offender oriented,
tidak victim oriented
-
Lebih bersifat represif/tidak preventif
-
Harus didukung infrastructure dengan
biaya tinggi.
3.
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan
dengan sarana ‘penal’ merupakan “penal
policy’ atau ‘penal law enforcement
policy’ yang fungsionalisasi dan operasionalisasinya melalui beberapa tahap
:
- Tahap formulasi kebijakan,
- Tahap aplikasi
- Tahap eksekusi
Dalam tahap formulasi, upaya
pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum,
tetapi juga pembuat hukum dalam hal ini legislative. Kebijakan legislative
merupakan tahap paling strategis dari penal policy. Jika terjadi kesalahan atau
kelemahan dalam perumusan perundangang-undangan akan berdampak pada
terhambatnya upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap
berikutnya.
Strategi dasar penanggulangan
kejahatan diarahkan pada upaya meniadakan (eliminasi) atau menanggulangi dan
memperbaiki keseluruhan kuasa dan kondisi yang menjadi factor kriminogen untuk
terjadinya kejahatan. Jadi diperlukan pendekatan integral dalam arti :
-
Tidak hanya strategi penanggulangan
simptotik dan represif lewat pembaruan dan penegakan hukum tetapi juga
penanggulangan kausatif dan preventif
-
Tidak hanya melakukan law reform tetapi
juga social economic, political, cultural, moral and administrative reform
-
Tidak hanya melakukan pembaharuan satu
perundang-undangan, tetapi juga semua perundang-undangan yang member peluang
untuk terjadinya kejahatan.
Menurut Ibrahim F.I. Shihata
sebagaimana dikutip Barda Nawawi bahwa pendekatan integral atau komprehensif
antara lain
;
Attempts to
combat corruption may have a greater chance of successs if they recognize from
the outset the complexity of this phenomenon and the impossibility in deffernt
social disciplines.
It should
address the economi, poiltical, social, legal, administrative and moral aspects
of the phenomenon and recognize the clos linkages among these aspects.
Ibrahim Shihata juga menjelaskan upaya
penanggulangan korupsi (efforts to combat corruption harus ditempu melalui econic reform, legal and judicial reform,
administrative (civil service) reform, other institutional reform, moral
reform, international measures.
Tujuan dari kebijakan menetapkan
suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik criminal dalam
arti keseluruhannnya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan. Hal itu sejalan dengan kesimpulan seminar Kriminologi ke- 3
tahun 1976 yang merumuskan sebagai berikut :
Hukum Pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah
satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap
kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitasi) si pembuat
tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.
Suatu kebijakan kriminal harus
dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang
non-penal itu ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu.
Sehubugan dengan itu, Radzinoowics
sebagaimana dikutip Muladi menyatakan bahwa
:
Criminal policy must combine the various preventive
activities and adjust them so as to form a single comprehensive machine and
finally coordinate the whole into an organized system of activity.
Kebijakan krimimal yang integral diharapkan mencapai
social defence.
Prof. Sudarto mengemukakan bahwa kebijakan kriminal
harus dilakukan pula dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial
dengan memperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut
:
a.
Penggunaan
hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan
masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan
Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan
penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b.
Perbuatan
yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus
merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan
kerugian (materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat.
c.
Penggunaan
hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)
d.
Penggunaan
hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
2.
Kerangka
Konseptual
Apa yang dimaksud dengan pencucian
uang atau money laundering? Tidak ada atau belum ada definisi yang universal
dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau money
laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha
dan perusahaan, negara-negara yang telah maju dan negara-negara dari dunia
ketiga (sebagaimana ternyata dari Undang-Undang tentang pencucian uang
negara-negara itu), dan lembaga-lembaga international masing-masing mempunyai
definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Dari
beberapa definisi dan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan money
laundering, dapat disimpulkan bahwa
:
Pencucian Uang atau money
laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh
seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari
tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan
terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukkan uang
tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut
kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang halal.
Pendapat lain mengemukakan bahwa
pengertian “money laundering” dalam kepustakaan belum terdapat definisi yang
jelas. Terjemahan Bahasa Indonesia “pencucian uang” hanya untuk kepentingan
penyidikan dan penuntutan hukum dengan batasan bahwa :
“money
laundering” adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan , menyumbangkan, menitipkan, membawa
ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan
lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil intdak pidana dnegan maskud untuk menyembunyikan, atau
menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah[23].
Penjelasan seperti tersebut di atas
apa yang dinamakan money laundering
dapat mengandung paling sedikit lima unsur yaitu
:
1.
Seseorang atau organisasi yang melakukan perbuatan
2.
Uang haram berasal dari tindak pidana
3.
Dengan maksud untuk menyembunyikan uang
tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang untuk menindak terhadap tindak pidana,
4.
Dengan cara memasukkan uang ke dalam
sistem keuangan suatu Negara
5.
Kemudian uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan yang
dimaksud menjadi uang yang sah.
Secara sederhana, proses pencucian
uang dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan yakni placement, layering dan
integration.
a.
Placement
merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan
misalnya dengan pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang
tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan
rekening simpanan bank, atau dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen
keuangan (cheques, money orders) yang akan ditagihkan dan selanjutnya
didepositokan di rekening bank yang berada di lokasi lain. Placement dapat
dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang tunai baik melalui penyelundupan
uang tunai dari suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan antara uang
tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil
kegiatan yang sah. Proses placement ini merupakan titik paling lemah dari
perbuatan pencucian uang.
b.
Layering,
diartikan sebagai memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas
kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal
ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu
sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang
kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau menyembunyikan sumber uang haram
tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke
rekening-rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
c.
Integration,
yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu legitimate
explanation bagi hasil kejahatan. Di sini uang yang dicuci melalui placement
maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak
tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang
menjadi sumber dari uang yang di laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci
dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan
hukum. Proses integration ini terjadi apabila proses layering berhasil dengan
baik.
Cara-cara para pembuat money
laundering melakukan kegiatannya dari hasil kejahatan itu supaya tidak dilacak
asal usul uang oleh penegak hukum melalui lima kesempatan
:
1.
Menyalahgunakan bisnis yang sah, dan
menyembunyikan ke dalam bisnis yang
dikendalikan oleh organisasi kejahatan
yang terkait untuk mencegah kebocoran informasi dan kalang dalam amupun dari
luar perusahaan agar tidak diketahui oleh penegak hukum.
2.
Menembus melalui sektor perbankan atau
sektor non-perbankan, karena lewat bank
perusahaan mekanisme yang paling dijadikan persembunyian uang hasil kejahtan,
atau transaksi melalui jalur non-perbankan di sector money changer yang masih ada kebebasan sirkulasi uang
3.
Upaya investasi di bidang real estate,
dan atau di bidan asuransi oleh para pencuci uang untuk menanamkan uang
pro-perumahan yang sangat dibutuhkan masyarakat atau program asuransi yang
jaminan hidup lebih murah. Selanjutnya kedua proyek dan program tersebut untuk
beberapa lama lalu dijual lagi dengan sisa uang sudah menjadi uang sah.
4.
Penyelundupan melewati batas Negara dengan berbagai cara terselubung sehingga
money laundering telah dilakkan pencucian menjadi sah
5.
Menembus melalui industry sekuriti
(perdagangan efek-efek saham da obligasi) yang menjadi sasaran untuk para
penjahat money laundering yang wilayah operasionalnya mencapai tingkat
international.
Objek pencucian uang semula
ditujukan kepada perdagangan narkoba (drug
trafficking) dan kejahatan keuangan yaitu kecurangan berkaitan dengan
kecurangan bank (bank fraud), antara
lain berkaitan dengan kartu kredit (credit
card fraud), investasi (investment
fraud), pembayaran uang dimuka (advance
fee fraud, penggelapan (embezzlement).
Sejalan dengan perkembangannya, semakin meluas pada transaksi yang bersifat
transnasional.
E. Metode Penelitian
1.
Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan
Praktis Normologis yang otoritatif.
Objek kajian ilmu hukum sebagai Ilmu Praktis Normologis adalah
kaedah-kaedah hukum. Kaedah hukum itu sendiri
dapat disebut sebagai teks otoritatif (teks yang berwibawa) karena
ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.
Sebagai teks, kaedah hukum bermuatan aturan-aturan hukum yang terdidir aas
produk peUndang-Undangan, putusan-putusan hakim, hukum tidak tertulis dan karya
ilmuwan hukum yang berwibawa dalam
bidangnya (doktrin). Oleh karena
itu, sasaran penelitian Ilmu Hukum sebagai Ilmu Pengetahuan Praktis
Normologis yang bersifat otoritatif pada dasarnya adalah hukum atau kaedah hukum. Pengertian
kaedah hukum di sini meliputi asas hukum, kaedah hukum dalam arti norma,
peraturan hukum konkrit dan sistem hukum. Oleh karena itu penelitian hukum
dalam arti meneliti kaedah atau norma disebut penelitian hukum normatif.
Metode penelitian hukum terdiri
atas (a) metode penelitian hukum yuridis
– normative atau penelitifan hukum doktriner dan (b) metode penelitan hukum
yuridis (sosiologis).
Dalam penelitian ilmu hukum
normative banyak pendekatan yang digunakan baik secara terpisah-pisah, berdiri
sendiri maupun secara kolektif sesuai
dengan permasalahan. Mengingat permasalahan
dalam penelitian ini merupakan
kebijakan yuridis, maka
penelietian ini akan menggunakan pendekatan Undang-Undang atau statute approach yang bagi sebagaian
ilmuwan hukum menyebutnya dengan pendekatan yuridis yaitu penelitian terhadap
produk-produk hukum
2.
Sumber Data
Sebagaimana telah dikemukakan, penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif sehingga bahan-bahan hukum merupakan sumber data dalam
penelitian ini. Bahan-bahan hukum sebagai kajian normative sebagian besar
dapat diperoleh melalui berbagai dokumen hukum.
Data sekunder yang bersifat
bahan-bahan hukum dapat dibagi 3 (tiga) maca jika ditinjau dari sudut kekuatan
mengikatnya yaitu
:
1.
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri atas Undang undang Dasar, Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Vonis Hakim
dan lain-lain.
2.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum
yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti misalnya rancangan Undang-Undang, hasil
penelitian, buku-buku, jurnal ilmiah dan sebagainya.
3.
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus hukum dan
lain-lain.
Bahan hukum dapat berupa, antara lain
:
·
Himpunan Peraturan PerUndang-Undangan
yang diterbitkan oleh Departemen
/Lembaga Pemerintah Non Depertemen yang umumnya
berisi peraturan-peraturan di bidang tugasnya masing-masing
·
Himpunan Peraturan PerUndang-Undangan
yang khusus mengatur bidang pokok tertentu yang banyak diterbitkan oleh
lembaga-lembaga penerbitan
·
Himpunan putusan Mahkamah Agung
·
Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran
Negara
·
Berita Daerah
·
Lembaran Daerah
·
Berbagai dokumen yang
memuatperjanjian-perjanjian internasional yang banyak diterbitkan oleh
lembaga-lembaga internasional.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan adalah sebagai berikut :
Bab
I Pendahuluan menyajikan latar belakang dan permasalahan Tindak Pidana Pencucian Uang
saat ini dan menuangkan dalam rumusan masalah.
Bab
II merupakan tinjauan pustaka yang mengacu pada teori-teori yang dipergunakan dalam
penelitian ini. Selain teori yang sudah teruji, penelitian ini juga menggunakan
kosep hukum dan social yang berlaku dalam masyarakat sejalan dengan
perkembangan budaya dan teknologi.
Bab
III menyajikan pembahasan terhadap permasalahan sebagaimana dikemukakan pada
rumusan masalah dalam Bab I. Pembahasan dilakukan dengan membandingkan
undang-uundang yang berlaku dan
pelaksanaannya (das sein) dengan idea
masyarakat yang terdapat dalam teori hukum dan konsep hukum (das sollen).
Bab
IV menyajikan kesimpulan dan saran
sebagai hasil dari rumusan penelitian ini.